PEMBUKA

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM

Senin, 13 Desember 2010

PESAN PERDAMAIAN NABI MUHAMMAD SAW

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG.
Salah satu program yang telah disusun secara terencana dan sistematis oleh Media Barat dalam rangka memperkenalkan kekerasan di tubuh umat Islam adalah tuduhan Perang Suci (Holy War) atau jihad dalam istilah kaum Muslimin sebagai akar teroris yang berkedok agama.
Makalah ini berusaha menjawab tuduhan tersebut dengan mengisyaratkan beberapa poin penting di bawah ini : Pertama, istilah perang suci adalah rekayasa barat, sedangkan dalam Islam jihad itu sendiri dimaknai sebagai pembelaan suci (difo` muqaddas). Kedua, para ulama Islam bersepakat bahwa memulai peperangan (jihad ibtido’i) adalah sesuatu yang dilarang. Ketiga, sekalipun di dalam Al–Qur’an terdapat beberapa ayat jihad, namun ada dua prinsip utama yang sangat ditekankan oleh Kitab Suci terakhir ini, yaitu perdamaian dan komitmen terhadap perjanjian antar negara. Dua prinsip tersebut mengungguli prinsip jihad.






BAB II
PESAN PERDAMAIAN NABI MUHAMMAD SAW

A. Pengertian Jihad Dalam Islam
Dalam pandangan fikih Syiah, jihad di zaman ketidakhadiran Imam Maksum (zaman ghaibah, seperti zaman kita sekarang) hanya diperbolehkan dalam rangka membela diri secara sah dan tidak dibenarkan ( dalam bentuk apapun ) memulai/mendahului penyerangan terhadap negara-negara lain. (Imam Khomaini, Tahrir al Wasilah, 1409 H, jilid 1, hal. 482 , bab: 2).
Sehubungan dengan memulai peperangan di zaman kehadiran Imam Maksum, sebagian ulama meyakini bahwa jihad dan pelbagai peperangan di awal masa Islam (zaman Nabi saw) juga bukan termasuk tindakan memulai peperangan dan tidak untuk pemaksaan akidah atau ajakan menganut Islam secara paksa. Akan tetapi, jihad kala itu merupakan jihad pertahanan/pembelaan (jihad difo`i) yang dilakukan dengan pelbagai alasan, misalnya: perang yang dikobarkan oleh musuh, penyebaran fitnah militer dan non-militer yang didalangi oleh mereka, seperti konspirasi untuk mengusir Nabi. Di samping itu, terkadang jihad dilakukan karena pembatalan perjanjian oleh musuh atau menolong orang–orang yang teraniaya. Atas dasar ini, keumuman/generalisasi ayat-ayat jihad dalam Al-Qur’an terikat dengan serangkaian ayat-ayat lain yang menyeru umat Islam untuk bersikap baik dan adil terhadap orang-orang kafir yang tidak mengganggu atau memerangi mereka .
Sehubungan dengan ini, Al –Qur’an mengatakan:

                  •    
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusirmu dari negerimu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (QS.Mumtahanah ; 8)

                      
Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama, mengusirmu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS.Mumtahanah ; 9)
Atas dasar ayat tersebut, kita diperbolehkan berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang kafir yang tidak memerangi kaum Muslimin dan tidak melakukan konspirasi terhadap Islam . Dan sudah barang tentu perang terhadap mereka akan sangat dikecam oleh Islam.
Bahkan menurut pandangan Imam Khomaini, pembelaan secara militer hanya diperbolehkan saat terjadi serangan militer, sedangkan bila musuh memilih serangan politik dan ekonomi atau yang seperti itu, meskipun berdampak pada melemahnya kaum Muslimin maka tidak dibenarkan penggunaan opsi kekerasan. Akan tetapi, diperlukan aksi dan pertahanan serupa dan sesuai dengan tindakan musuh, seperti memboikot produk- produk mereka. (Ibid, Imam Khomaini, 1409, hal. ; 485)
Media massa barat ( baik cetak maupun elektronik ) berkali-kali menggunakan kata “perang suci” ( holy war ) sebagai padanan kata jihad dalam Islam. Dengan cara seperti inilah mereka menuduh umat Islam sebagai kelompok pendukung kekerasan dan terorisme. Dengan menjelaskan makna jihad dapat dipahami bahwa kata ini telah diselewengkan dan digunakan secara tidak benar, dan ungkapan perang suci tidak pernah ada dalam Islam. Bahkan esensi jihad dalam Islam adalah jihad pembelaan/pertahanan ( jihod difo`I ), yakni pertahanan yang legal dimana hal tersebut dianggap sebagai bagian dari hak-hak seorang Muslim setiap bangsa dalam hukum internasional saat ini dan telah dikenal secara resmi dalam pelbagi konvensi internasional, seperti butir 51 jurnal PBB.
Berkaitan dengan hal ini, seorang penulis Kristen asal Jerman yang berpikiran bebas menulis: Umat Islam bukanlah penemu ungkapan “perang suci“ , akan tetapi Paus-lah yang menganggap perang ini sebagai “kehendak Ilahi” dan tentara Salib bergabung dalam kancah peperangan dengan niat tersebut. Tentara itulah yang menumpahkan darah sekitar empat juta kaum Muslimin dan Yahudi. Seorang penutur di Baitul Maqdis menceritakan: “Mereka tenggelam dalam darah sampai mata kakinya supaya mereka sampai pada makam juru selamatnya, al Masih dengan senang dan air mata bahagia.’’ Tentu mereka bukanlah umat Islam. Dalam Islam, Anda tidak akan pernah menemukan kata “suci” dalam kaitannya dengan perang . Namun sangat disayangkan kata tersebut justru terdapat dalam Taurat (Armiya, bab 15 ayat 2v) (Tudan Huper, tahun 1378 Syamsyiah Qamariah Iran, hal. 40).
b-Perdamaian dan Persahabatan adalah Prinsip Utama Hubungan Internasional
Untuk menyoroti pembahasan yang telah lalu, kita harus memperhatikan kata kunci ini, yaitu: Apakah prinsip utama dalam Islam ( dalam kaitannya dengan hubungan internasional ) dibangun berdasarkan perdamaian dan persahabatan atau justru peperangan dan permusuhan? Kalau prinsip utamanya adalah perdamaian dan persahabatan maka media yang paling tepat untuk merealisasikan hubungan antar bangsa ini adalah perjanjian internasioal dan komitmen terhadapnya. Bila kita memperhatikan ayat dan riwayat maka kita dapat memahami bahwa prinsip utama hubungan internasional dibangun berdasarkan perdamaian dan persahabatan, sedangkan permusuhan adalah perkara yang bersifat sekunder dan berkaitan dengan hal-hal yang darurat/mendesak. Ada beberapa ayat Al Qur’an al Karim yang menegaskan prinsip utama ini:
                 •    
Dan jika mereka datang padamu untuk berdamai maka maka berikanlah mereka peluang untuk perdamaian (QS Al Anfal : 16)
Dalam ayat ini, Allah Swt memotivasi kaum Muslimin untuk berlaku adil dan bersahabat terhadap orang-orang kafir yang tidak menyakiti mereka. Riwayat (hadis) juga menekankan hal yang sama. Dalam sebuah surat yang terkenal kepada Malik Asytar, Imam Ali mengatakan:
‘’Janganlah engkau menolak tawaran perdamaian yang diusulkan musuh padamu apabila keridaan Allah terdapat di dalamnya. Sesungguhnya perdamaian akan melahirkan perlindungan pasukanmu dan menghilangkan kesedihan serta mendatangkan keamanan bagi negeri.’’ (Nahjul Balaghah,hal. 1027)
Kami ingin mengingatkan poin penting, yaitu bahwa prinsip utama yang dibangun berlandaskan perdamaian bukan berarti kita berpikir sederhana dan berpandangan dangkal terhadap musuh yang terikat perjanjian dengan kita serta kita lalai terhadap kemungkinan rekayasa/tipu daya mereka, atau kita biarkan mereka mencampuri urusan dalam negeri kita dan kita beber pelbagai rahasia kepada mereka, atau kita menghadapi musuh secara lemah. Akan tetapi, kita justru harus tetap waspada terhadap musuh klasik kita dan hendaklah kita menghindari berprasangka baik yang tidak pada tempatnya. Sebagaimana Imam Ali yang di satu sisi memotivasi Malik Asytar untuk menerima usulan perdamaian dari musuh, namun di sisi lain beliau mengingatkan:
‘’Akan tetapi waspadalah terhadap musuhmu setelah engkau berdamai dengannya. Karena sesungguhnya sering sekali musuh mendekati kita melalui perdamaian lalu ia mengejutkan kita. Maka berhati hatilah dan janganlah berbaik sangka terhadap musuh.’’
c. Prinsip Komitmen terhadap Perjanjian Internasional
Salah satu yang menjadi akar masalah terorisme dewasa ini adalah tidakadanya komitmen dan keterikatan kepada perjanjian dan konvensi internasional. Hal ini biasanya dilakukakan oleh negara-negara adidaya dimana setelah itu mereka akan berusaha mencari pembenaran terhadap tindakan organisasi-organisasi teroris dan negara-negara pendukungnya.
Dalam Islam, menepati janji dan komitmen untuk melaksanakan perjanjian yang disepakati dengan orang lain termasuk masalah yang sangat ditekankan. Masalah sumpah, perjanjian dan kesepakatan merupakan masalah yang ditekankan secara khusus dalam Al-Qur’an dan hadis.
Di satu sisi, kita dianjurkan untuk menepati janji, seperti ayat di bawah ini:
وَ احْفَظُوا أَيْمانَكُم
Dan peliharalah janji kalian. ( QS ; Al –Maidah ; 89)
Sedangkan dari sisi lain, Allah melarang untuk mengingkari perjanjian :
وَلا تَنْقُضُوا الْأَيْمانَ بَعْدَ تَوْكيدِها
Janganlah kalian membatalkan perjanjian yang telah disepakati (dikuatkan). (QS.an-Nahl ; 91)

