ETIKA PENDIDIKAN (PEMBENTUKAN KECERDASAN SPIRITUAL)
DIAJUKAN SEBAGAI SALAH SATU SYARAT UNTUK MENGIKUTI UJIAN SEMESTER, PRODI :
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEMESTER VI MATA KULIAH :
PSIKOLOGI AGAMA
DOSEN : Drs. SYAMSUL BAHRI. M.Pd
DISUSUN OLEH :
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MIFTAHUL ULUM
TANJUNGPINANG TAHUN 2011
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam yang telah melimpahkan Taufik Hidayah serta Inayah Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan tugas mata kuliah PIKOLOGI AGAMA, Dengan judul “ETIKA PENDIDIKAN.”
Shalawat beriring salam Penulis kirimkan kepada Junjungan Alam Nabi Besar Muhammad SAW, yang telah membimbing dan menuntun umatnya dari alam kegelapan yang penuh dengan kejahiliaan mengarah ke alam kejayaan dan kemajuan yang penuh dengan pengetahuan.
Tidak lupa kami haturkan terimakasih kami kepada Bapak Dosen pembimbing, yaitu Bapak Drs. SYAMSUL BAHRI. M. Pd, yang mana telah memberikan motivasi kepada kami, baik secara fisik maupun rohani dalam perkuliahan di kampus STAI MIFTAHUL ULUM ini.
Semoga penulisan ini dapat berguna atau bermanfaat bagi kita, amin.
Tanjungpinang, Juni 2011
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…..…………………………...............................................i
DAFTAR ISI………………………………….......................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang………………...………..............................................1
B. Rumusan masalah…….....................………………………………...1
C. Batasan masalah……………………………………………………..2
BAB II ETIKA PENDIDIKAN (PEMBENTUKAN KECERDASAN SPIRITUAL)............................................................................................................3
A. Konsep dan karakteristik kecerdasan spiritual…………………........3
B. Signifikansi pembentukan SQ dalam etika pendidikan......................4
C. Metode pendidikan berbasis pembentukan SQ...................................5
BAB III PENUTUP…………………...……………….…………...…………...…7
A. Kesimpulan….…………………………………………………........7
B. Saran………………………………………………………………....7
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Salah satu di antara sekian banyak tantangan dalam kebijakan dan perkembangan pendidikan di Indonesia, menurut Daoed Joesoef (2001: 197-199), adalah tiadanya atau kurang dihayatinya etika masa depan dalam penalaran dikalangan elit pemimpim bangsa. Etika masa depan timbul dari dan dibentuk oleh kesadaran bahwa semua manusia, sebagai individu maupun kolektif akan menjalani sisa hidupnya di masa depan bersama dengan sesama makhluk hidup lainnya yang ada di muka bumi.
Etika masa depan terkandung keharusan agar manusia berani menjawab tantangan terhadap kemampuan yang khas yang manusiawi untuk mengantisipasi, merumuskan nilai-nilai, dan menetapkan prioritas-prioritas dalam suasana yang tidak pasti agar generasi-generasi mendatang tidak menjadi mangsa dari proses yang menjadi semakin tidak terkendali di zaman mereka di kemudian hari.
Demi pembangunan masa depan yang tetap manusiawi, etika masa depan oleh Karena itu harus menjadi bagian dari etika pendidikan. Dalam konteks etika pendidikan, etika masa depan berkaitan dengan out put pendidikan, yakni tipe manusia ideal masa depan yang hendak di bentuk dalam proses pendidikan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah sebagaimana diurai di atas maka penulis menyusun rumusan masalah yakni sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pengertian kecerdasan spiritual?
