PEMBUKA

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM

Selasa, 25 Januari 2011

TANTANGAN PENIDIDIKAN ISLAM DI ERA GLOBALISASI

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Teknologi modern telah memungkinkan terciptanya komunikasi bebas lintas benua, lintas negara, menerobos berbagai pelosok perkampungan di pedesaan dan menyelusup di gang-gang sempit di perkotaan, melalui media audio (radio) dan audio visual (televisi, internet, dan lain-lain). Fenomena modern yang terjadi di awal milenium ketiga ini popular dengan sebutan globalisasi.
Sebagai akibatnya, media ini, khususnya televisi, dapat dijadikan alat yang sangat ampuh di tangan sekelompok orang atau golongan untuk menanamkan atau, sebaliknya, merusak nilai-nilai moral, untuk mempengaruhi atau mengontrol pola fikir seseorang oleh mereka yang mempunyai kekuasaan terhadap media tersebut. Persoalan sebenarnya terletak pada mereka yang menguasai komunikasi global tersebut memiliki perbedaan perspektif yang ekstrim dengan Islam dalam memberikan criteria nilai-nilai moral; antara nilai baik dan buruk, antara kebenaran sejati dan yang artifisial. Di sisi lain era kontemporer identik dengan era sains dan teknologi, yang pengembangannya tidak terlepas dari studi kritis dan riset yang tidak kenal henti. Dengan semangat yang tak pernah padam ini para saintis telah memberikan kontribusi yang besar kepada keseejahteraan umat manusia di samping kepada sains itu sendiri. Hal ini sesuai dengan identifikasi para saintis sebagai pecinta kebenaran dan pencarian untuk kebaikan seluruh umat manusia. Akan tetapi, sekali lagi, dengan perbedaan perspektif terhadap nilai-nilai etika dan moralitas agama, jargon saintis sebagai pencari kebenaran tampaknya perlu dipertanyakan.

BAB II
TANTANGAN PENIDIDIKAN ISLAM DI ERA GLOBALISASI
A. Diversifikasi Konsep Pendidikan Islam
Ahmed (1990) mendefinisikan pendidikan sebagai “suatu usaha yang dilakukan individu-individu dan masyarakat untuk mentransmisikan nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan dan bentuk-bentuk ideal kehidupan mereka kepada generasi muda untuk membantu mereka dalam meneruskan aktifitas kehidupan secara efektif dan berhasil.
Khan (1986) mendefinisikan maksud dan tujuan pendidikan Islam sebagai berikut:
a. Memberikan pengajaran Al-Qur’an sebagai langkah pertama pendidikan.
b. Menanamkan pengertian-pengertian berdasarkan pada ajaran-ajaran fundamental Islam yang terwujud dalam Al-Qur’an dan Sunnah dan bahwa ajaran-ajaran ini bersifat abadi.
c. Memberikan pengertian-pengertian dalam bentuk pengetahuan dan skill dengan pemahaman yang jelas bahwa hal-hal tersebut dapat berubah sesuai dengan perubahan-perubahan dalam masyarakat.
d. Menanamkan pemahaman bahwa ilmu pengetahuan tanpa basis Iman dan Islam adalah pendidikan yang tidak utuh dan pincang.
e. Menciptakan generasi muda yang memiliki kekuatan baik dalam keimanan maupun dalam ilmu pengetahuan.
f. Mengembangkan manusia Islami yang berkualitas tinggi yang diakui secara universal.
Pendekatan pendidikan Islam yang diajukan oleh kedua pakar pendidikan di atas tersimpul dalam First World Conference on Muslim Education yang diadakan di Makkah pada tahun 1977:

“Tujuan daripada pendidikan (Islam) adalah menciptakan ‘manusia yang baik dan bertakwa ‘yang menyembah Allah dalam arti yang sebenarnya, yang membangun struktur pribadinya sesuai dengan syariah Islam serta melaksanakan segenap aktifitas kesehariannya sebagai wujud ketundukannya pada Tuhan.”
Oleh karena itu jelaslah bahwa yang dimaksud dengan pendidikan Islam di sini bukanlah dalam arti pendidikan ilmu-ilmu agama Islam yang pada gilirannya mengarah pada lembaga-lembaga pendidikan Islam semacam madrasah, pesantren atau UIN (dulu IAIN). Akan tetapi yang dimaksud dengan pendidikan Islam di sini adalah menanamkan nilai-nilai fundamental Islam kepada setiap Muslim terlepas dari disiplin ilmu apapun yang akan dikaji. Sehingga diharapkan akan bermunculan “anak-anak muda enerjik yang berotak Jerman dan berhati Makkah” seperti yang sering dikatakan oleh mantan Presiden B.J. Habibie. Kata-kata senada dan lebih komprehensif diungkapkan oleh Al-Faruqi (1987) pendiri International Institute of Islamic Thought, Amerika Serikat, dalam upayanya mengislamkan ilmu pengetahuan. Sengaja saya kutip menurut teks aslinya untuk tidak mengurangi semangat universalitas Islam yang terkandung di dalamnya:
“Islamization does not mean subordination of any body of knowledge to dogmatic principles or arbitrary objectives, but liberation from such shackles. Islam regards all knowledge as critical; i.e., as universal, necessary and rational. It wants to see every claims pass through the tests of internal coherence correspondence with reality, and enhancement of human life and morality. Consequently, the Islamized discipline which we hope to reach in the future will turn a new page in the history of the human spirit, and bring it clear to the truth.”
Di sini perlu ditekankan bahwa konsep pendidikan dalam Islam adalah ‘long life education’ atau dalam bahasa Hadits Nabi “sejak dari pangkuan ibu sampai ke liang lahat” (from the cradle to the grave). Itu berarti pada tahap-tahap awal, khususnya sebelum memasuki bangku sekolah, perang orang tua terutama ibu amatlah krusial dan menentukan mengingat pada usia balita inilah pendidik, dalam hal ini orang tua, memegang peran penting di dalam menanamkan nilai-nilai keislaman kepada anak. Dampak lebih jauh televisi terhadap perkembangan anak balita seperti yang dikatakan Hiesberger (1981) bisa mengarah pada “a dominant voice in our lives dan a major agent of socialization in the lives of our children” (menjadi suara dominan dalam kehidupan kita dan agen utama proses sosialisasi dalam kehidupan anak-anak kita).
Tentu saja peran orang tua tidak berhenti sampai di sini, keterlibatan orang tua juga diperlukan pada fase-fase berikutnya ketika anak mulai memasuki usia sekolah, baik SD, SMP, maupun SMU. Menjelang mas pubertas yakni pada usia antara dua belas sampai delapan belas tahun anak menjalani episode yang sangat kritis di mana sukses atau gagalnya karir masa depan anak sangat tergantung pada periode ini. Robert Havinghurst, pakar psikolog Amerika, menyebutkan periode ini sebagai “developmental task” atau proses perkembangan anak menuju usia dewasa.
Apabila kita kaitkan periode developmental task ini pada aspek budaya kehidupan anak-anak Muslim, khususnya mereka yang tinggal di negara-negara non-Muslim atau di negara Islam tapi di kota-kota besar, dapat dibayangkan situasi yang mereka hadapi. Mereka tidak pernah atau jarang melihat sikap positif terhadap Islam, baik dalam keluarga, di sekolah maupun di masyarakat. Dalam situasi seperti ini tentu merupakan tanggung jawab orang tua untuk menanamkan nilai nilai moral, berbagi pengalaman kehidupan Islami yang pada gilirannya nanti akan mengarah pada internalisasi misi Al-Qur’an dan Sunnah. Peran orang tua seperti ini akan sangat membantu anak dalam memasuki kehidupan yang fungsional sebagai Muslim yang dewasa dan sebagai anggota yang aktif dalam komunitas Islam. Apabila anak menampakkan tanda-tanda sikap yang negatif terhadap Islam yang disebabkan oleh pengaruh dari sekolah atau masyarakat atau karena kecerobohan dan kelengahan orang tua, maka hal ini akan mengakibatkan penolakan anak terhadap hidup Islami dan akan gagal berintegrasi dengan komunitas Islam.
Oleh karena itu adalah tugas orang tua, khususnya dan utamanya, untuk mengatur strategi yang tepat dalam rangka membantu proses pembentukan pribadi anak khususnya dalam periode developmental task tersebut.. Dalam hal ini orang tua haruslah memiliki wawasan pengetahuan yang luas serta dasar pengetahuan agama yang mencukupi untuk menghindari kesalahan strategi dalam mendidik anak. Kedua, mengalokasikan waktu yang cukup untuk memberikan kesempatan bagi anak berinteraksi serta meresapi sikap-sikap Islami yang ditunjukkan oleh orang tua dalam perilaku kesehariannya. Persoalannya adalah secara factual tidak semua orang dapat memenuhi criteria-kriteria di atas yang disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut: (a) Orang tua, terutama ibu, tidak memiliki wawasan pengetahuan yang mempuni, khususnya di bidang pedagogi anak dan nilai-nilai dasar Islami.
B. Langkah-Langkah Mengantar Anak Menuju Pintu Gerbang Masa Depan yang Cerah, Sehat, Agamis dalam Menghadapi Globalisasi.
Pertama, mendatangkan guru privat agama pada waktu usia anak di bawah dua belas tahun untuk mengajarkan nilai-nilai dasar Islam, termasuk cara membaca Al-Qur’an dan Hadits. Pada usia tiga belas tahun sampai dengan delapan belas tahun kandungan makna Al-Qur’an dan Hadits mulai diajarkan dengan metode yang praktis, sistematis dan komprehensif, mengingat pada periode ini anak sudah mulai disibukkan dengan pelajaran-pelajaran di sekolah. Dengan demikian diharapkan ketika memasuki bangku kuliah anak sudah memiliki gambaran yang utuh dan komprehensif tentang Islam, beserta nilai-nilai abadi yang terkandung di dalamnya. Sehingga ia tidak akan mudah menyerah terhadap tekanan-tekanan dan pengaruh-pengaruh luar yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam, minimal ia akan tahu ke mana jalan untuk kembali ketika, oleh pengaruh eksternal yang terlalu kuat, ia melakukan penyimpangan-penyimpangan dari nilai-nilai Islam.
Kedua, menyekolahkan anak sejak dari SMP sampai SMU di lembaga-lembaga Islam semacam pesantren modern yang saat ini sudah banyak memiliki sekolah-sekolah umum yang berkualitas.
Ketiga, memasukkan anak sejak TK sampai SMU di lembaga-lembaga pendidikan yang memakai lebel Islam, seperti yayasan Muhammadiyah, yayasan NU, yayasan al-Azahar dan lain-lain. Akan tetapi alternatif ketiga ini dalam pengamatan penulis tidak begitu efektif. Salah satu sebabnya adalah karena kurang komprehensifnya kurikulum keislaman di dalamnya. Kendatipun begitu, ini jauh lebih baik dibanding, misalnya, memasukkan anak ke sekolah-sekolah non-Muslim. Memang menyekolahkan anak ke sekolah-sekolah non-Muslim tidak berarti anak tersebut akan terkonversi ke agama lain, tetapi dampak minimal yang tak terhindarkan adalah timbulnya sikap skeptis dan apatis anak terhadap Islam.
Secara faktual hampir seluruh negara-negara Islam. baru terlepas dari belenggu penjajahan Barat di akhir abad dua puluh tepatnya sekitar 1950-an. Pada umumnya terjadinya pemindahan kekuasaan dari penjajah ke tangan pribumi menimbulkan terjadinya perubahan politik di negara-negara tersebut yang sebagai akibatnya tertundanya reformasi pendidikan yang dicita-citakan sebelumnya. Pendidikan hanya menjadi bagian dari retorika politik dan rencana-rencana pengembangan pendidikan terartikulasi tanpa adanya pencapaian yang berarti. Dewasa inipun anggaran negara yang dicanangkan untuk program pendidikan di negara-negara Islam relatif sangat rendah sehingga infrastruktur pendidikan yang mutlak diperlukan tidak atau jarang tersedia. Sebagai contoh Malaysia, negara Islam yang relatif maju program pendidikannya ini, menurut UNESCO (1996) hanya mengalokasikan dana U$D 82 perkapita, sementara Indonesia sendiri cuma mengalokasikan U$D 6 perkapita.
Di samping itu, sudah bukan rahasia lagi bahwa di era Orde Baru pelajar mengalami banyak hambatan, khususnya untuk kuliah agama, untuk dapat belajar ke luar negeri apalagi untuk mendapatkan beasiswa. Bandingkan misalnya dengan Malaysia atau India. Para pelajarnya bukan hanya didorong untuk belajar ke luar negeri tetapi juga mendapat tawaran-tawaran beasiswa atau pinjaman-pinjaman jangka panjang yang menarik. Di “Orde Reformasi” ini sangat urgen adanya sikap kebersamaan antara lembaga-lembaga agama, khususnya lembaga Islam dengan pemerintah melalui pendekatan yang bersifat mutual respect (saling menghargai), mutual understanding (saling memahami) dan mutual need (saling membutuhkan) dengan tujuan yang pasti yaitu untuk semakin mendorong laju pertumbuhan pendidikan demi terciptanya jutaan pakar-pakar Iptek yang ber-imtak.



BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Gambaran solusi Islami terhadap tantangan-tantangan pendidikan di era globalisasi di atas, bagaimanapun, merupakan disain besar, yang oleh sebagian kalangan mungkin dianggap terlalu romantis. Kendatipun bukan berarti mustahil dilakukan dengan melihat beberapa fenomena paling mutakhir di berbagai dunia Islam, khususnya Indonesia meliputi : (a) semakin menipisnya dikotomi antara (meminjam istilah Clifford Geertz ) Islam Santri dan Islam Abangan, (b) semakin banyaknya pakar iptek yang berlatar belakang santri, (c) semakin tipisnya friksi yang terjadi antara berbagai organisasi Islam yang disebabkan oleh semakin tajamnya visi Islam mereka dalam awal milenium ini dan (d) terjadinya perubahan dahsyat dalam konstalasi politik di Indonesia dari demokrasi artifisial, menuju demokrasi yang relatif dapat diharapkan.
Untuk itu yang paling diperlukan guna mengimplementasikan blue-print di atas adalah visi yang jauh ke depan dan political will semua pihak yang terkait yaitu: individu-individu Muslim (termasuk orang tua), para pakar iptek dan agama, institusi-institusi pendidikan, lembaga-lembaga Islam serta pemerintah.
B. Saran.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini terdapat kekurangan baik isi maupun materi dalam pembahasan, untuk itu Penulis mohon kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya membangun demi kesempurnaan penulisan ini.


DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, Manzoor (1990), Islamic Education, New Delhi: Qazi Publishers, hlm. 1

Asfar, Muhamad (1996), “Ulama dan Politik: Perspektif Masa Depan”, Ulumul Quran, 5(VI), hlm. 4-18.Brown, Chip, “The Science Club Serves its Country” dalam Esquire, December 1994.
Cairns, E. (1990), “Impact of Television News Exposure on Children’s Perceptions of Violence in Northern Ireland” Journal of Social Psychology, hlm. 130, 447-452.
Conway, M.M., Stevens, A.J. & Smith, R.G. (1975), “The Relation between Media Use and Children’s Civic Awareness”, Journalism Quarterly, hlm. 52, 531-538.
Faruqi, Isma’il al- (1987), “Foreward” dalam Akbar S. Ahmed Toward Islamic Anhtropology: Definition, Dogma and Directions, Lahore, hlm.7.
Francis, Leslie J. (1997), “The Socio-psychological Profile of the Teenage Television Addict” dalam The Muslim Education Quarterly, 1 (15), hlm 5-19.
Hegell, A & Newburn, T. (1996), “Comparison of the Viewing Habits and Preferences of Young Offenders and Representative Shool Children”, Pastoral Care, 14, 1, hlm. 31-42.
Khan, Sharif (1986), Islamic Education, New Delhi: Ashish Publishing House, hlm.37-38.
Khan, Sharif (1997), Some Aspects of Islamic Education, Ambala Cantt. (India): Associated Publishers, hlm.61-64.

"Islamisasi tidak berarti subordinasi dari tubuh pengetahuan dengan prinsip-prinsip dogmatis atau tujuan sewenang-wenang, tetapi pembebasan dari belenggu tersebut. Islam menganggap semua pengetahuan penting, yakni, sebagai universal, diperlukan dan rasional. Ia ingin melihat setiap klaim melalui pengujian korespondensi koherensi internal dengan realitas, dan peningkatan kehidupan manusia dan moralitas. Akibatnya, disiplin agama Islam yang kami berharap dapat mencapai di masa depan akan membuka halaman baru dalam sejarah jiwa manusia, dan membawanya jelas untuk kebenaran. "

FILSAFAT PENDIDIKAN REKONSTRUKSIONISME

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam filsafat modern dikenal beberapa aliran-aliran diantaranya aliran Rekonstruksionisme.Dizaman modern ini banyak menimbulkan krisis di berbagai bidang kehidupan manusia terutama dalam bidang pendidikan, dimana keadaan sekarang merupakan zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kehancuran, kebingungan dan kesimpangsiuran.
Untuk mengatasi krisis kehidupan modern tersebut aliran rekonstruksionisme menempuhnya dengan jalan berupa membina konsensus yang paling luas dan mengenai tujuan pokok yang tertinggi dalam kehidupan umat manusia. Oleh karena itu pada aliran rekonstruksionisme ini peradaban manusia masa depan sangat ditekankan, disamping itu aliran rekonstruksionisme lebih jauh menekankan tentang pemecahan masalah, berpikir kritis dan sebagainya.
B. Rumusan Masalah
Sebagaimana disinggung dalam latar belakang masalah maka dalam penulisan ini penulis akan memformulasikan beberapa rumusan masalah sebagai berikut, “Apakah Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme”.
C. Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah adalah :
1. Agar mengetahui pengertian Filsafat Rekonstruksionisme
2. Agar mengetahui teori pendidikan Rekonstruksionisme
3. Agar mengetahui pandangan-pandangan tentang Rekonstruksionisme
4. Agar mengetahui macam-macam pendekatan Rekonstruksionisme
5. Agar mengetahui komponen kurikulum Rekonstruksionism
BAB II
FILSAFAT PENDIDIKAN REKONSTRUKSIONISME
A. Pengertian Filsafat Pendidikan Rekontruksionisme
Kata rekonstruksionisme dalam bahasa Inggris “reconstruct” yang berarti menyusun kembali, dalam konteks filsafat aliran rekonstruksionisme adlah suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata hidup kebudayaan yang bercorak modern yaitu melakukan perombakan dan menyusun kembali pola-pola lama menjadi pola-pola baru yang lebih modern.

B. Teori Pendidikan Rekonstruksionisme
Teori pendidikan rekonstruksionisme yang dikemukakan oleh Brameld terdiri dari enam tesis, yaitu :
1. Pendidikan harus dilaksanakan disini dan sekarang dalam rangka menciptakan tata sosial baru yang akan mengisi nilai-nilai dasar budaya kita dan selaras dengan yang mendasari kekuatan-kekuatan ekonomi, dan sosial modern. Pendidikan harus mensponsori perubahan yang benar dalam nurani manusia. Oleh karena itu, kekuatan teknologi yang sangat kuat harus dimanfaatkan untuk membangun umat manusia, bukan untuk menghancurkannya. Masyarakat harus diubah bukan melalui tindakan positif, melainkan dengan cara mendasar.
2. Masyarakat baru harus berada dalam kehidupan demokrasi sejati, dimana sumber dan lembaga utama dalam masyarakat dikontrol oleh warganya sendiri. Semua yang mempengaruhi harapan dan hajat masyarakat seperti sandang, pangan, papan, kesehatan industry dan sebagainya. Semua akan menjadi tanggung jawab rakyat melalui wakil-wakil yang dipilih. Masyarakat ideal adalah masyarakat yang demokrasi. Struktur, tujuan dan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan tata aturan baru harus diakui merupakan bagian dari pendapat masyarakat.
3. Anak, sekolah, dan pendidikan itu sendiri dikondisikan oleh kekuatan budaya dan sosial. Menurut rekonstruksionisme hidup beradab adalah hidup berkelompok sehingga kelompok akan memainkan peran yag penting disekolah.
4. Guru harus meyakini terhadap validitas dan urgensinya dirinya dengan cara bijaksana yaitu dengan memperhatikan prosedur yang demokratis. Guru harus mengadakan pengujian secara terbuka terhadap fakta-fakta.
5. Cara dan tujuan pendidikan harus diubah kembali seluruhnya dengan tujuan untuk menemukan kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan krisis budaya dewasa ini, dan untuk menyesuaikan kebutuhan dengan sains sosial. Yang penting dari sains sosial adalah mendorong kita untuk menemukan nilai-nilai, dimana manusia percaya atau tidak bahwa nilai-nilai itu bersifat universal.
6. Kita harus meninjau kembali penyusunan kurikulum, isi pelajaran, metode yang pakai, struktur administrasi, dan bagaiman guru dilatih. Semua itu harus di bangun kembali bersesuaian dengan teori kebutuhan tentang sifat dasar manusia secara rasional dan ilmiah. Kita harus menyusun kurikulum dimana pokok-pokok dan bagiannya dihubungkan secara integral, tidak disajikan sebagai suatu sekuensi komponen pengetahuan.

C. Pandangan-pandangan Tentang Rekonstruksionisme
1. Pandangan Ontology
Dengan ontology dapat mengetahui tentang bagaimana hakikat dari segala sesuatu. Aturan rekonstruksionisme memandang bahwa realita itu bersifat universal yang mana realita itu ada dimana dan sama disetiap tempat. Menurut Noor Syam, untuk mengerti suatu realita beranjak dari suatu yang kongkrit dan menuju kearah yang khusus menampakkan diri dalam perwujudan sebagaimana yang kita lihat dihadapan kita dan ditangkap oleh panca indera manusia.

2. Pandangan Epistimologis
Kajian epistimologis aliran ini berpijak pada pola pemikiran bahwa untuk memahami realita alam nyata memerlukan asas tahu, karenanya baik indera maupun rasio sama-sama membentuk pengetahuan dan akal dibawa oleh panca indera menjadi pengetahuan dalam yang sesungguhnya.

3. Pandangan Ontologis
Bernadib mengungkapkan bahwa aliran rekonstruksionisme memandang masalah nilai berdasarkan asas supernatural yakni menerima nilai natural yang universal, yang abadi berdasarkan prinsip nilai teologis. Hakikat manusia adalah emanasi (pancaran) yang potensial yang berasal dari dan dipimpin oleh Tuhan dan atas dasar inilah tinjauan tentang kebenaran dan keburukan dapat diketahui. Kemudian manusia sebagai subjek telah mempunyai potensi-potensi kebaikan dan keburukan sesuai kodratnya.

4. Pandangan Filsafat Rekonstruksionisme Tentang Pengetahuan
Secara umum, filsafat rekonstruksionisme merupakan sebuah paham anti essensialisme, yang menekankan kepada penciptaan budaya dan sejarah. Bagi filsafat rekonstruksionisme yang terpenting adalah pribadi sebagai bentuk budaya, karena pribadi terbentuk dari materi budaya, seperti bahasa dan praktik budaya lainnya dalam waktu tertentu dan tempat tertentu pula. Sementera itu ia memandang pengetahuan merupakan proses menjadi pelan-pelan yang menjadi lengkap dan benar.
Para penganut rekontruksionisme berpendapat bahwa pengetahuan itu adalah merupakan konstruksi dari kita yang sedang belajar. Pengetahuan bukanlah kumpulan fakta dari suatu kenyataan yang dipelajari tetapi merupakan kontruksi kognitif seseorang terhadap objek, pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ada disana dan orang tinggal mengmbilnya,tetapi merupakan suatu bentuk terus menerus dari seseorang yang setiap kali mengadakan reorganisasi karena munculnya pemahaman yang baru.
Kaum rekonstruksionisme menyatakan bahwa manusia dapat mengetahui sesuatu dengan inderanya. Dengan berinteraksi terhadap objek dan lingkungan melalui proses melihat, mendengar, menjamah, membau, dan merasakan, orang dapat mengetahui sesuatu.
Von Glaserfeld menyebutkan beberapa kemampuan yang diperlukan untuk proses pembentukan pengetahuan itu seperti :
1. Kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman.
2.Kemampuan membandingkan dan mengambil keputusan akan kesamaan dan perbedaan
3. Kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengalaman yang satu dari pada yang lain. Kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengaaman sangat penting karena pengetahuan dibentuk oleh interaksi dengan pengalaman-pengalaman tersebut.




D. Macam-macam Pendekatan Rekonstruksionisme
Pendekatan ini juga disebut rekonstruksi sosial karena memfokus kurikulum pada masalah-masalah penting yang dihadapi dalam masyarakat, seperti polusi, ledakan penduduk, dan lain-lain.
Dalam gerakan rekonstruksionisme terdapat dua kelompok utama yang sangat berbeda pandangan tentang kurikulum, yakni :
1. Rekonstruksionisme Konservatif, aliran ini menginginkan agar pendidikan ditujukan kepada peningkatan mutu kehidupan individu maupun masyarakat dengan mencari penyelesaian masalah-masalah yang paling mendesak yang dihadapi masyarakat, masalah-masalah dapat bersifat local dan bersifat daerah nasional, regional dan internasional bagi pelajar SD dan Perguruan Tinggi. Peranan guru sebagai orang yang menganjurkan perubahan (agent of change) mendorong siswa menjadi partisipan aktif dalam proses perbaikan masyarakat. Pendekatan kurikulum ini konsisten dengan Falsafah Pragmatisme.
2. Rekonstruksionisme Radikal, pendekatan ini berpendapat bahwa banyak Negara mengadakan pembangunan dengan merugikan rakyat kecil, yang miskin yang merupakan mayoritas masyarakat. Elite yang berkuasa mengadakan tekanan terhadap massa yang tak berdaya melalui system pendidikan yang diatur demi tujuan itu.
Golongan radikal ini menganjurkan agar pendidikan formal maupun pendidikan nonformal mengabdikan diri demi tercapainya orde sosial baru berdasarkan pembagian kekuasaan dan kekayaan yang lebih adil dan merata. Mereka berpendapat bahwa sekolah yang dikembangkan negara bersifat opresif dan tidak humanistic serta digunakan sebagai alat golongan elit untuk mempertahankan status quo.
Untuk pendirian yang saling bertentangan ini, baik yang konservatif maupun yang radikal mempunyai unsur kesamaan. Mereka berasumsi bahwa masalah-masalah sosial adalah hasil ciptaan manusia dan karena itu dapat diatasi oleh manusia. Sebaliknya golongan radikal ingin merombak tata sosial yang ada dan menciptakan tata sosial yang baru sama sekali untuk memperbaiki system lebih efisien.

E. Komponen-komponen Kurikulum Rekonstruksi
1. Tujuan dan Isi Kurikulum
Tujuan program pendidikan setiap tahun berubah, misalnya dalam pendidikan ekonomi-politik, pada tahun pertama membangun kembali dunia ekonomi politik. Maka kegiatan yang dilakukan adalah :
a. Mengadakan survey secara kritis terhadap masyarakat.
b. Mengadakan studi tentang hubungan antara keadaan ekonomi lokal, nasional, serta internasional.
c. Mengadakan studi tentang latar belakang historis dan kecenderungan-kecenderungan pertimbangan ekonomi, hubungannya dengan ekonomi lokal.
d. Mengkaji praktek politik dalam hubungannya dengan faktor ekonomi
e. Memantapkan rencana perubahan praktek politk.
f. Mengevaluasi semua rencana dengan kriteria apakah telah memenuhi kepentingan sebagian besar orang.

2. Metode
Guru berusaha membantu siswa dalam menemukan minat dan kebutuhannya sesuai dengan minat masing-masing siswa, baik dalam kegiatan pleno atau kelompok berusaha memecahkan masalah sosial yang dihadapi dengan kerja sama.

3. Evaluasi
Dalam kegiatan evaluasi para siswa juga dilibatkan. Keterlibatan mereka terutama dalam memilih, menyusun, dan menilai bahan yang akan diujikan. Soal yang diujikan dinilai terlebih dahulu baik ketepatan maupun keluasan isinya, juga keampuhan menilai pencapaian tujuan-tujuan pembangunan masyarakat yang sifatnya kualitatif. Evaluasi tidak hanya menilai apa yang dikuasai siswa, tetapi juga menilai pengaruh kegiatan sekolah terhadap msyarakat. Pengaruh tersebut terutama menyangkut perkembangan masyarakat dan peningkatan taraf kehidupan masyarakat.













BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Pandangan aliran rekonstruksionisme berkeyakinan bahwa tugas penyelamat dunia merupakan tugas bersama semua umat manusia atau bangsa, karenanya pembinaan kembali daya intelektual dan spiritual yang sehat akan membina kembali manusia melalui pendidikan yang tepat atas nilai dan norma yang benar demi generasi sekarang dan generasi yang akan datang, sehingga terbentuk alam dan dunia baru dalam pengawasan umat manusia.
Aliran rekonstruksionisme ini memiliki persepsi bahwa masa depan suatu bangsa merupakan suatu dunia yang diatur, diperintah oleh rakyat secara demokratis sehingga perubahan-perubahan untuk mencapai tujuan yang lebih baik akan selalu diadakan dan dijadikan realita, dan bukan dunia yang dikuasai oleh golongan-golongan tertentu, sehingga dapat diwujudkan suatu dunia dengan potensi-potensi teknologi yang mampu meningkatkan kualitas pendidikan, kesehatan, kesejahteraan dan kemakmuran serta keamanan masyarakat tanpa membedakan warna kulit, keturunan, agama, dan masyarakat yang bersangkutan, akan tetapi perubahan yang digunakan untuk kepentingan bersama.






DAFTAR PUSTAKA
HanafiImam,”ParadigmaPembelajaranRekonstruksionisme”:http://nafieihsan.blogspot.com/2008/05/Paradigma-Pembelajaran html (diakses tanggal 13 Desember 2010)
Jalaludin dan Abdullah,” Filsafat Pendidikan Manusia dan Pendidikan “(Jakarta : Gaya Media Pratama, 1997)
Priari,”Pendekatan-Pendekatan Dalam Pendidikan Luar Sekolah,”007luck di/ pada 8 Oktober 2008, http : //priari007luck.wordpress. (diakses tgl 13 Desember 2010)
Sadullah Uyoh,”Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung,” : Alfa Beta, 2003
Sukma Dinata, Nana Syaodih, “Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek,”Bandung : PT. Remaja Rosda Karya, 2006

Kamis, 06 Januari 2011

PENGEMBANGAN INDIKATOR

BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar belakang.
Terdapat banyak alasan untuk mempelajari filsafat pendidikan, khususnya apabila ada pertanyaan rasional yang seyogyanya tidak dapat dijawab oleh ilmu atau cabang ilmu-ilmu pendidikan. Pakar dan praktisi pendidikan memandang filsafat yang membahas konsep dan praktik pendidikan secara komprehensif sebagai bagian yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan pendidikan.
Terlebih lagi, di tengah arus globalisasi dan modernisasi yang melaju sangat pesat, pendidikan harus diberi inovasi agar tidak ketinggalan perkembangan serta memiliki arah tujuan yang jelas. Di sinilah perlunya konstruksi filosofis yang mampu melandasi teori dan praktek pendidikan untuk mencapai keberhasilan substantif.
Teori dan praktek pendidikan memiliki spektrum yang sangat luas mencakup seluruh pemikiran dan pengalaman tentang tujuan, proses, serta hasil pendidikan. Pendidikan dapat dipelajari secara empirik berdasarkan pengalaman maupun melalui perenungan dengan melihat makna pendidikan dalam konteks yang lebih luas. Praktek pendidikan memerlukan teori pendidikan, karena teori pendi¬dikan akan memberikan manfaat antara lain: (1) Sebagai pedoman untuk mengetahui arah dan tujuan yang akan dicapai; (2) Mengurangi kesalahan-¬kesalahan dalam praktek pendidikan karena dengan memahami teori dapat dipilih mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan; (3) Sebagai tolok ukur untuk mengetahui sampai sejauh mana keberhasilan pendidikan.


BAB II
PENGEMBANGAN INDIKATOR
A. Pengertian
Indikator merupakan penanda pencapaian KD yang ditandai oleh perubahan perilaku yang dapat diukur yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Indikator dikembangkan sesuai dengan karakteristik peserta didik, mata pelajaran, satuan pendidikan, potensi daerah dan dirumuskan dalam kata kerja operasional yang terukur dan/atau dapat diobservasi.
Dalam mengembangkan indikator perlu mempertimbangkan: (1) tuntutan kompetensi yang dapat dilihat melalui kata kerja yang digunakan dalam KD; (2) karakteristik mata pelajaran, peserta didik, dan sekolah; dan (3) potensi dan kebutuhan peserta didik, masyarakat, dan lingkungan/ daerah.
Indikator dirumuskan dalam bentuk kalimat dengan menggunakan kata kerja operasional. Rumusan indikator sekurang-kurangnya mencakup dua hal yaitu tingkat kompetensi dan materi yang menjadi media pencapaian kompetensi.
B. Fungsi Indikator
Indikator memiliki kedudukan yang sangat strategis dalam mengembangkan pencapaian kompetensi berdasarkan SK-KD. Indikator berfungsi sebagai berikut:
1. Pedoman dalam mengembangkan materi pembelajaran.
Pengembangan materi pembelajaran harus sesuai dengan indikator yang dikembangkan. Indikator yang dirumuskan secara cermat dapat memberikan arah dalam pengembangan materi pembelajaran yang efektif sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, potensi dan kebutuhan peserta didik, sekolah, serta lingkungan.
2. Pedoman dalam mendesain kegiatan pembelajaran.
Desain pembelajaran perlu dirancang secara efektif agar kompetensi dapat dicapai secara maksimal. Pengembangan desain pembelajaran hendaknya sesuai dengan indikator yang dikembangkan, karena indikator dapat memberikan gambaran kegiatan pembelajaran yang efektif untuk mencapai kompetensi. Indikator yang menuntut kompetensi dominan pada aspek prosedural menunjukkan agar kegiatan pembelajaran dilakukan tidak dengan strategi ekspositori melainkan lebih tepat dengan strategi discovery-inquiry.
3. Pedoman dalam mengembangkan bahan ajar.
Bahan ajar perlu dikembangkan oleh guru guna menunjang pencapaian kompetensi peserta didik. Pemilihan bahan ajar yang efektif harus sesuai tuntutan indikator sehingga dapat meningkatkan pencapaian kompetensi secara maksimal.
4. Pedoman dalam merancang dan melaksanakan penilaian hasil belajar.
Indikator menjadi pedoman dalam merancang, melaksanakan, serta mengevaluasi hasil belajar, Rancangan penilaian memberikan acuan dalam menentukan bentuk dan jenis penilaian, serta pengembangan indikator penilaian. Pengembangan indikator penilaian harus mengacu pada indikator pencapaian yang dikembangkan sesuai dengan tuntutan SK dan KD.

C. Manfaat Indikator Penilaian
Indikat or Penilaian bermanfaat bagi : (1) guru dalam mengembangkan kisi-kisi penilaian yang dilakukan melalui tes (tes tertulis seperti ulangan harian, ulangan tengah semester, dan ulangan akhir semester, tes praktik, dan/atau tes perbuatan) maupun non-tes; (2) peserta didik dalam mempersiapkan diri mengikuti penilaian tes maupun non-tes. Dengan demikian siswa dapat melakukan self assessment untuk mengukur kemampuan diri sebelum mengikuti penilaian sesungguhnya; (3) pimpinan sekolah dalam memantau dan mengevaluasi keterlaksanaan pembelajaran dan penilaian di kelas; dan (4) orang tua dan masyarakat dalam upaya mendorong pencapaian kompetensi siswa lebih maksimal.
D. Mekanisme Pengembangan Indikator
1. Menganalisis Tingkat Kompetensi dalam SK dan KD.
Langkah pertama pengembangan indikator adalah menganalisis tingkat kompetensi dalam SK dan KD. Hal ini diperlukan untuk memenuhi tuntutan minimal kompetensi yang dijadikan standar secara nasional. Sekolah dapat mengembangkan indikator melebihi standar minimal tersebut.
Tingkat kompetensi dapat dilihat melalui kata kerja operasional yang digunakan dalam SK dan KD. Tingkat kompetensi dapat diklasifikasi dalam tiga bagian, yaitu tingkat pengetahuan, tingkat proses, dan tingkat penerapan. Kata kerja pada tingkat pengetahuan lebih rendah dari pada tingkat proses maupun penerapan. Tingkat penerapan merupakan tuntutan kompetensi paling tinggi yang diinginkan. Klasifikasi tingkat kompetensi berdasarkan kata kerja yang digunakan disajikan dalam tautan ini [Tingkat Kompetensi Kata Kerja Operasional]
Selain tingkat kompetensi, penggunaan kata kerja menunjukan penekanan aspek yang diinginkan, mencakup sikap, pengetahuan, serta keterampilan. Pengembangan indikator harus mengakomodasi kompetensi sesuai tendensi yang digunakan SK dan KD. Jika aspek keterampilan lebih menonjol, maka indikator yang dirumuskan harus mencapai kemampuan keterampilan yang diinginkan. Klasifikasi kata kerja berdasarkan aspek kognitif, Afektif dan Psikomotorik disajikan dalam tautan ini [Kata Kerja Ranah Kognitif, Afektif dan Psikomotor]
2. Menganalisis Karakteristik Mata Pelajaran, Peserta Didik, dan Sekolah
Pengembangan indikator mempertimbangkan karakteristik mata pelajaran, peserta didik, dan sekolah karena indikator menjadi acuan dalam penilaian. Sesuai Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005, karakteristik penilaian kelompok mata pelajaran adalah sebagai berikut.

Kelompok Mata Pelajaran Mata Pelajaran Aspek yang Dinilai
Agama dan Akhlak Mulia Pendidikan Agama Afektif dan Kognitif
Kewarganegaraan dan Kepribadian Pendidikan Kewarganegaraan Afektif dan Kognitif
Jasmani Olahraga dan Kesehat Penjas Orkes Psikomotorik, Afektif, dan Kognitif
Estetika Seni Budaya Afektif dan Psikomotorik
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Matematika, IPA, IPS
Bahasa, dan TIK. Afektif, Kognitif, dan/atau Psikomotorik sesuai karakter mata pelajaran
Setiap mata pelajaran memiliki karakteristik tertentu yang membedakan dari mata pelajaran lainnya. Perbedaan ini menjadi pertimbangan penting dalam mengembangkan indikator. Karakteristik mata pelajaran bahasa yang terdiri dari aspek mendengar, membaca, berbicara dan menulis sangat berbeda dengan mata pelajaran matematika yang dominan pada aspek analisis logis. Guru harus melakukan kajian mendalam mengenai karakteristik mata pelajaran sebagai acuan mengembangkan indikator. Karakteristik mata pelajaran dapat dikaji pada dokumen standar isi mengenai tujuan, ruang lingkup dan SK serta KD masing-masing mata pelajaran.
Pengembangkan indikator memerlukan informasi karakteristik peserta didik yang unik dan beragam. Peserta didik memiliki keragaman dalam intelegensi dan gaya belajar. Oleh karena itu indikator selayaknya mampu mengakomodir keragaman tersebut. Peserta didik dengan karakteristik unik visual-verbal atau psiko-kinestetik selayaknya diakomodir dengan penilaian yang sesuai sehingga kompetensi siswa dapat terukur secara proporsional.
Karakteristik sekolah dan daerah menjadi acuan dalam pengembangan indikator karena target pencapaian sekolah tidak sama. Sekolah kategori tertentu yang melebihi standar minimal dapat mengembangkan indikator lebih tinggi. Termasuk sekolah bertaraf internasional dapat mengembangkan indikator dari SK dan KD dengan mengkaji tuntutan kompetensi sesuai rujukan standar internasional yang digunakan. Sekolah dengan keunggulan tertentu juga menjadi pertimbangan dalam mengembangkan indikator.
3. Menganalisis Kebutuhan dan Potensi
Kebutuhan dan potensi peserta didik, sekolah dan daerah perlu dianalisis untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam mengembangkan indikator. Penyelenggaraan pendidikan seharusnya dapat melayani kebutuhan peserta didik, lingkungan, serta mengembangkan potensi peserta didik secara optimal. Peserta didik mendapatkan pendidikan sesuai dengan potensi dan kecepatan belajarnya, termasuk tingkat potensi yang diraihnya.
Indikator juga harus dikembangkan guna mendorong peningkatan mutu sekolah di masa yang akan datang, sehingga diperlukan informasi hasil analisis potensi sekolah yang berguna untuk mengembangkan kurikulum melalui pengembangan indikator.
4. Merumuskan Indikator
Dalam merumuskan indikator perlu diperhatikan beberapa ketentuan sebagai berikut:
1. Setiap KD dikembangkan sekurang-kurangnya menjadi tiga indikator
2. Keseluruhan indikator memenuhi tuntutan kompetensi yang tertuang dalam kata kerja yang digunakan dalam SK dan KD. Indikator harus mencapai tingkat kompetensi minimal KD dan dapat dikembangkan melebihi kompetensi minimal sesuai dengan potensi dan kebutuhan peserta didik.
3. Indikator yang dikembangkan harus menggambarkan hirarki kompetensi.
4. Rumusan indikator sekurang-kurangnya mencakup dua aspek, yaitu tingkat kompetensi dan materi pembelajaran.
5. Indikator harus dapat mengakomodir karakteristik mata pelajaran sehingga menggunakan kata kerja operasional yang sesuai.
6. Rumusan indikator dapat dikembangkan menjadi beberapa indikator penilaian yang mencakup ranah kognitif, afektif, dan/atau psikomotorik.
5. Mengembangkan Indikator Penilaian
Indikator penilaian merupakan pengembangan lebih lanjut dari indikator (indikator pencapaian kompetensi). Indikator penilaian perlu dirumuskan untuk dijadikan pedoman penilaian bagi guru, peserta didik maupun evaluator di sekolah. Dengan demikian indikator penilaian bersifat terbuka dan dapat diakses dengan mudah oleh warga sekolah. Setiap penilaian yang dilakukan melalui tes dan non-tes harus sesuai dengan indikator penilaian.
Indikator penilaian menggunakan kata kerja lebih terukur dibandingkan dengan indikator (indikator pencapaian kompetensi). Rumusan indikator penilaian memiliki batasan-batasan tertentu sehingga dapat dikembangkan menjadi instrumen penilaian dalam bentuk soal, lembar pengamatan, dan atau penilaian hasil karya atau produk, termasuk penilaian diri.

Contoh indicator:
Standar Kompetensi : 3. Mengenal system pemerintahan tingkat pusat.
Kompetensi Dasar : 3.1 Mengenal lembaga Negara dalam susunan pemerintah tingkat pusat seperti : MPR, DPR, Presiden, MA, MK dan BPK.
Indikator : siswa dapat ;
3.1.1 menjelaskan system pemerintahan tingkat pusat.
3.1.2 menjelaskan lembaga-lembaga dalam susunan pemerintahan tingkat
pusat seperti : MPR, DPR, Presiden, MA, MK dan BPK.
3.1.3 menjelaskan urutan lembaga-lembaga dalam susunan pemerintahan
dari yang tertinggi.






BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Indikator merupakan penanda pencapaian KD yang ditandai oleh perubahan perilaku yang dapat diukur yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
Fungsi Indikator :
1. Pedoman dalam mengembangkan materi pembelajaran.
2. Pedoman dalam mendesain kegiatan pembelajaran.
3. Pedoman dalam mendesain kegiatan pembelajaran.
4. Pedoman dalam merancang dan melaksanakan penilaian hasil belajar.
Mekanisme Pengembangan Indikator
1. Menganalisis Tingkat Kompetensi dalam SK dan KD.
2. Menganalisis Karakteristik Mata Pelajaran, Peserta Didik, dan Sekolah.
3. Menganalisis Kebutuhan dan Potensi
4. Merumuskan Indikator.
5. Mengembangkan Indikator Penilaian.





DAFTAR PUSTAKA
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/08/15/pengembangan-indikator-dalam-ktsp/
Drs. H. M. Ahmad, Dkk, Pengembangan kurikulum.
DR. Nanang Fattah, Landasan manajemen Pendidikan.