Dan dalam ayat lain disebutkan:
‘’Dan jika mereka melanggar setelah mengadakan perjanjian dan menghina agama kalian maka perangilah pemimpin – pemimpin kekafiran karena mereka tidak dapat dipercayai, semoga mereka berhenti.” (QS. An-Nahl: 91)
Dalam ayat yang mulia ini, Allah Swt menyatakan bahwa permasalahan utama dalam kaitannya dengan hubungan internasional adalah tidakadanya perjanjian dan melanggar kesepakatan. Permasalahan orang-orang kafir di ruang lingkup internasional bukan karena mereka tidak memiliki “iman” (keyakinan terhadap keberadaan Pencipta dan hari kiamat ). Akan tetapi, problem utama mereka adalah mengabaikan “aiman” (perjanjian yang kokoh).
Sesuai dengan ungkapan seorang pemikir Islam kontemporer: Islam sangat menekankan masalah menepati perjanjian internasional dan menjaga janji dan sumpah yang memiliki dampak yuridis. Hal ini dikarenakan Allah Swt mengetahui seluruh sistem alam wujud dan Dia juga mengetahui bahwa keyakinan/ajaran lain akan tetap eksis ini sampai hari kiamat.
Bagaimana mungkin Tuhan yang memberitakan dengan jelas tentang penganut agama lain yang berkomitmen untuk memenuhi perjanjiannya, namun Ia tidak memiliki ajaran untuk mengatur kehidupan dunia yang dihuni oleh pelbagai pemeluk agama? Dan salah satu ajaran terpenting adalah menghargai sumpah dan perjanjian antar bangsa. Karena “iman” dapat membangun surga di tengah masyarakat dan mengatur program kehidupan kaum Muslimin secara baik.
Akan tetapi sesuatu yang diperlukan oleh seluruh masyarakat dunia untuk mengatur kehidupan mereka adalah “aiman” (perjanjian), bukan “iman”. Dan aiman dalam pembahasan ini digunakan secara umum/general untuk pelbagai sumpah dan perjanjian internasional antar bangsa. Yang menarik, Al –Qur’an Al Karim tidak pernah menjadikan ketidakberimanan (tidak beragama) sebagai alasan untuk berperang, namun melanggar perjanjianlah yang justru dijadikannya sebagai penyebab/pemicu peperangan, “Dan perangilah para pembesar kekafiran. Sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang melanggar janji, dan semoga mereka berhenti. (melanggar janji).
Coba Anda perhatikan, motivasi berperang dengan para pemimpin kafir bukan dikarenakan kekafiran dan ketidakberimanan mereka, akan tetapi disebabkan pengingkaran sumpah/janji. (Jawadi Amuli, tahun 1375 Syamsiah Qamariah, bagian 1, pasal 4)
Dalam ayat lain dijelaskan bahwa menepati janji itu termasuk salah satu dari karakteristik seseorang yang saleh :
لَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللهِ... وَ الْمُوْفُوْنَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوْا
Akan tetapi, sesungguhnya kebajikan itu adalah orang yang beriman kepada Allah, dan orang-orang yang menepati janjinya apabila mereka berjanji. (QS : Al – Baqarah ; 177)
Barangkali ada yang beranggapan bahwa anjuran untuk menepati janji di dalam Al-Qur’an hanya dikhususkan dalam ruang lingkup hubungan personal/internal di antara kaum Muslimin. Akan tetapi, kenyataannya adalah anjuran menepati janji—sebagaimana yang tertera dalam Al-Qur’an dan dengan memperhatikan sebab turunnya pelbagai ayat yang terkait—lebih banyak mengandung unsur politik dan menyoroti hubungan kaum Muslimin dengan umat lainnya. Oleh karena itu, kewajiban menepati janji itu bersifat mutlak dan mencakup semua bentuk perjanjian yang disepakati oleh manusia, baik berupa hubungan individual maupun hubungan internasional.
Berkenaan dengan tafsiran ayat ini, Allamah Thabathaba’i mengatakan :
Mengingat kata perjanjian (`ahd) disebut secara umum/general maka ia mencakup segala bentuk perjanjian seseorang dengan kelompok manapun dan juga meliputi setiap akad dan perjanjian yang dilakukan dalam pelbagai muamalah dan hubungan sosial. (Thaba thaba’i, tahun 1362 Syamsiah Qamariah, jilid 1, hal. 437)
Bahkan dalam rangka menghormati perjanjian antar negara, Allah Swt tidak mengizinkan kaum Muslimin untuk masuk ke kancah peperangan dengan negara yang terikat perjanjian dengan mereka, meskipun untuk melindungi negara Islam lainnya:
وَ إِنِ اسْتَنْصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ إِلاَّ عَلى‏ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَ بَيْنَهُمْ ميثاقٌ
(Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu untuk membela agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali untuk melawan kaum yang telah ada perjanjian (damai) antara kamu dengan mereka. (QS ; al – Anfal : 72)
Al-Qur’an juga menjadikan menepati janji sebagai tolak ukur ketakwaan atau ketidaktakwaan seseorang.
فَأَتِمُّوا إِلَيْهِمْ عَهْدَهُمْ إِلى‏ مُدَّتِهِمْ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُتَّقينَ
Maka terhadap mereka itu penuhilah janji mereka sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa. (QS.at-Taubah : 4)
Dalam ayat ini, menepati janji terhadap orang kafir dianggap sebagai tanda ketakwaan orang-orang mukmin, bukan permaian politik atau taktik dalam rangka memperoleh suatu kepentingan. Pesan dan kandungan yang sama juga ditegaskan Al-Qur’an dalam surah Ali ‘Imran, ayat 76 dan al-Anfal, ayat 56. Dan dalam ayat lain, Allah menilai perjanjian dengan kaum musyrikin sebagai perjanjian dengan diri-Nya.
وَ أَوْفُوا بِعَهْدِ اللهِ إِذا عاهَدْتُمْ
Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji (QS. an-Nahl : 91)
Maka dari itu, salah satu akar persoalan kekerasan dan terorisme adalah tidak adanya komitmen untuk melaksanakan prinsip-prinsip dan pelbagai perjanjian antar bangsa. Dengan mengikuti ajaran agama yang luhur, seyogianya kaum Muslimin harus melangkah lebih maju di bidang ini.
Tidak sedikit ditemukan keharusan menepati perjanjian antar bangsa dalam perkataan para Imam ahlul bait. Dalam surat yang ditujukan untuk Malik Asytar, Imam Ali menganggap bahwa melanggar perjanjian dengan musuh sebagai bentuk penentangan terhadap Allah: Wahai Malik, janganlah kamu menipu musuhmu melalui perjanjianmu dengannya. Sesungguhnya hanya orang yang bodoh dan celakalah yang berani menentang Tuhannya (Nahjul Balaghah, hal. 1028).
Dan dalam surat yang sama, Imam Ali menganggap bahwa melaksanakan perjanjian sebagai kewajiban Ilahi: Sesunguhnya tidak ada kewajiban yang ditetapkan oleh Allah yang lebih penting daripada menepati perjanjian. Meskipun masyarakat memiliki pelbagai keinginan dan berbeda pandangan, mereka lebih bersepakat dalam hal perjanjian sosial.
Anda tidak akan pernah menemukan penyimpangan dari hal tersebut dalam sejarah kehidupan Nabi saw dan para Imam ahlul bait. Para pembesar Islam ini selalu menunjukkan komitmen mereka untuk menegakkan perjanjian yang disepakati dengan musuhnya, seperti perjanjian Rasul saw dengan kaum Yahudi dari kelompok Bani Qoinuqo’ dan Bani Quraidhah serta perjanjian beliau dengan suku Quraisy di Hudaibiyah. (Ibid: jilid 9, hal. 195)
Sekalipun terdapat penekanan dan penegasan yang cukup banyak berkaitan dengan perjanjian antar bangsa sebagai solusi utama untuk menciptakan kehidupan bersama yang penuh kedamaian, akan tetapi Al-Qur’an—khususnya dalam surah at-Taubah—mencela orang-orang musyrik dan kafir yang tidak melaksanakan perjanjian. Dari sekumpulan ayat ini dapat disimpulkan bahwa orang-orang musyrik dan kafir bukan hanya dalam aspek teologis tidak memiliki akidah (keyakinan) akan keharusan menepati perjanjian, bahkan dalam dataran praktis pun mereka tidak memiliki komitmen kuat untuk menjaga perjanjian. Karena itu, Al-Qur’an menyatakan:
كَيْفَ يَكُونُ لِلْمُشْرِكينَ عَهْدٌ عِنْدَ اللهِ وَ عِنْدَ رَسُولِهِ
Bagaimana bisa ada perjanjian (aman) dari sisi Allah dan Rasul-Nya dengan orang-orang musyrikin (padahal mereka senantiasa mengingkari setiap perjanjian damai) ? (QS.At-taubah : 7)
Pelanggaran perjanjian ini bukan suatu pengecualian atau sekali-dua kali mereka lakukan, tetapi sesuai dengan ungkapan Al-Qur’an telah menjadi kaidah umum bahwa setiap kali mereka membikin suatu perjanjian, maka pasti di antara mereka ada yang melanggarnya.
أَوَ كُلَّمَا عَاهَدُوْا عَهْداً نَّبَذَهُ فَرِيْقٌ مِّنْهُمْ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لاَ يُؤْمِنُوْنَ
Bukankah demikian kenyataannya bahwa setiap kali mereka (orang-orang Yahudi) mengadakan perjanjian (dengan Allah dan Rasul), segolongan mereka pasti mencampakkannya, bahkan sebagian besar dari mereka tidak beriman ? (QS.Al-Baqarah ; 100)
Ungkapan Al-Qur’an: Akan tetapi kebanyakan dari mereka sama sekali tidak akan beriman mengisyaratkan bahwa sebagian mereka dari sisi pemikiran teoritis sama sekali tidak meyakini keharusan untuk menepati perjanjian. Dan meminjam istilah Allamah Thabathaba’i, para pemegang kekuasaan tertinggi hanya memperhatikan kepentingan masyarakat mereka. Oleh karena itu, jika mereka melakukan sebuah perjanjian, maka itu hanya untuk memenuhi kepentingan mereka. Dan perjanjian ini akan berlangsung selama kekuatan kedua belah pihak seimbang. Namun ketika salah satu memiliki kekuatan yang lebih besar, maka perjanjian tersebut dengan pelbagai dalih yang dibuat-buat akan mereka batalkan. Dalih ini mereka ajukan supaya seolah-olah mereka itu taat terhadap undang-undang internasional. (Ibid, Thaba thaba’i, hal. 196).
Pada kesempatan lain, Al-Qur’an mengatakan:
كَيْفَ وَ إِنْ يَظْهَرُوا عَلَيْكُمْ لا يَرْقُبُوا فيكُمْ إِلاًّ وَلا ذِمَّةً يُرْضُونَكُمْ بِأَفْواهِهِمْ وَ تَأْبى‏ قُلُوبُهُمْ وَ أَكْثَرُهُمْ فاسِقُونَ
Bagaimana bisa (perjanjian orang-orang musyrikin itu bernilai), sedangkan jika mereka memperoleh kemenangan terhadapmu, mereka tidak menggubris hubungan kekerabatan dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian terhadapmu? Mereka menyenangkan hatimu dengan mulut mereka, sedang hati mereka menolak. Dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS. at-Taubah : 8)












BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan ajaran agama Islam, dunia ini dapat diatur di bawah payung perdamaian dan perjanjian antar bangsa, tanpa perlu adanya ekspansi ke negara lain, peperangan dan kekerasan. Lalu mengapa negara-negara Islam tidak dapat diatur sedemikian rupa dalam bingkai perjanjian dan kesepakatan bersama di antara mereka? Dengan kata lain, ketika dunia dapat dikendalikan dengan “aiman” (perjanjian), bukan dengan “iman”, maka seyogianya negara-negara Islam ( berdasarkan ide/gagasan Al-Qur’an ) lebih mudah untuk diatur dan dikendalikan dalam bingkai “persatuan negara-negara Islam” .
Sebab, negara-negara Islam di samping memiliki komitmen untuk menepati "aiman" (perjanjian), mereka juga mempunyai "iman". Keimanan terhadap seorang Nabi dan satu Kitab Suci akan lebih cepat mengantarkan mereka kepada suatu hasil ketimbang kesepakatan yang dibangun berdasarkan "aiman" (baca: perjanjian) sekokoh apapun. Justru anggota negara-negara Eropa yang notabene memiliki pelbagai corak dan ragam pemikiran serta budaya telah berhasil mencapai hasil yang dimaksud. Dengan membentuk persatuan Eropa, mereka mampu menggabungkan pelbagai negara Eropa menjadi Eropa yang satu dengan mata uang dan undang-undang yang sama.
Bahkan mereka berencana untuk membentuk undang-undang dasar bersama yang disahkan oleh anggota negara-negara persatuan Eropa. Berdasarkan undang-undang dasar tersebut, seorang presiden akan diakui secara resmi oleh seluruh anggota negara persatuan Eropa. Sebaliknya, ironis sekali melihat nasib negara-negara Islam yang tidak mampu mencapai kata sepakat sekadar untuk mengadakan sebuah pertemuan bersama dalam rangka menunjukkan simpati terhadap penduduk Gaza dan menetapkan Israel sebagai musuh bersama negara-negara Islam.
Meskipun demikian, tak seharusnya kita berputus asa. Kita justru harus lebih bekerja keras supaya pertama-tama rakyat, kalangan ilmuwan dan tokoh masyarakat dapat kiranya merealisasikan harapan persatuan negara-negara Islam. Dan kemudian melalui kecerdasan berdiplomasi, kiranya hal ini ditindaklanjuti secara riil. Organisai Konferensi Islam (OKI) seyogianya mengambil peran penting demi menyatukan negara-negara Islam. Di samping itu, Iran sebagai sebuah negara yang menunjukkan kemajuan yang pesat pasca Revolusi dalam jangka waktu yang relatif singkat pun dapat memaikan peranan efektifnya dalam hal ini. Dengan bersandarkan pada kemampuan ilmiahnya, Iran menjadikan embargo negara-negara Eropa pada kurun waktu 30 tahun belakangan ini sebagai tindakan kontra produktif. Ini mereka buktikan dengan meluncurkan satelit yang bernama ‘umid’ (harapan) ke ruang angkasa.
Sehingga Iran mentorehkan sejarah sebagai negara Muslim pertama dan negara ke-8 dunia yang menguasai teknologi ini. Kemajuan Iran lainnya di bidang sains dan pertahanan, seperti penguasaan teknologi nuklir, stem cell atau sel punca, kloning, industri roket dan rudal, kedokteran dan yang lainnya. Kemajuan Iran tersebut tidak dapat dipungkiri oleh siapapun dan patut mengundang decak kagum. Iran sebagai negara teladan dalam hal ini kiranya mampu melangkah lebih maju dan mempelopori terwujudnya "persatuan negara-negara Islam" dengan memanfaatkan dua potensi dan kemampuan besar yang dimiliki negara-negara Islam, yaitu "iman" dan "aiman". Dan transfer teknologi-teknologi mutakhir ini ke negera-negara Islam kiranya dapat menjadi langkah pertama untuk merealisasikan ide ini.
Dengan harapan datangnya hari itu yang terhiasi dengan nama Kitab Suci Al-Qur’an dan sosok yang paling dicinta oleh kaum Muslimin, Nabi Muhammad saw semoga kita akan menyaksikan terwujudnya ide "persatuan negara-negara Islam" dalam makna yang sebenarnya.
B. Saran


DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Al-Karim.
Nahjul Balaghah, Faidh Al-Islam.
To down over urgent, teori dah goneh, terjemahan Dr. Hadi Ridha. Zodeh, Fasl ‘ . , Nomeh Andiseh Taqrib, tahun ke-4, nomer 15, musim panas , 1378.
Jawadi Amuli, Abdullah, Falsafae Huquqe Basyar, Muasasae Isra', Qum, cetakan . , ‘ pertama, tahun 1375, Syamsiah Qamariah .
Khumaini, Ruhullah, Tahrir Al-Wasilah, Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, Qum, cetakan , . kedua, jilid 1, 1409 H.
Thaba thaba’i, Sayyid Muhammad Husain, Al-Mizan Fi Tafsir Al-Qur’an, Dar Al-. , . Kutub Al- Islamiyah, Teheran, cetakan keempat, jilid 1 , dan 9, Tahun , , . 1362 Syamsiah Qamariah ‘ Iran.

Selasa, 07 Desember 2010

aliran idealisme pendidikan

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembahasan dalam makalah ini menekankan pada topik tentang teori pendidikan berdasarkan aliran filsafat idealisme dan realisme. Kajianya didasarkan pada pemahaman tentang landasan filosofis yang digunakan dalam pengembangan teori pendidikan. Awal pembahasan dimulai dengan pentingnya mempelajari filsafat dalam pengembangan teori pendidikan. Selanjutnya dikemukakan tinjauan umum tentang filsafat dan filsafat pendidikan; serta aliran filsafat idealisme dan realisme dalam pendidikan. Pada bagian akhir tulisan dikemukakan pembahasan mengenai pertentangan serta perpaduan aliran filsafat idealisme dan realisme dalam mewarnai teori dan praktek pendidikan, khususnya Pendidikan Luar Sekolah.Terdapat banyak alasan untuk mempelajari filsafat pendidikan, khususnya apabila ada pertanyaan rasional yang seyogyanya tidak dapat dijawab oleh ilmu atau cabang ilmu-ilmu pendidikan. Pakar dan praktisi pendidikan memandang filsafat yang membahas konsep dan praktik pendidikan secara komprehensif sebagai bagian yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan pendidikan. Terlebih lagi, di tengah arus globalisasi dan modernisasi yang melaju sangat pesat, pendidikan harus diberi inovasi agar tidak ketinggalan perkembangan serta memiliki arah tujuan yang jelas. Di sinilah perlunya konstruksi filosofis yang mampu melandasi teori dan praktek pendidikan untuk mencapai keberhasilan substantif.
B. Rumusan Masalah
Berpijak dari latar belakang masalah yang telah tersebut di atas maka penulis dapat merumuskan ” Pendidikan Menurut Aliran Filsafat Idealisme Dan Realisme”
C. Tujuan Penulisan
1. Ingin mengetahui apa yang dimaksud aliran idealisme dan realisme
2. Tinjauan Umum tentang Filsafat Pendidikan
BAB II
PENDIDIKAN MENURUT ALIRAN FILSAFAT IDEALISME DAN REALISME
1. Tinjauan Umum tentang Filsafat Pendidikan
Dilihat dari pengertian praktisnya, filsafat berarti alam pikiran atau alam berpikir. Berfilsafat artinya berpikir, namun tidak semua berpikir berarti berfilsafat. Berfilsafat adalah berpikir secara mendalam dan sungguh-sungguh. Tegasnya, filsafat adalah karya akal manusia yang mencari dan memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Filsafat merupakan ilmu atau pendekatan yang mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran segala sesuatu. Menurut Immanuel Kant (1724-1804) yang seringkali disebut sebagai raksasa pemikir Barat, filsafat adalah ilmu pokok yang merupakan pangkal dari segala pengetahuan.
Kerana luasnya lapangan filsafat, orang sepakat mempelajari filsafat dengan dua cara, yaitu mempelajari sejarah perkembangannya (metode historis) dan mempelajari isi atau pembahasannya dalam bidang-bidang tertentu (metode sistematis). Dalam metode historis orang mempelajari sejarah perkembangan aliran-aliran filsafat sejak dahulu kala sehingga sekarang. Di sini dikemukakan riwayat hidup tokoh-tokoh filsafat di segala masa, bagaimana timbulnya aliran filsafatnya tentang logika, tentang metafisika, tentang etika, dan tentang keagamaan. Dalam metode sistematis orang membahas isi persoalan ilmu filsafat itu dengan tidak mementingkan sejarahnya. Orang membagi persoalan ilmu filsafat itu dalam bidang-bidang yang tertentu. Misalnya, dalam bidang logika dipersoalkan mana yang benar dan yang salah menurut pertimbangan akal, bagaimana cara berpikir yang benar dan mana yang salah. Dalam bidang etika dipersoalkan tentang manakah yang baik dan yang buruk dalam perbuatan manusia. Dalam metode sistematis ini para filsuf dikonfrontasikan tanpa mempersoalkan periodasi masing-masing.
Filsafat itu sangat luas cakupan pembahasannya, yang ditujunya adalah mencari hakihat kebenaran atas segala sesuatu yang meliputi kebenaran berpikir (logika), berperilaku (etika), serta mencari hakikat atau keaslian (metafisika). Sejak zaman Aristoteles hingga dewasa ini lapangan-lapangan yang paling utama dalam filsafat selalu berputar di sekitar logika, metafisika, dan etika. Dengan memperhatikan sejarah serta perkembangannya, filsafat mempunyai beberapa cabang yaitu: (1) Metafisika: filsafat tentang hakikat yang ada di balik fisika, hakikat yang bersifat transenden dan berada di luar jangkauan pengalaman manusia; (2) Logika: filsafat tentang pikiran yang benar dan yang salah; (3) Etika: filsafat tentang perilaku yang baik dan yang buruk; (4) Estetika: filsafat tentang kreasi yang indah dan yang jelek; (5) Epistomologi: filsafat tentang ilmu pengetahuan; (6) Filsafat-filsafat khusus lainnya: filsafat agama, filsafat manusia, filsafat hukum, filsafat sejarah, filsafat alam, filsafat pendidikan, dan sebagainya.
Filsafat akan memberikan kepuasan kepada keinginan manusia akan pengetahuan yang tersusun dengan tertib, tentang kebenaran. Fungsi filsafat adalah kreatif, menetapkan nilai, menetapkan tujuan, menentukan arah dan menuntun pada jalan baru serta membangun keyakinan atas dasar kematangan intelektual. Filsafat tidak hanya cukup diketahui, tetapi dapat dipraktekkan dalam hidup sehari-sehari. Filsafat akan memberikan dasar-dasar pengetahuan yang dibutuhkan untuk hidup secara baik, bagaimana hidup secara baik dan bahagia. Dengan kata lain, tujuan filsafat adalah mencari hakikat kebenaran sesuatu, baik dalam logika (kebenaran berpikir), etika (berperilaku), maupun metafisik (hakikat keaslian).
Pendekatan filosofis untuk menjelaskan suatu masalah dapat diterapkan dalam aspek-aspek kehidupan manusia, termasuk dalarn pendidikan. Filsafat tidak hanya melahirkan pengetahuan banu, melainkan juga melahirkan filsafat pendidikan. Filsafat pendidikan adalah filsafat terapan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan yang dihadapi. John Dewey (1964) berpendapat bahwa filsafat merupakan teon umum tentang pendidikan. Filsafat sebagai suatu sistem berpikir akan menjawab persoalan-persoalan pendidikan yang bersifat filosofis dan memerlukan jawaban filosofis pula.