2. Bagaimanakah proses pendidikan perlu menekankan pembentukan kecerdasan spiritual ?
3. Bagaimanakah metode pembelajaran dalam pembentukan kecerdasan spiritual?
C. Batasan Masalah
Bertitik tolak pada rumusan masalah di atas maka perumusan tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui pengertian kecerdasan spiritual
2. Mengetahui proses pendidikan perlu menekankan pembentukan kecerdasan spiritual.
3. Mengetahui metode pembelajaran dalam pembentukan kecerdasan spiritual.
BAB II
ETIKA PENDIDIKAN ( PEMBENTUKAN KECERDASAN SPIRITUAL )
A. Konsep dan Karakteristik Kecerdasan Spiritual
Konsep kecerdasan spiritual (spiritual quotient/SQ) pertama kali digagas dan dipopulerkan oleh Donah Zohar dan Ian Marshall (2000). Kedua penulis ini, yang masing-masing berasal dari Harvard University dan Oxford University, melalui riset yang komprehensif membuktikan bahwa sesungguhnya kecerdasan manusia yang paling tinggi terletak pada kecerdasan spiritualnya. Dengan mendasarkan pada hasil penelitian ahli psikologi/saraf, Michael Persinger (awal 1990-an) dan V.S. Ramachandran (1997), Zohar dan Marshall mengatakan bahwa terdapat God-Spot dalam otak manusia. God-Spot tersebut sudah built-in (tertanan mantap) sebagai pusat spiritual diantara jaringan saraf dan otak. Menurut Zohar dan Marshall (2000), ada dua hal yang merupakan unsure fundamental dari SQ, yaitu aspek nilai dan makna.
Berdasarkan identifikasi tentang dua unsur fundamental SQ tersebut, mereka mengatakan bahwa SQ adalah kecerdasan untuk mengahadapi dan memecahkan masalah makna dan nilai, kecerdasan menempatkan perilaku dan hidup manusia dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa jalan hidup seseorang lebih bermakna dibanding orang lain, dan kecerdasan ini tidak hanya untuk mengetahui nilai-nilai yang ada, tetapi juga untuk secara kreatif menemukan nilai-nilai baru.
Penting dikemukakan bahwa Zohar dan Marshall berpendapat SQ itu berbeda dengan agama, karena agama merupakan aturan-aturan yang datang dari luar (etika heteronom); sedangkan SQ adalah kemampuan internal, yaitu sesuatu yang menyentuh dan membimbing manusia dari dalam (etika otonom). Dalam hal ini agama, menurut mereka, adalah salah satu saja di antara banyak nilai yang dapat meningkatkan SQ, tetapi bukan merupakan penentu utama SQ yang tinggi. Sesuai dengan pengertian ini, inti SQ ialah bagaimana mendengarkan suara hati yang terdalam sebai sumber kebenaran yang meupakan karunia Tuhan, yang dari padanya seseorang dapat merasakan adanya sesuatu yang indah atau mulia dalam dirinya. Efektivitas suara hati akan mempengaruhi perilaku individu, sehingga akhirnya akan menghasilkan manusia unggul secara spiritual, yang mampu mengekplorasi dan menginternalisasi kekayaan ruhaniah dan jasmaniah dalam hidupnya.
Menurut Toto Tasmara (2001), dalam perspektif Islam karakteristik SQ adalah: (1) menampilkan sosok diri sebagai professional yang berakhlak, (2) pembawa keselamatan, keteduhan dan kelembutan, (3) terus menerus mengisi kehidupannya dengan cinta, (4) menjadikan hidup penuh arti, (5) bersiap menghadapi kematian, dan (6) merasakan seluruh kehidupannya selalu dimonito oleh kamera ilahiah. Secara singkat, dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa SQ adalah kemampuan “menjadikan” Tuhan sebagai mitra kerja dalam segenap aspek kehidupan. Karakteristiknya ialah unggul secara intelektual, kaya dalam amal, serta anggun dalam moral dan kebijaksanaan.