Setiap praktik pendidikan atau pembelajaran tidak terlepas dari sejumlah masalah dalam mencapai tujuannya. Upaya pemecahan masalah tersebut akan memerlukan landasan teoretis-filosofis mengenai apa hakikat pendidikan dan bagaimana proses pendidikan dilaksanakan. Henderson dalam Sadulloh (2004) mengemukakan bahwa filsafat pendidikan adalah filsafat yang diaplikasikan untuk menelaah dan memecahkan masalah-masalah pendidikan. Peranan filsafat yang mendasari berbagai aspek pendidikan merupakan suatu sumbangan yang berharga dalam pengembangan pendidikan, baik pada tataran teoretis maupun praktis. Filsafat sebagai suatu sistem berpikir dengan cabang-cabangnya (metafisika, epistemologi, dan aksiologi) dapat mendasari pemikiran tentang pendidikan.
Menurut Brubacher (1959), terdapat tiga prinsip filsafat yang berkaitan dengan pendidikan, yaitu: (1) persoalan etika atau teori nilai; (2) persoalan epistemologi atau teori pengetahuan; dan (3) persoalan metafisika atau teoni hakikat realitas. Untuk menentukan tujuan pendidikan, memotivasi belajar, mengukur hasil, pendidikan akan berhubungan dengan tata nilai. Persoalan kuriikulum akan berkaitan dengan epistemologi. Pembahasan tentang hakikat realitas, pandangan tentang hakikat dunia dan hakikat manusia khususnya, diperlukan untuk menentukan tujuan akhir pendidikan.
Metafisika memberikan sumbangan pemikiran dalam membahas hakikat manusia pada umumnya, khususnya yang berkaitan dengan hakikat anak, yang bermanfaat dalam menentiikan tujuan akhir pendidikan. Mempelajari metafisika perlu sekali untuk mengontrol tujuan pendidikan dan untuk mengetahui bagaimana dunia anak. Epistemologi sebagai teori pengetahuan, tidak hanya menentukan pengetahuan mana yang harus dipelajari tetapi juga menentukan bagaimana seharusnya siswa belajar dan bagaimana guru mengajar. Pendidikan perlu mengetahui persoalan belajar untuk mengembangkan kurikulum, proses dan metode belajar. Aksiologi akan menentukan nilai-nilai yang baik dan yang buruk yang turut menentukan perbuatan pendidikan. Aksiologi dibutuhkan dalam pendidikan, karena pendidikan harus menentukan nilai-nilai mana yang akan dicapai melalui proses pendidikan. Disadari atau tidak, pendidikan akan berhubungan dengan nilai, dan pendidikan harus menyadari kepentingan nilai-nilai tersebut.
Dalam arti luas filsafat pendidikan mencakup filsafat praktek pendidikan dan filsafat ilmu pendidikan (Mudyahardjo, 2001). Filsafat praktek pendidikan membahas tentang bagaimana seharusnya pendi-dikan diselenggarakan dan dilaksanakan dalam kehidupan manusia mencakup filsafat praktek pendidikan dan filsafat sosial pendidikan. Filsafat ilmu pendidikan adalah analisis kritis komprehensif tentang pendidikan sebagai bentuk teori pendidikan. Aspek filsafat dalam ilmu pendidikan dapat dilihat berdasarkan empat kategori sebagai berikut: (1) Ontologi ilmu pendidikan yang membahas tentang hakekat substansi dan pola organisasi ilmu pendidikan; (2) Epistemologi ilmu pendidikan yang membahas tentang hakekat objek formal dan material ilmu pendidikan; (3) Metodologi ilmu pendidikan yang membahas tentang hakekat cara-cara kerja dalam menyusun ilmu pendidikan; (4) Aksiologi ilmu pendidikan, membahas tentang hakekat nilai kegunaan teoritis dan praktis ilmu pendidikan.
Kajian terhadap fisafat pendidikan akan memadukan keempat aspek tersebut di atas sebagai landasan dalam menjawab tiga masalah pokok, yaitu sebagai berikut: (1) Apakah sebenarnya pendidikan itu? (2) apakah tujuan pendidikan sebenarnya? dan (3) Dengan cara apa tujuan pendidikan itu dapat dicapai? (Henderson, 1959). Jawaban masalah pokok tersebut tertuang dalam: (1) Tujuan pendidikan: (2) Kurikulum, (3) Metode pendidikan, (4) Peranan peserta didik; dan (5) Peran tenaga pendidik.
Dalam sejarah perkembangan filsafat telah lahir sejumlah aliran filsafat. Dengan adanya aliran-aliran filsafat, maka konsepsi mengenai filsafat pendidikan telah dipengaruhi oleh aliran-aliran tersebut. Dengan memperhatikan obyek filsafat dan masalah pokok pendidikan, selanjutnya akan dibahas aliran filsafat idealisme dan realisme dalam melandasi pengembangan teori pendidikan.
2. Aliran Filsafat Idealisme dalam Pendidikan
Idealisme adalah aliran filsafat yang berpendapat bahwa pengetahuan itu tidak lain daripada kejadian dalam jiwa manusia, sedangkan kenyataan yang diketahui manusia itu terletak di luarnya. Konsep filsafat menurut aliran idealisme adalah: (1) Metafisika-idealisme; Secara absolut kenyataan yang sebenarnya adalah spiritual dan rohaniah, sedangkan secara kritis yaitu adanya kenyataan yang bersifat fisik dan rohaniah, tetapi kenyataan rohaniah yang lebih dapat berperan; (2) Humanologi-idealisme; Jiwa dikarunai kemampuan berpikir yang dapat menyebabkan adanya kemampuan memilih; (3) Epistemologi-idealisme; Pengetahuan yang benar diperoleh melalui intuisi dan pengingatan kembali melalui berpikir. Kebenaran hanya mungkin dapat dicapai oleh beberapa orang yang mempunyai akal pikiran yang cemerlang; sebagian besar manusia hanya sampai pada tingkat berpendapat; (4) Aksiologi-idealisme; Kehidupan manusia diatur oleh kewajiban-kewajiban moral yang diturunkan dari pendapat tentang kenyataan atau metafisika
Dalam hubungannya dengan pendidikan, idealisme memberi sumbangan yang besar tehadap perkembangan filsafat pendidikan. Kaum idealis percaya bahwa anak merupakan bagian dari alam spiritual, yang memiliki pembawaan spiritual sesuai potensialitasnya. Oleh karena itu, pendidikan harus mengajarkan hubungan antara anak dengan bagian alam spiritual. Pendidikan harus menekankan kesesuian batin antara anak dan alam semesta. Pendidikan merupakan pertumbuhan ke arah tujuan pribadi manusia yang ideal. Pendidik yang idealisme mewujudkan sedapat mungkin watak yang terbaik. Pendidik harus memandang anak sebagai tujuan, bukan sebagai alat.
Menurut Power (1982), implikasi filsafat pendidikan idealisme adalah sebagai berikut: (1) Tujuan: untuk membentuk karakter, mengembangkan bakat atau kemampuan dasar, serta kebaikkan sosial; (2) Kurikulum: pendidikan liberal untuk pengembangan kemam-puan dan pendidikan praktis untuk memperoleh pekerjaan; (3) Metode: diutamakan metode dialektika, tetapi metode lain yang efektif dapat dimanfaatkan; (4) Peserta didik bebas untuk mengembangkan kepribadian, bakat dan kemampuan dasarnya; (5) Pendidik bertanggungjawab dalam menciptakan lingkungan pendidikan melalui kerja sama dengan alam.
Idealisme adalah salah satu aliran filsafat tradisional yang paling tua. Plato adalah filsuf pertama yang mengembangkan prinsip-prinsip filsafat idealisme. Dalam perkembangannya, G.W.F. Hegel, filsuf Jermanlah yang mengembangkan pemikiran filosofis dan sejarahnya berdasarkan idealisme. Secara umum pendidikan idealisme merumuskan tujuan pendidikan sebagai pencapaian manusia yang berkepribadian mulia dan memiliki taraf kehidupan rohani yang lebih tinggi dan ideal. Rumusan ini dapat dijabarkan dalam aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis.

1.METAFISIKA
Bagi aliran idealisme, yang nyata atau riil adalah mental atau spiritual. Seluruh hal di luar mental dan spiritual manusia hanyalah ekspresi dari pikiran manusia. Dalam perspektif metafisis, “Ada” adalah sesuatu yang tidak berubah. Semua hal yang berubah bukanlah “Ada” yang sebenarnya. Dalam pengertian itu, maka “Ada” bagi kaum idealist adalah pikiran sebagai esensi spiritual. Pikiran manusialah yang memberikan kepadanya vitalitas dan dinamika menjalani hidup. Segala hal selain pikiran merupakan hal-hal yang dapat berubah dari waktu-ke waktu, tergantung dari ekpresi pikiran. Pikiran sendiri tidaklah berubah, ia tetap dan akan tetap ada. Realitas di dalam pikiran merupakan realitas yang absolut dan bersifat universal.
Kaum idealis selalu menggunakan istilah makrokosmos dan mikrokosmos untuk menjelaskan pandangan mereka tentang realitas. Makrokosmos merujuk pada pikiran universal, penyebab utama, pencipta, atau Tuhan sendiri. Walaupun berbeda-beda dalam penggunaan kata, istilah pikiran tentang makrokosmos hendak menunjukkan tentang keseluruhan eksistensi. Mikrokosmos sendiri adalah bagian yang terbatas dari keseluruhan yang disebut makrokosmos di atas. Mikrokosmis sangat individual dan merupakan bagian yang kecil. Tetapi substansi dari mikrokosmos secara spritual adalah sama dengan substansi makrokosmik.
Dalam istilah pendidikan, murid-murid dapat disebut sebagai entitas spiritual yang merupakan bagian dari entitas spiritual yang lebih besar, yaitu alam semesta. Walaupun ada beberapa perbedaan di antara kaum idealis, tetapi umumnya, mereka semua menerima bahwa alam semesta dibangun atas realitas spiritual yang sangat personal dan individual
2.EPISTEMOLOGI
Setelah mengetahui hakekat realitas menurut kaum idealis di atas, maka pertanyaan berikutnya adalah bagaimana cara mengetahui realitas itu? Pengetahuan menurut kaum idealis didasarkan pada penerimaan terhadap ide-ide yang telah ada di dalam pikiran manusia sejak awal. Ide-ide itu adalah sesuatu yang a priori, dalam arti ‘tanpa pengalaman’. Jadi, tanpa tergantung pada pengalaman pun, sesungguhnya manusia telah memiliki pengetahuan awal berupa ide-ide bawaan. Lewat introspeksi, manusia dapat melakukan pengujian-pengujian terhadap pikirannya dan menemukan semacam copy dari pikiran makrokosmik. Dalam pendekatan ini, tugas guru adalah untuk membawa pengetahuan tersembunyi yang telah ada itu kepada kesadaran. Artinya, pengetahuan yang tersembunyi itu perlu diangkat ke tingkat yang dapat disadari oleh para murid. Lewat belajar, murid murid secara perlahan-lahan tiba pada pengertian yang lebih luas dari kesadaran mental. Sebagai suatu proses intelektual yang utama, belajar berarti memanggil kembali ide-ide bawaan dan bekerja dengan ide-ide bawaan itu. Oleh karena realitas adalah sesuatu yang ada di dalam pikiran, dalam hal ini merupakan aktifitas mental, maka pendidikan sangat berhubungan dengan hal-hal yang konseptual. Para murid mencoba menemukan perspektif yang lebih umum dari ide-ide bawaannya dalam lingkungan semestanya.

Para pendidik yang idealis lebih menyukai bentuk-bentuk kurikulum subject-matter, yang menghubungkan ide-ide dengan konsep dan sebaliknya, konsep dengan ide-ide. Sistem-sistem konseptual adalah sintesis dari ide-ide. Sistem-sistem konseptual itu adalah bahasa, matematika dan estetika merepresiasikan bermacam-macam dimensi dari yang absolut.Kurikulum pendidikan idealis menganggap bahwa budaya manusia adalah hirarkis. Pada puncak hirarki itu terdapat disiplin umum seperti filsafat dan teologi. Baik filsafat maupun teologi adalah disiplin-disiplin yang abstrak, melebihi batasan waktu, ruang dan keadaan, membicarakan hal-hal dalam situasi yang lebih luas. Matematika adalah disiplin yang khusus karena melatih kekuatan untuk berhubungan dengan abstraksi-abstraksi. Sejarah dan literatur juga mendapat tempat yang tinggi sejak menjadi sumber moral dan contoh model budaya serta pahlawan. Sesuatu yang rendah dalam hirarki serta rendah dalam prioritas itu adalah ilmu-ilmu alam dan fisika yang berurusan dengan hubungan-hubungan sebab akibat secara partikular. Bahasa menjadi disiplin yang mendasar karena kepentingan dalam berkomunikasi
3. AKSIOLOGI
Sistem nilai dalam pandangan idealisme adalah sesuatu yang absolut, abadi dan universal. Nilai-nilai merefleksikan kebaikan semesta. Dalam idealisme, aksiologi berakar pada ontologis, karena sebenarnya idealisme lebih menekankan pada aspek ontologis atau metafisika, daripada aspek-aspek yang lain. Oleh karena secara ontologis realitas itu adalah ide-ide, maka kriteria nilai-nilai baik secara etis maupun estetis terletak bukan pada diri manusia, melainkan pada keadaan di luar manusia. Keadaaan di luar manusia itu adalah prinsip-prinsip yang kekal, dan pasti secara idealis. Secara religius itu berarti prinsip tentang pribadi yang sempurna yaitu Tuhan. Secara objektif itu berarti pikiran-pikiran yang unggul, konsep-konsep yang teruji dan tahan lama, dan telah terbukti memberi faedah bagi umat manusia. Dalam tataran praktis, ini berarti orang-orang yang berotoritas, dan unggul dalam pemikiran akan menjadi standard kebenaran suatu nilai. Jadi dalam tataran teologis, wahyu ilahi sebagai standard kebenaran, secara praktis gereja, pemimpin, atau guru yang mengajarkan. Secara umum orang-orang yang unggul dalam ide-ide atau memiliki keunggulan rasiolah yang menjadi standar atau patokan bagi sebuah kebenaran.

Dalam praktis pendidikan menurut aliran idealisme, maka titikberatnya adalah pada tataran ontologis. Peserta didik perlu ditanamkan konsep bahwa mereka mahkluk spiritual dan rasional. sehingga pendidikan ini akan lebih menekankan konsep, gagasan, dan bagian-bagian keakademisan, dari pada hal-hal lain. Keberhasilan pendidikan ditinjau dari penguasaan materi secara akademis. Sedangkan dari sudut pandang religius, pendidikan bertujuan membimbing peserta didik agar berkepribadian, bermoral, dan religius. Kualitas peserta didik dilihat dari kemampuan untuk merumuskan konsep-konsep atau gagasan-gagasan dari pada hal-hal yang praktis.

Walaupun demikian, aspek epistemologis di mana metodologi pembelajaran dikembangkan juga mendapat perhatian penuh. Hal itu disebabkan karena status ontologis tertentu menentukan sikap epistemologis manusia. Sikap epistemologis itulah yang menjadi sarana bagi pencapaian kebenaran pengetahuan. Aspek epistemologis pendidikan idealisme mengacu pada epistemologis idealisme secara umum. Epistemologis idealisme secara umum memandang relaitas itu bukan didapat dari pengalaman inderawi melainkan dari perenungan-perenungan falsafahi. Kebenaran makna bukan didapat dari pengalaman empiris melainkan dari rasio, dan intuisi. Oleh karena itu, orang yang unggul secara rasional dianggap memiliki kebenaran-kebenaran yang tertinggi. Guru dianggap sebagai sumber kebenaran. Jawaban siswa yang tidak sesuai dengan guru akan dianggap salah. Bahkan guru juga menentukan cara untuk menemukan kebenaran itu sendiri.

Aspek nilai dalam pendidikan menurut aliran idealisme berada pada dataran yang tetap, kokoh, dan teruji oleh waktu. Ditetapkan oleh otoritas yang tertinggi bukan pada manusia sendiri-sendiri baik dalam etika maupun estetika. Untuk mencapai kriteria itu manusia tinggal meniru otoritas-otoritas yang dianggap memiliki kebenaran. Bisa jadi otoritas itu Tuhan, orang-orang yang unggul dalam pemikiran, pemimpin, dan lain-lain. Guru sebagai teladan dan pemilik kebenaran.

William T. Harris adalah tokoh aliran pendidikan idealisme yang sangat berpengaruh di Amerika Serikat. Bahkan, jumlah tokoh filosof Amerika kontemporer tidak sebanyak seperti tokoh-tokoh idealisme yang seangkatan dengan Herman Harrell Horne (1874-1946). Herman Harrell Horne adalah filosof yang mengajar filsafat beraliran idealisme lebih dari 33 tahun di Universitas New York.

Belakangan, muncul pula Michael Demiashkevitch, yang menulis tentang idealisme dalam pendidikan dengan efek khusus. Demikian pula B.B. Bogoslovski, dan William E. Hocking. Kemudian muncul pula Rupert C. Lodge (1888-1961), profesor di bidang logika dan sejarah filsafat di Universitas Maitoba. Dua bukunnya yang mencerminkan kecemerlangan pemikiran Rupert dalam filsafat pendidikan adalah Philosophy of Education dan studi mengenai pemikirian Plato di bidang teori pendidikan. Di Italia, Giovanni Gentile Menteri bidang Instruksi Publik pada Kabinet Mussolini pertama, keluar dari reformasi pendidikan karena berpegang pada prinsip-prinsip filsafat idealisme sebagai perlawanan terhadap dua aliran yang hidup di negara itu sebelumnya yaitu positivisme dan naturalisme.Idealisme sangat concern tentang keberadaan sekolah. Aliran inilah satu-satunya yang melakukan oposisi secara fundamental terhadap naturalisme. Pendidikan harus terus eksis sebagai lembaga untuk proses pemasyarakatan manusia sebagai kebutuhan spiritual, dan tidak sekadar kebutuhan alam semata. Gerakan filsafat idealisme pada abad ke-19 secara khusus mengajarkan tentang kebudayaan manusia dan lembaga kemanuisaan sebagai expresi spritual
.Para murid yang menikmati pendidikan di masa aliran idealisme sedang gencar-gencarnya diajarkan, memperoleh pendidikan dengan mendapatkan pendekatan (approach) secara khusus. Sebab, pendekatan dipandang sebagai cara yang sangat penting. Giovanni Gentile pernah mengemukakan, “Para guru tidak boleh berhenti hanya di tengah pengkelasan murid, atau tidak mengawasi satu persatu muridnya atau tingkah lakunya. Seorang guru mesti masuk ke dalam pemikiran terdalam dari anak didik, sehingga kalau perlu ia berkumpul hidup bersama para anak didik. Guru jangan hanya membaca beberapa kali spontanitas anak yang muncul atau sekadar ledakan kecil yang tidak banyak bermakna.
Bagi aliran idealisme, anak didik merupakan seorang pribadi tersendiri, sebagai makhluk spiritual. Mereka yang menganut paham idealisme senantiasa memperlihatkan bahwa apa yang mereka lakukan merupakan ekspresi dari keyakinannya, sebagai pusat utama pengalaman pribadinya sebagai makhluk spiritual. Tentu saja, model pemikiran filsafat idealisme ini dapat dengan mudah ditransfer ke dalam sistem pengajaran dalam kelas. Guru yang menganut paham idealisme biasanya berkeyakinan bahwa spiritual merupakan suatu kenyataan, mereka tidak melihat murid sebagai apa adanya tanpa adanya spiritual.Sejak idealisme sebagai paham filsafat pendidikan menjadi keyakinan bahwa realitas adalah pribadi, maka mulai saat itu dipahami tentang perlunya pengajaran secara individual. Pola pendidikan yang diajarkan fisafat idealisme berpusat dari idealisme. Pengajaran tidak sepenuhnya berpusat dari anak, atau materi pelajaran, juga bukan masyarakat, melainkan berpusat pada idealisme. Maka, tujuan pendidikan menurut paham idealisme terbagai atas tiga hal, tujuan untuk individual, tujuan untuk masyarakat, dan campuran antara keduanya.Pendidikan idealisme untuk individual antara lain bertujuan agar anak didik bisa menjadi kaya dan memiliki kehidupan yang bermakna, memiliki kepribadian yang harmonis dan penuh warna, hidup bahagia, mampu menahan berbagai tekanan hidup, dan pada akhirnya diharapkan mampu membantu individu lainnya untuk hidup lebih baik. Sedangkan tujuan pendidikan idealisme bagi kehidupan sosial adalah perlunya persaudaraan sesama manusia. Karena dalam spirit persaudaraan terkandung suatu pendekatan seseorang kepada yang lain. Seseorang tidak sekadar menuntuk hak pribadinya, namun hubungan manusia yang satu dengan yang lainnya terbingkai dalam hubungan kemanusiaan yang saling penuh pengertian dan rasa saling menyayangi. Sedangkan tujuan secara sintesis dimaksudkan sebagai gabungan antara tujuan individual dengan sosial sekaligus, yang juga terekspresikan dalam kehidupan yang berkaitan dengan tuhan.
Guru dalam sistem pengajaran yang menganut aliran idealisme berfungsi sebagai: (1) guru adalah personifikasi dari kenyataan si anak didik; (2) guru harus seorang spesialis dalam suatu ilmu pengetahuan dari siswa; (3) Guru haruslah menguasai teknik mengajar secara baik; (4) Guru haruslah menjadi pribadi terbaik, sehingga disegani oleh para murid; (5) Guru menjadi teman dari para muridnya; (6) Guru harus menjadi pribadi yang mampu membangkitkan gairah murid untuk belajar; (7) Guru harus bisa menjadi idola para siswa; (8) Guru harus rajib beribadah, sehingga menjadi insan kamil yang bisa menjadi teladan para siswanya; (9) Guru harus menjadi pribadi yang komunikatif; (10) Guru harus mampu mengapresiasi terhadap subjek yang menjadi bahan ajar yang diajarkannya; (11) Tidak hanya murid, guru pun harus ikut belajar sebagaimana para siswa belajar; (12) Guru harus merasa bahagia jika anak muridnya berhasil; (13) Guru haruslah bersikap dmokratis dan mengembangkan demokrasi; (14) Guru harus mampu belajarbagaimana pun keadaannya





BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan kajian yang telah dikemukakan dalam pembahasan sebelumnya diperoleh temuan sebagai sebagai berikut:
Pertama, aliran filsafat idealisme dalam pendidikan menekankan pada upaya pengembangan bakat dan kemampuan peserta didik sebagai aktualisasi potensi yang dimilikinya. Untuk mencapainya diperlukan pendidikan yang berorientasi pada penggalian potensi dengan memadukan kurikulum pendidikan umum dan pendidikan praktis. Kegiatan belajar terpusat pada peserta didik yang dikondisikan oleh tenaga pendidik.

Dari aspek-aspek ini, dapat disimpulkan bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang mendatangkan kestabilan, telah teruji waktu, tahan lama dan terseleksi. Nilai-nilai yang diterima adalah yang telah terbukti mendatangkan kebaikan pada umat manusia. Pendidikan ini akan mengutamakan kemampuan akademis yang telah baku. Kebenaran didapat manusia melalui intuisi, rasio dan wahyu, bukan dari penginderaan, sebab penginderaan hanyalah persepsi bukan realitas yang sesungguhnya. Realitas yang sesungguhnya terdapat dalam ide-ide atau gagasan.

.


B. SARAN








DAFTAR PUSTAKA

Dewey. J (1964). Democracy in Education. Newyork: The Mc Millan Company.
Henderson, Stella van Petten, 1959. Introduction to Philosophy of Education. Chicago: The University of Chicago Press.
Mudyahardjo, R., (2001). Filsafat Ilmu Pendidikan: Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Power, E. J. (1982). Philosophy of Education. NewJersey: Prentice Hall Inc.
Sadulloh, U. (2004). Pengantar Pilsafat Pendidikan. Bandung: Alpabeta.
April 23, 2009
1. Ornstein, Alan, C., & Levine, Daniel, U., (ed.), 1988, An Introduction to The Foundation of Education, Houghton Miftin Company: Boston.
2. Palmer, Joy, A., 2001, Fifty Major Thinkers on Education: From Confucius to Dewey, Routledge: London.
3. Provenzo, Eugene, F., & John Philip Renaud (ed.), 2009, Encyclopedia of The Social and Cultural Foundations of Education (vol. 1-3). Sage Publications: London.
4. Unger, Harlow, G., 2007, Encyclopedia of American Education (vol. 1-3), Facts On File Inc.: NY.
5. Winch, Christoper & John Gingell, 1999, Philosophy of Education: The Key Concepts (2nd ed.). Routledge: London