B. Signifikansi Pembentukan SQ dalam Etika Pendidikan.
Pendidikan adalah suatu proses panjang dalam rangka mengantarkan manusia menjadi seseorang yang kaya spiritual dan intelektual, sehingga dia dapat meningkatkan kualitas hidupnya di segala aspek dan menajalani kehidupan dengan cita-cita dan tujuan yang pasti (Maarif, 1996: 6). Dalam konteks ini Noeng Muhadjir (1987: 20-25) menyebutkan adanya tiga fungsi pendidikan, yaitu: pertama, pendidikan berfungsi menumbuhkan kreativitas peserta didik; kedua, pendidikan berfungsi mewariskan nilai-nilai kepada peserta didik; dan ketiga, pendidikan berfungsi meningkatkan kemampuan kerja produktif peserta didik. Ketiga fungsi pendidikan tersebut pada prinsipnya merupakan suatu kesatuan organic dan, karena itu, harus dilaksanakan secara terpadu dan berimbang. Namun dalam kenyataannya, praktek pendidikan kita yang berjalan selama ini cenderung hanya mengaktualisasikan fungsi pertama dan ketiga, tetapi mengabaikan fungsi kedua. Kenyataan inilah yang dimaksud oleh M. Rusli Karim (1991: 128-129) ketika dia mengatakan bahwa pendidikan kita hanya melakukan transfer og knowledge (alih pengetahuan) dan tidak melakukan transfer of value (alih nilai).
Demikian pula peristiwa-peristiwa kerusuhan dan konflik social yang sebagiannya bermuatan “sara” terus-menerus menjadi tontonan kita sehari-hari di era reformasi ini, suatu tontonan yang menunjukkan betapa parahnya krisis ukhuwah dalam kehidupan kita sebagai umat dan bangsa. Kuntowijoyo (2000:253-244) menyebut gejala ini sebagai kesenjangan antara kesadaran dan perilaku, suatu gejala yang merupakan anomie era ferormasi. Dalam menghadapi kondisi tersebut di atas, jauh dilubuk hati kita terasa kerinduan akan adanya nilai-nilai moral yang luhur yang timbul dari dalam jiwa setiap insan Indonesia, yang pada gilirannya berperan sebagai acuan hubungan social di antara sesama kita. Adanya nilai-nilai moral yang luhur tersebut diharapkan mampu membawa kesejukan bagi kehidupan kita sehari-hari. Dalam konteks inilah kita melihat bahwa pembentukan SQ menjadi sangat penting sebagai etika masa depan pendidikan nasional.Selain itu, semakin menguatnya desakan pemilikan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi untuk hidup bersama dalam pusaran global membuat SQ terasa kian penting peranannya. Djamaludin Ancok (2001) menjelaskan bahwa memasuki ekonomi baru yang virtual diperlukan empat modal, yaitu intelektual, modal social, modal spiritual, dan modal kesehatan. Menurutnya, modal spiritual menjadi sangat penting, karena upaya membangun manusia yang cerdas dengan IQ tinggi dan manusia pandai mengelola emosinya dalam berhubungan dengan orang lain tidaklah mengantarkan manusia pada kebermaknaan hidup.
C. Metode Pendidikan Berbasis Pembentukan SQ
Menurut Roger Garaudy (1986: 256-267), dari perspektif syari’ah kesadaran transcendental mempunyai tiga unsur. Pertama, pengakuan tentang ketergantungan manusia kepada Tuhan. Kedua, adanya perbedaan yang mutlah antara Tuhan dan manusia. Ketiga, pengakuan tentang adanya noema-norma mutlak dari Tuhan yang tidak berasal dari manusia.
Bertolak dari pandangan bahwa SQ yang berlandaskan kesadaran transcendental, maka secara teoritis pembentukan SQ yang sejati harus melalui pendidikan agama. Sehubungan dengan pembentukan SQ ini, Ary Ginanjar Agustian (2001) menyarankan perlunya diupayakan empat langkah pokok, yaitu: Melakukan kejernihan emosi (zero mind process) sebagai prasyarat lahirnya alam pikiran yang jernih dan suci (God-Spot/fitrah), yaitu kembali kepada hati dan pikiran yang bersifat meedeka serta bebas dari belenggu. Membangun mental yang berkaitan dengan kesadaran diri, yang dibangun dari alam pikiran dan emosi secara sistematis berdasarkan rukun iman (prinsip: bintang atau ilahi, malaikat, kepemimpinan, pembelajaran, masa depan, keteraturan). Membentuk ketangguhan pribadi, suatu langkah pengasahan hati yang telah terbentuk berdasarkan rukun islam, yang dimulai dari: (a) penetapan misi, (b) pembentukan karakter secara kontinyu dan intensif, dan (c) pelatihan pengendalian diri. Membentuk ketangguhan social, yaitu melakukan aliansi atau sinergi dengan orang lain atau lingkungan social sebagai suatu perwujudan tanggung jawab social seseorang yang telah memiliki ketangguhan pribadi. Hal ini dilakukan dengan dua langkah, yaitu (a) sinergi, dan (b) aplikasi total. Untuk itu diperlukan pemahaman tentang al-asmaul husna. Dengan al-asmaul husna yang merupakan kunci dasar rukuk imam dan rukun Islam, seseorang dapat merasakan dan mendeteksi satu per satu dorongan suara hati terdalam dengan jelas; juga perasaan serta suara hati orang lain yang pada hakekatnya bersuber pada suara hati Allah yang Maha Mulia dan Maha Benar.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Kecerdasan spiritual (SQ) pada hakekatnya adalah kemampuan pribadi yang tertanam dalam struktur mental untuk selalu menjadikan Tuhan sebagai mitra kerja dalam segenap aspek dan setiap langkah-langkah kehidupan. Karakteristik seseorang yang memiliki SQ yang tinggi adalah unggul secara intelektual, kaya dalam amal, serta anggun dalam moral dan kebijaksanaan (wisdom).
Secara substansial raison d’entre bagi perlunya menetapkan penbentukan SQ sebagai etika masa depan pendidikan nasional adalah fakta tentang adanya kebangkrutan moral yang melanda (sebagian) anak bangsa ini, yang pada kenyataannya telah melemahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
B. Saran.
Dalam praksis pendidikan agama Isam, motede yang tepat digunakan dalam proses pembelajaran berbasis pembentukan SQ adalah metode atau pendekatan substansialis beserta dua perangkat strategi pembelajarannya, yaitu strategi meaningful-discovery learning dan strategi values clarification.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin, 1996. “Perspektif ‘Link and Match’ Lembaga Pendidikan Tinggi Tenaga Kependidikan Agama Islam: Rekonstrusi atas Tinjauan Metodologi Pembudayaan Nilai- Nilai Keagamaan”. Jurnal Pendidikan Islam, No. 1 Th.I/Januari 1996.
Agustian, Ary Ginanjar, 2001. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual (ESQ). Jakarta: Arga.
Baswedan, Aliyah Rasyid, 2002. “Pola Asuh yang Mengembangkan Kecerdasan Spiritual”.
Freire, Paulo, 2000. Pendidikan Kaum Tertindas, alih bahasa Oetomo Dananjaya dkk. Jakarta: LP3ES.
Garaudy, Roger, 1986. Mencari Agama Pada Abad XX: Wasiat Filsafat Roger Garaudy, alih bahasa M. Sasjigi. Jakarta: Bulan Bintang.
Joesoef, Daoed, 2001. “Pembaharuan Pendidikan dan Pikiran”, dalam Sularto ( ed .). Masyarakat Warga dan Pergulatan Demokrasi: Antara Cita dan Fakta. Jakarta: Kompas.
Karis, M. Rusli. 1991, “Pendidikan Islam di Indonesia dalam Transformasi Sosial Budaya”, dalam Muslih Usa (ed.). Pendidikan Islam di Indonesia: Antara Cita dan Fakta. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Kuntowijoyo, 2000. “Kesadaran dan Perilaku”, dalam Selo Soemardjan ( ed .). Menuju Tata Indonesia Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sukamadinata, Nana Saodih. 2000. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Suyanto dan Djihan Hisyam, 2000. Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Melenium III. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa
Tasmara, Toto. 2001. Kecerdasan Ruhaniah (Transcendental Intelligence). Jakarta: Gema Insani Press.
Zohar, Donah dan Ian Marshall. 2000. SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual Dalam Berfikir Integralistik dan Holistic Untuk Memaknai Kehidupan. Bandung: Mizan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar