PEMBUKA

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM

Jumat, 26 November 2010

MACAM-MACAM MAJELIS TAKLIM

MACAM-MACAM MAJELIS TAKLIM
Majelis Taklim dapat dibedakan dari segi lingkungan, kelompok sosial, dasar pengikat peserta, metode penyajian, dan tipe kepengurusannya.

a. ditinjau dari lingkungan jama’ahnya terdapat macam-macam tingkat, diantaranya :
1. majelis taklim pinggiran. Pinggiran disina bukan brarti pinggiran kota, akan
tetapi menunjukan pemukiman lain yang umumnya di diami oleh masyarakat ekonomi
lemah sebagian besar menunjukan unsur Jakarta asli.
2. majelis taklim gedongan. Terdapat di daerah elite lama dan baru dimana penduduknya
dianggap kaya dan terpelajar.
3. majelis taklim kantoran. Diselenggarakan oleh karyawan suatu kantor atau
perusahaan yang mempunyai ikatan yang sangat erat dengan kebijaksanaan kantornya.
4. majelis taklim usroh, jama’ahnya remaja dengan aliran politik atau agama tertentu.
b. ditinjau dari kelompok social jama’ahnya terdapat beberapa jenis majelis taklim
sebagai barikut :
1. majlis taklim kaum bapak.
2. majlis taklim kaum ibu.
3. majlis taklim remaja.
4. majlis taklim campuran.
c. ditinjau dari dasar jama’ahnya, majelis taklim dapat dibadakan menjadi beberapa
bagian, yaitu :
1. majelis taklim yang diselenggarakan oleh masjid atau mushola tertentu, yang
pesertanya dari orang-orang yang berada disekitar masjid atau mushola yang
bersangkutan.
2. masjelis taklim yang diselenggarakan oleh kantor atau instansi tertentu, yang
pesertanya terdiri dari pegawai, karyawan beserta keluarganya.
3. majelis taklim yang diselenggarakan oleh RW atau RT tertentu, yang pesertanya
terdiri dari warga RW atau RT itu.
d. ditinjau dari metode penngjiannya terhadap majelis taklim :
1. majelis taklim yng diselenggarakan dengan metode ceramah, metode ini dilaksanakan
dengan dua cara, yaitu :
I. ceramah umum, pengajar bertindak aktif dengan memberikan pelajaran, sedangkan
paserta pasif yaitu tinggal mendengarkan atau menerima materi yang disampaikan
atau diceramahkan atau yang biasa kita sebut dengan jiping (pengajian kuping).
II.Ceramah terbatas, biasanyaterdapat kesempatan untuk tanya-jawab. Jadi pengajar
maupun peserta sama aktifnya.
2. majelis taklim yang diselenggarakan dengan metode halaqah. Biasanyn dalam hal ini
pengajar memberikan pengajarn melalui pegangan kitab tertentu. Peserta
mendengarkan sambil menyimak kitab yang sama atau melihat ppan tulis dimana
pengajar menuliskan apa-apa yang hendak diterangkan.
3. majelis taklim yng diselenggarakan dengan metode muzakarah. Metode ini
dilaksanakan dengan cara menukar pendapat atau diskusi mengenai suatu masalah yng
disepakati untuk dibahas.
4. majelsi taklim yang diselenggarakan dengan metode campuran. Artinya saat majelis
taklim menyelenggarakan kegiatan pendidikan atau pengajian, materi yang
disampaikan tidak dengan satu macm metode saja, melainkan dengan metode secara
bersalang-seling.
e. ditinjau dari tipe kepengurusannya, mjelis taklim dapat dibadkan menjadi :
1. pengurs yang sendirian. Ia pemilik majelis taklim, pengurus dn juga sebagai guru
tetap.
2. pengurus bersifat pribadi, dengan dibantu oleh keluarga atau murid. Ia pemilik,
pengurus juga sebagai guru.
3. pengurus berstruktur organisasi dengan pembagian tugas untuk mas kepengurusan dua
sampai tiga tahun yng dipilih oleh jama’ah.
4. pengurus berstruktur organisasi yang ditentuka oleh ketua dan pemgian tugas. Ketua
lebih dominant karena skaligus merangkap menjadi guru.
5. pengurus berstruktur dan pembagian tugas dengan periode atu tnpa periode
kepengurusan. Yang dibentuk dengan surat keputusan (SK) kantor bersangkutan.
http://uchinfamiliar.blogspot.com/2009/02/macam-macam-majelis-taklim.html26-11-2010



Pengertian Kurikulum Majelis Taklim
I. Kurikulum Majelis Taklim
Pengertian kurikulum
Pengertian kurikulum adalah landasan yang digunakan pendidik yang membimbing peserta didiknya kearah tujuan pendidikan yang diinginkan melalui akumulasi sejumlah pengetahuan, keterampilan dan sikap mental. Dari referensi lain, kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar.
Kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan dengan memperhatikan tahap perkembangan siswa yang disesuaikan dengan lingkungan, kebutuhan pembangunan, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta keseni-an. Dengan demikian sebuah kurikulum menjadi sangat penting keberadaannya dalam sebuah organisasi/majelis dan sebagainya. Ia akan menjadi sebuah cermin pada setiap aktifitas yang dilakukan oleh aktifis-aktifis organisasi tersebut.
Dengan adanya kurikulum, maka ada kemungkinan perkembangan sebuah organisasi dapat dideteksi perkembangan-nya. Jadi hal-hal yang t ida k diinginkanpun juga akan terdeteksi. Bila kedua hal ini sudah dapat dikontrol, maka bisa dipastikan kemajuan sebuah majelis taklim akan dapat diraih sesuai dengan cita-cita dari para pengurus majelis taklim tersebut.
Selain itu, hal yang juga mendukung tercapainya tujuan yang direncanakan adalah menyiapkan materi-materi yang disusun dalam kurikulum tersebut. Materi adalah bahan-bahan yang akan diajarkan para dai/daiah kepada mad’unya pada majelis ta’lim. Hal ini agar setiap pertemuan memiliki sasaran yang akan dicapai, baik oleh da’i maupun oleh mad’u. Materi ini sebaiknya juga disusun selama satu periode agar dalam proses pertemuan t ida k lagi bingung dengan bahan/materi yang akan disampaikan kepada para mad’u.
Oleh karena itu dalam menyusun kurikulum yang baik, ada beberapa hal hal yang perlu diperhatikan agar kurikulum tersebut dapat menjadi pedoman yang sangat membantu nantinya. Beberapa hal tersebut adalah:
1. Tujuan yang hendak dicapai
2. Peserta majelis Taklim (Mad’u)
3. Situasi dan lingkungan
4. Fasilitas yang dimiliki
5. Pribadi pengajar (Da’i) serta kemampuan profesionalnya
II. Kriteria Perencanaan Kurikulum
Kurikulum sebaiknya memenuhi persyaratan-persyaratan yang dapat menunjang kurikulum tersebut. Persyaratan tersebut diantaranya :
1. Obyektif, artinya kurikulum disusun berdasarkan tujuan yang jelas dan operasional yang bertalian dengan tujuan tingkah laku yang dapat diamati dan dapat diatur.
2. Realistik, artinya berdasarkan kenyataan-kenyataan yang ada di lingkungan organisasi (majelis taklim) dan masyarakat.
3. Keserasian, artinya memiliki kesesuaian dengan kebutuhan masyarakat (mad’u), pengajar (da’i), kondisi dan situasi majelis taklim yang pastinya mengalami perubahan dengan cepat serta nilai-nilai yang berlaku.
4. Koherensi, artinya semua unsur kurikulum satu dengan lainnya memiliki keterkaitan secara harmonis.
5. Aplikatif, artinya kurikulum tersebut dapat diterapkan di lapangan (majelis taklim) dan dilaksanakan dalam kegiatan-kegiatan majelis taklim.
6. Generatif, artinya kurikulum diperuntukan bagi semua orang (jamaah) dan dapat diterima oleh semua pihak yang terlibat dalam proses kegiatan di dalam majelis taklim.
7. Keberhasilan, kurikulum dapat memberikan hasil-hasil yang diharapkan sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan.
8. Inovatif, kurikulum senantiasa mengikuti dan sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
9. Konstruktif, kurikulum berorientasi pada penyiapan tenaga kerja yang terampil.
III. Sasaran Kurikulum
Sebuah kurikulum haruslah direncanakan sesuai dengan sasaran-sasaran yang akan dicapai. Sasaran tersebut biasanya terdiri dari:
1. Jamaah yang memiliki kemampuan-kemampuan dalam aspek:
a. mental psikologis, yakni jamaah yang memiliki kemampuan mental yang serasi dengan pekerjaannya.
b. Personal, yakni jamaah yang memiliki sikap yang baik
c. Sosial, yakni jamaah yang berdisiplin dalam melaksanakan tugasnya bersama orang lain.
d. Profesional, yakni jamaah yang memiliki kemampuan profesionalisme sesuai dengan jenis pekerjaan tertentu.
2. Da’i dan Da’iah yang memiliki loyalitas, dedikasi, kemampuan profesional dan kemampuan sosial untuk melaksanakan tugasnya.
3. Program kegiatan, meliputi fungsi-fungsi manajemen (perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan, dan penilaian).
IV. Isi Kurikulum
Isi kurikulum adalah keseluruhan bahan dan kegiatan yang tersusun dalam urutan dan ruang lingkup yang mencakup b ida ng pengajaran dalam majelis taklim, materi dan objek yang perlu dikerjakan. Cara penyusunan isi kurikulum adalah:
1. B ida ng-b ida ng keilmuan, yang terdiri dari klasifikasi ilmu-ilmu sosial, ilmu kealaman dan lainnya.
2. Jenis-jenis materi yang disusun/dikembangkan bersumber dari b ida ng-b ida ng tersebut sesuai dengan tuntutan kurikulum.
3. Materi disusun dalam kelompok mata pelajaran yang terdiri dari beberapa kelompok.
4. Tiap materi dikembangkan menjadi satuan-satuan bahasan dan pokok-pokok bahasan
http://pkscibitung.wordpress.com/2009/09/30/perencanaan-majelis-taklim/26-11-2010

Rabu, 24 November 2010

"FILSAFAT PENDIDIKAN"

I.Pengertian,Ruang lingkup Bahasan Filsafat Pendidikan

Filsafat Pendidikan terbentuk dari dua kata yaitu: Filsafat & Pendidikan.
Sebelum kita mengartikan apa itu filsafat pendidikan kita lihat dulu pengertian filsafat yaitu;Filsafat berasal dari bahasa Yunani yang tersusun dari dua ata Philein berarti cinta dan Sophosyang berarti hikmah (wisdom).Dari segi semantik filsafat adalah cinta terhadap pengetahuanatau kebijakan.Sedangkan dari segi praktis filsafat berarti alam berfikir atau alam pikiran . .
• Ciri-ciri berfikir filosofi :
• Berfikir dengan menggunakan disiplin berpikir yang tinggi.
• Berfikir secara sistematis.
• Menyusun suatu skema konsepsi, dan
• Menyeluruh.

-Untuk mencapai pemikiran filsafat manusia mempunyai empat pola pikir yaitu:
a.Pemikiran awam yaitu apa adanya
b.Pemikiran Ilmiah yaitu dasarkan atas teori dan landasan konsep
c.Pemikiran pseudo Ilmiah berdasarkan kepada kekuatan tertentu
d.Pemikiran Filsafat pemikiran yang tersusun secara sistematis dan sampai keakar-akarnya.

Dengan demikian dapat diartikan bahwa filsafat pendidikan adalah

• Ilmu Pendidikan adalah ilmu yang membicarakan masalah umum pendidikan secara menyeluruh dan abstrak,selain itu juga bercirikan teoritis dan juga bersiafat praktis yang menunjukkan bagaimana pendidikan itu dilaksanakan. Untuk memenuhi ketentuan tersebut pendidikan harus memenuhi landasan konsep yang berfungsi untuk dilapangan pendidikan ,dengan demikian pendidikan perlu bantuan ilmu yang kaya dengan ide-ide yaitu filsafat. Dengan demikian dapat disimpulakan bahwa Filsafat pendidikan adalah ilmu pendidikan yang bersendikan filsafat atau filsafat yang diterapkan dalam usaha pemikiran dan pemecahan mengenai masalah pendidikan.
• Sedangkan Filsafat pendidikan menurut” Al-Syaibany (1973:30) adalah”Pelaksanaan pandangan falsafah dan kaidah falsafah dalam bidang pendidikan.filsafat itu mencerminan satu segi dari segi pelaksanaan falsafah umum dan menitikbertkan kepada pelaksanaan prinsip-prinsip dan kepercayaan-kepercayaan yang menjadi asar dari falsafah umum dalam menyelesaikan masalah-masalah pendidikan secara praktis.
• Menurut Kneller filsafat pendidikan merupakan aplikasi filsafat dalam lapangan pendidikan.



2. Ruang LingkupBahasan filsafat pendidikan

1. Apa hakikat pendidikan itu
2. Apakah pendidikan itu berguna untuk membina kepribadian manusia
3. Apakah sebenarnya tujuan pendidikan itu
4. Siapakah hakikatnya yang bertanggung jawab terhadap pendidikan
5. Apakah hakikat pribadi manusia itu
6. Apakah hakikat masyarakat itu
7. Apakah isi Kurikulum yang relevan dengan pendidikan ideal
8. Bagaimana metode pendidikan yang efektif
9. Bagaimana asas penyelenggaraan pendidikan yang baik

3. Pendekatan-Pendekatan Filsafat Pendidikan
1.Pendekatan Tradisional yaitu untuk memecahkan problem hidup dan kehidupan manusia sepanjang perkembangannya dalam bentuk yang murni
2.Pendekatan yang bersifat Progresive yaitu yang bersifat kritis untuk memecahkan problematika pendidikan masa kini .

4. Pendeketan dalam teori pendidikan
A. Pendekatan Sains:Suatu pengkajian dengan menggunakan sain untuk mempelajari,menelaah dan memecahkan masalah pendidikan (Deskriptif analitis=Ilmiah) Jenis Sain pendidikan: Sosiologi Pendidikan,Psikologi Pendidikan,Evaluasi pendidikan,Adm Pendidikan
B. Pendekatan Filosofis=Memecahkan Masalah dengan metode filsafat (sinopsis merumuskan Apa dan Bagaimana)
C. Pendekatan Religi:Ajaran religi dijadikan sumber inspirasi untuk menyusun teori dan konsep pendidikan
D. Pendekatan Multidisiplin yaitu pendekatan menyeluruh (holistik)
E. Pendekatan Penulisan; Mengkaji pendekatan salah satu dari pendekatan diatas.

5 Obyek Materi dan Formal Filsafat
• Obyek Materi
- Masalah Tuhan
- Masalah Alam
- Masalah Manusia
• Obyek Formal
-Mencari keterangan sedalam-dalamnya sampai ke akar persoalan tersebut

II. LATAR BELAKANG MUNCULNYA FILSAFAT PENDIDIKAN

• MANUSIA DENGAN CIPTA,RASA DAN KARSA.
• CIPTA:PEMUNCULAN SESUATU YANG BELUM PERNAH ADA ATAU PIKIRAN
• RASA:PERNYATAAN TENTANG SESUATU YANG BERSANGKUT PAUT DENGAN JIWA SESEORANG
• KARSA: SUATU TENAGA YANG BEKERJA DAN DATANG DARI DALAM DIRI SESEORANG
Lahirnya filsafat pendidikan,sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri,lahir sebagai disiplin ilmu pendidikan pada tahun 1908 dinegara bagian anglo saxon dengan judul”PHILOSOPHY of EDUCATION

1. ASUMSI LAHIRNYA FILSAFAT PENDIDIKAN

1.Ilmu pendidikan adalah ilmu pengetahuan normatif yang merupakan disiplin ilmu yang merumuskan kaidah,norma,dan nilai yang dijadikan ukuran tingkah laku
2.Ilmu Pendidikan adalah ilmu pengetahuan praktis,yaitu sebagai penyalur dan pelestarian nilai-nilai dari aspek kebudayaan dari generasi ke generasi.

2. Problema yang dihadapi filsafat & Pendidikan

1.Ontologi= (Realita) kebenaran =Ada & Apa
a. Apakah alam semesta memiliki bentuk rasional
b. Apakah dinamakan jiwa merupakan kenyataan dalam diri atau hanya bentuk materi gerak
c.Siapakah manusia,dari mana dan hendak kemana
d.apakah alam semesta terjadi dengan sendirinya atau ada yang menciptakakannya.

2.Epistimologi (Pengetahuan) tata kerjanya:
a. Bagaimana terminologinya
b. Bagaimana filsafatnya
c. Bagaimana sistimatikanya
d. Bagaimana teori & tekniknya
e. Bagaimana asas atau dasarnya

3.Aksiologi ( Nilai)=penerapan Ilmu
(Apakah kebaikan tertinggi itu?) Teori Moral
(Apakah perilaku antar manusia yang baik itu?)
3.Alasan dasar filsafat pendidikan dipelajari guru
1. Karena setiap individu bertindak termasuk dalam pendidikan
2. Karena setiap individu bertanggung jawab dalam pendidikan
3. Karena setiap individu memiliki filsafat hidup sendiri-sendiri
4. Untuk menentukan arah dan pikiran yang diinginkan dari aliran filsafat tersebut
5. Sebagai ilmu yang berdiri sendiri.

4 TEORI-TEORI FILSAFAT PENDIDIKAN

 TEORI EMPIRISME:(JOHN LOCKE(1632-1704) Mengajarkan bahwa perkembanan pribadi ditentukan oleh faktor lingkungan,terutama pendidikan” setiap individu lahir sebaai kertas putih dan lingkungan itu yang menulisinya ( Teori Tabula-rasa) Faktor pengalaman dari lingkungan yang menentukan pribadi seseorang.(jadi lingkungan relatif dapat diatur dan dikuasai oleh manusia)
( Bandingkan dengan hadits nabi bahwa anak yang lahir suci kedua orang tua yang membuat majusi atau yahudi) (aliran yang optimis)

 TEORI NATIVISME (ARTHUR SCHOPENHAUER 1788-1860) Berpendapat bahwa perkembangan pribadi manusia ditentukan oleh heriditas (kodrati) pembawaan dari sejak lahir tak dapat diubah oleh pengaruh alam sekitarnya/pendidikan. (pesimistis)

 TEORI KONVERGENSI ( WILLIAM STREN 1871-1938) Berpendapat bahwa pribadi manusi ditentukan oleh kedua faktor yaitu Internal (heriditas/Pembawaan )dan Ekstrenal (lingkungan/Pendidikan) .heriditas yang baik apabila apabila tanpa pengaruh lingkungan yang baik tidak akan membina kepribadian yang ideal (begitu sebaliknya)
ketiga aliran ini dikenal dengan Emprisme,Idealisme dan Realisme

5. ALIRAN-ALAIRAN DALAM FILSAFAT PENDIDIKAN
Di dunia dikenal beberapa aliran utama filsafat pendidikan yang di antaranya dapat disajikan berikut ini:
1. Perennialisme
Perenialisme merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad kedua puluh. Perenialisme berasal dari kata perennial yang berarti abadi, kekal atau selalu. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Perenialisme menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Jalan yang ditempuh oleh kaum perenialis adalah dengan jalan mundur ke belakang, dengan menggunakan kembali nilai – nilai atau prinsip – prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kuat, kukuh pada zaman kuno dan abad pertengahan.
Dalam pendidikan, kaum perenialis berpandangan bahwa dalam dunia yang tidak menentu dan penuh kekacauan serta mambahayakan tidak ada satu pun yang lebih bermanfaat daripada kepastian tujuan pendidikan, serta kestabilan dalam perilaku pendidik. Mohammad Noor Syam (1984) mengemukakan pandangan perenialis, bahwa pendidikan harus lebih banyak mengarahkan pusat perhatiannya pada kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh. Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan manusia sekarang seperti dalam kebudayaan ideal.

PANDANGAN MENGENAI KENYATAAN
Perenialisme berpendapat bahwa apa yang dibutuhkan manusia terutama ialah jaminan bahwa “reality is universal that is every where and at every moment the same “ (2:299) “ realita itu bersifat universal bahwa realita itu ada di mana saja dan sama di setiap waktu.” Dengan keputusan yang bersifat ontologism kita akan sampai pada pengertian – pengerian hakikat. Ontologi perenialisme berisikan pengertian : benda individual, esensi, aksiden dan substansi.
• Benda individual adalah benda yang sebagaimana nampak di hadapan manusia yang dapat ditangkap oleh indera kita seperti batu, kayu,dll
• Esensi dari sesuatu adalah suatu kualitas tertentu yang menjadikan benda itu lebih baik intrinsic daripada halnya, misalnya manusia ditinjau dari esensinya adalah berpikir
• Aksiden adalah keadaan khusus yang dapat berubah – ubah dan sifatnya kurang penting dibandingkan dengan esensialnya, misalnya orang suka barang – barang antic
• Substansi adalah suatu kesatuan dari tiap –tiap hal individu dari yang khas dan yang universal, yang material dan yang spiritual.
Menurut Plato, perjalanan suatu benda dalam fisika menerangkan ada 4 kausa.
• Kausa materialis yaitu bahan yang menjadi susunan sesuatu benda misalnya telor, tepung dan gula untuk roti
• Kausa formalis yaitu sesuatu dipandang dari formnya, bentuknya atau modelnya, misalnya bulat, gepeng, dll
• Kausa efisien yaitu gerakan yang digunakan dalam pembuatan sesuatu cepat, lambat atau tergesa – tergesa,dll
• Kausa finalis adalah tujuan atau akhir dari sesuatu. Katakanlah tujuan pembuatan sebuah patung.
PANDANGANMENGENAINILAI
Perenialisme berpandangan bahwa persoalan nilai adalah persoalan spiritual, sebab hakikat manusia adalah pada jiwanya. Sedangkan perbuatan manusia merupakan pancaran isi jiwanya yang berasal dari dan dipimpin oleh Tuhan. Secara teologis, manusia perlu mencapai kebaikan tertinggi, yaitu nilai yang merupakan suatu kesatuan dengan Tuhan. Untuk dapat sampai kesana manusia harus berusaha dengan bantuan akal rationya yang berarti mengandung nilai kepraktisan.
Menurut Aristoteles, kebajikan dapat dibedakan: yaitu yang moral dan yang intelektual. Kebajikan moral adalah kebajikan yang merupakan pembentukan kebiasaan, yang merupakan dasar dari kebajikan intelektual. Jadi, kebajikan intelektual dibentuk oleh pendidikan dan pengajaran. Kebajikan intelektual didasari oleh pertimbangan dan pengawasan akal. Oleh perenialisme estetika digolongkan kedalam filsafat praktis. Kesenian sebagai salah satu sumber kenikmatan keindahan adalah suatu kebajikan intelektual yang bersifat praktis filosofis. Hal ini berarti bahwa di dalam mempersoalkan masalah keindahan harus berakar pada dasar – dasar teologis, ketuhanan.
PANDANGANMENGENAIPENGETAHUAN
Kepercayaan adalah pangkal tolak perenialisme mengenai kenyataan dan pengetahuan. Artinya sesuatu itu ada kesesuaian antara piker (kepercayaan) dengan benda – benda. Sedang yang dimaksud benda adalah hal – hal yang adanya bersendikan atas prinsip keabadian.Oleh karena itu, menurut perenialisme perlu adanya dalil – dalil yang logis, nalar, sehingga sulit untuk diubah atau ditolak kebenarannya. Menurut Aristoteles, Prinsip – prinsip itu dapat dirinci menjadi :
• Principium identitatis, yaitu identitas sesuatu. Contohnya apabila si Bopeng adalah benar – benar si Bopeng ia todak akan menjadi SiPanut.
• Principium contradiksionis ( prinsipium kontradiksionis), yaitu hukum kontradiksi (berlawanan). Suatu pernyataan pasti tidak mengandung sekaligus kebenaran dan kesalahan, pasti hanya mengandung satu kenyataan yakni benar atau salah.
• Principium exelusi tertii (principium ekselusi tertii), tidak ada kemungkinan ketiga. Apabila pernyataan atau kebenaran pertama salah, pasti pernyataan kedua benar dan sebaliknya apabila pernyataan pertama benar pasti pernyataan yang berikutnya tidak benar.
• Principium rationis sufisientis. Prinsip ini pada dasarnya mengetengahkan apabila barang sesuatu dapat diketahui asal muasalnya pasti dapat dicari pula tujuan atau akibatnya.
Perenialisme mengemukakan adanya hubungan antara ilmu pengetahuan dengan filsafat.
• Science sebagai ilmu pengetahuan
Science yang meliputi biologi, fisika, sosiologi, dan sebagainya ialah pengetahuan yang disebut sebagai “empiriological analysis” yakni analisa atas individual things dan peristiwa – peristiwa pada tingkat pengalaman dan bersifat alamiah. Science seperti ini dalam pelaksanaan analisa dan penelitiannya mempergunakan metode induktif. Selain itu, juga mempergunakan metode deduktif, tetapi pusat penelitiannya ialah meneliti dan mencoba dengan data tertentu yang bersifat khusus.
• Filsafat sebagai pengetahuan
Menurut perenialisme, fisafat yang tertinggi ialah “ilmu” metafisika. Sebab, science dengan metode induktif bersifat empiriological analysis (analisa empiris); kebenarannya terbatas, relatif atau kebenarannya probability. Tetapi filsafat dengan metode deduktif bersifat ontological analysis, kebenaran yang dihasilkannya universal, hakiki, dan berjalan dengan hukum – hukum berpikir sendiri, berpangkal pada hukum pertama; bahwa kesimpulannya bersifat mutlak, asasi. Hubungan filsafat dan pengetahuan tetap diakui urgensinya, sebab analisa empiris dan analisa ontology keduanya dianggap perenialisme dapat komplementatif. Tetapi filsafat tetap dapat berdiri sendiri dan ditentukan oleh hukum –hukum dalam filsafat sendiri, tanpa tergantung kepada ilmu pengetahuan.
PANDANGAN TENTANG PENDIDIKAN
Teori atau konsep pendidikan perenialisme dilatarbelakangi oleh filsafat – filsafat Plato sebagai Bapak Idealisme Klasik, filsafat Aristoteles sebagai Bapak Realisme Klasik, dan filsafat Thomas Aquina yang mencoba memadukan antara filsafat Aristoteles dengan ajaranGerejaKatolikyangtumbuhpadazamannya
1. Plato
Plato (427-347 SM), hidup pada zaman kebudayaan yang sarat dengan ketidakpastian, yaitu fisafat sofisme. Ukuran kebenaran dan ukuran moral menurut sofisme adalah manusia secara pribadi, sehingga pada zaman itu tidak ada kepastian dalam moral dan kebenaran, tergantung pada masing – masing individu. Plato berpandangan bahwa realitas yang hakiki itu tetap tidak berubah karena telah ada pada diri manusia sejak dari asalnya. Menurut Plato, “dunia idea”, yang bersumber dari ide mutlak, yaitu Tuhan. Manusia menemukan kebenaran, pengetahuan, dan nilai moral dengan menggunakan akal atau ratio.
Tujuan utama pendidikan adalah membina pemimpin yang sadar akan asas normative dan melaksanakannya dalam semua aspek kehidupan. Masyarakat yang ideal adalah masyarakat adil sejahtera. Manusia yang terbaik adalah manusia yang hidup atas dasar prinsip “idea mutlak”, yaitu suatu prinsip mutlak yang menjadi sumber realitas semesta dan hakikat kebenaran abadi yang transcendental yang membimbing manusia untuk menemukan criteria moral, politik, dan social serta keadilan. Ide mutlak adalah Tuhan
2. Aristoteles
Aristoteles (384 – 322 SM) adalah murid Plato, namun dalam pemikirannya ia mereaksi terhadap filsafat gurunya, yaitu idealisme. Hasil pemikirannya disebut filsafat realisme. Ia mengajarkan cara berpikir atas prinsip realistis, yang lebih dekat pada alam kehidupan manusia sehari – hari. Menurut Aristoteles, manusia adalah makhluk materi dan rohani sekaligus. Sebagai materi, ia menyadari bahwa manusia dalam hidupnya berada dalam kondisi alam materi dan social. Sebagai makhluk rohani, manusia sadar ia akan menuju pada proses yang lebih tinggi yang menuju kepada manusia ideal
Perkembangan budi merupakan titik pusat perhatian pendidikan dengan filsafat sebagai alat mencapainya. Ia menganggap penting pula pembentukan kebiasaan pada tingkat pendidikan usia muda dalam menanamkan kesadaran menurut aturan moral. Aristoteles juga menganggap kebahagiaan sebagai tujuan dari pendidikan yang baik. Ia mengembangkan individu secara bulat, totalitas. Aspek – aspek jasmaniah, emosi, dan intelek sama dikembangkan, walaupun ia mengakui bahwa “kebahagiaan tertinggi ialah kehidupan berpikir” (2:317)
3. Thomas Aquinas

Thomas berpendapat pendidikan adalah menuntun kemampuan – kemampuan yang masih tidur menjadi aktif atau nyata tergantung pada kesadaran tiap –tiap individu. Seorang guru bertugad untuk menolong membangkitkan potensi yang masih tersembunyi dari anak agar menjadi aktif dan nyata. Menurut J.Maritain, norma fundamental pendidikan adalah
:
• Cinta kebenaran
• Cinta kebaikan dan keadilan
• Kesederhanaan dan sifat terbuka terhadap eksistensi
• Cinta kerjasama
Kaum perenialis juga percaya bahwa dunia alamiah dan hakikat manusia pada dasarnya tetap tidak berubah selam berabad – abad : jadi, gagasan – gagasan besar terus memiliki potensi yang paling besar untuk memecahkan permasalahan – permasalahan di setiap zaman. Selain itu, filsafat perenialis menekankan kemampuan – kemampuan berpikir rasional manusia sehingga membedakan mereka dengan binatang – binatang lain.
PANDANGAN MENGENAI BELAJAR

Teori dasar dalam belajar menurut perenialisme adalah :
1 Mental disiplin sebagai teori dasar
Penganut perenialisme sependapat bahwa latihan dan pembinaan berpikir (mental discipline) adalah salah satu kewajiban tertinggi dari belajar, atau keutamaan dalam proses belajar (yang tertinggi). Karena itu teori dan program pendidikan pada umumnya dipusatkan kepada pembinaan kemampuan berpikir.
2 Rasionalitas dan Asas Kemerdekaan.
Asas berpikir dan kemerdekaan harus menjadi tujuan utama pendidikan ; otoritas berpikir harus disempurnakan sesempurna mungkin. Dan makna kemerdekaan pendidikan ialah membantu manusia untuk menjadi dirinya sendiri, be him-self, sebagai essential-self yang membedakannya daripada makhluk- makhluk lain. Fungsi belajar harus diabdikan bagi tujuan ini, yaitu aktualitas manusia sebagai makhluk rasional yang dengan itu bersifat merdeka.
3Learning to Reason ( Belajar untuk Berpikir)
Perenialisme tetap percaya dengan asas pembentukan kebiasaan dalam permulaan pendidikan anak. Kecakapan membaca, menulis dan berhitung merupakan landasan dasar. Dan berdasarkan pentahapan itu, maka learning to reason menjadi tujuan pokok pendidikan sekolah menengah dan pendidikan tinggi.
4 Belajar sebagai Persiapan Hidup
Bagi Thomisme, belajar untuk berpikir dan belajar untuk persiapan hidup (dalam masyarakat) adalah dua langkah pada jalan yang sama, yakni menuju kesempurnaan hidup, kehidupan duniawi menuju kehidupan syurgawi.
5 Learning through Teaching (belajar melalui Pengajaran)
Adler membedakan antara “learning by instruction” dan “learning by discovery”, penyelidikan tanpa bantuan guru. Dan sebenarnya learning by instruction adalah dasar dan menuju learning by discovery, sebagai self education. Menurut perenialisme, tugas guru bukanlah perantara antara dunia dengan jiwa anak, melainkan guru juga sebagai “murid” yang mengalami proses belajar sementara mengajar. Guru mengembangkan potensi – potensi self discovery ; dan ia melakukan “moral authority”atas murid –muridnya, karena ia adalah seorang professional yang qualified dan superior dibandingkan muridnya.
2. Esensialisme
(a) Berkaitan dengan hal-hal esensial atau mendasar yang seharusnya manusia tahu dan menyadari sepenuhnya tentang dunia dimana mereka tinggal dan juga bagi kelangsungan hidupnya. (b) Menekankan data fakta dengan kurikulum yang tampak bercorak vokasional. (c) Konsentrasi studi pada materi-materi dasar tradisional seperti: membaca, menulis, sastra, bahasa asing, matematika, sejarah, sains, seni dan musik. (d) Pola orientasinya bergerak dari skill dasar menuju skill yang bersifat semakin kompleks. (e) Perhatian pada pendidikan yang bersifat menarik dan efisien. (f) Yakin pada nilai pengetahuan untuk kepentingan pengetahuan itu sendiri. (g) Disiplin mental diperlukan untuk mengkaji informasi mendasar tentang dunia yang didiami serta tertarik pada kemajuan masyarakat teknis.
3. Progresivisme
(a) Suka melihat manusia sebagai pemecah persoalan (problem-solver) yang baik. (b) Oposisi bagi setiap upaya pencarian kebenaran absolut. (c) Lebih tertarik kepada perilaku pragmatis yang dapat berfungsi dan berguna dalam hidup. (d) Pendidikan dipandang sebagai suatu proses. (e) Mencoba menyiapkan orang untuk mampu menghadapi persoalan aktual atau potensial dengan keterampilan yang memadai. (f) Mempromosikan pendekatan sinoptik dengan menghasilkan sekolah dan masyarakat bagi humanisasi. (g) Bercorak student-centered. (h) Pendidik adalah motivator dalam iklim demoktratis dan menyenangkan. (i) Bergerak sebagai eksperimentasi alamiah dan promosi perubahan yang berguna untuk pribadi atau masyarakat.
4. Rekonstruksionisme
(a) Promosi pemakaian problem solving tetapi tidak harus dirangkaikan dengan penyelesaian problema sosial yang signifikan. (b) Mengkritik pola life-adjustment (perbaikan tambal-sulam) para Progresivist. (c) Pendidikan perlu berfikir tentang tujuan-tujuan jangka pendek dan jangka panjang. Untuk itu pendekatan utopia pun menjadi penting guna menstimuli pemikiran tentang dunia masa depan yang perlu diciptakan. (d) Pesimis terhadap pendekatan akademis, tetapi lebih fokus pada penciptaan agen perubahan melalui partisipasi langsung dalam unsur-unsur kehidupan. (e) Pendidikan berdasar fakta bahwa belajar terbaik bagi manusia adalah terjadi dalam aktivitas hidup yang nyata bersama sesamanya. (f) Learn by doing! (Belajar sambil bertindak).
5. Eksistensialisme
(a) Menekankan pada individual dalam proses progresifnya dengan pemikiran yang merdeka dan otentik. (b) Pada dasarnya perhatian dengan kehidupan sebagai apa adanya dan tidak dengan kualitas-kualitas abstraknya. (c) Membantu individu memahami kebebasan dan tanggung jawab pribadinya. Jadi, menggunakan pendidikan sebagai jalan mendorong manusia menjadi lebih terlibat dalam kehidupan sebagaimana pula dengan komitmen tindakannya. (d) Individu seharusnya senantiasa memperbaiki diri dalam kehidupan dunia yang terus berubah. (e) Menekankan pendekatan “I-Thou” (Aku-Kamu) dalam proses pendidikan, baik guru maupun murid. (f) Promosikan pendekatan langsung-mendalam (inner-directed) yang humanistik; dimana siswa bebas memilih kurikulum dan hasil pendidikannya.
6. Behavioral Engineering (Rekayasa Perilaku)
(a) Kehendak bebas adalah ilusi (Free-will is illusory). (b) Percaya bahwa sikap manusia kebanyakan merefleksikan tingkah laku dan tindakan yang terkondisikan oleh lingkungan. (c) Memakai metode pengkondisian sebagai cara untuk mengarahkan sikap manusia. (d) Pendidik perlu membangun suatu lingkungan pendidikan dimana individu didorong melalui ganjaran dan hukuman untuk kebaikan mereka dan orang lain.

7 PRAGMATISME PENDIDIKAN
A. Pengantar
Pragmatisme (dari bahasa Yunani: pragma, artinya yang dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan, tindakan) merupakan sebutan bagi filsafat yang dikembangkan oleh William James (1842 - 1910) di Amerika Serikat. Menurut filsafat ini, benar tidaknya suatu ucapan, dalil atau teori semata-mata bergantung pada manusia dalam bertindak. Istilah pragmaticisme ini diangkat pada tahun 1865 oleh Charles S. Pierce (1839-1914) sebagai doktrin pragmatisme. Doktrin dimaksud selanjutnya diumumkan pada tahun 1978.
Diakui atau tidak, paham pragmatisme menjadi sangat berpengaruh dalam pola pikir bangsa Amerika Serikat. Pengaruh pragmatisme menjalar di segala aspek kehidupan, tidak terkecuali di dunia pendidikan. Salah satu tokoh sentral yang sangat berjasa dalam pengembangan pragmatisme pendidikan adalah John Dewey (1859 - 1952). Pragmatisme Dewey merupakan sintensis pemikiran-pemikiran Charles S. Pierce dan William James. Dewey mencapai popularitasnya di bidang logika, etika epistemologi, filsafat politik, dan pendidikan. Makalah ini sendiri selanjutnya akan mendeskripsikan pemikiran John Dewey tentang pragmatisme pendidikan.
B. Kehidupan John Dewey
John Dewey merupakan filosof, psikolog, pendidik dan kritikus sosial Amerika. Ia dilahirkan di Burlington, Vermont, tepatnya tanggal 20 Oktober 1859. Pada tahun 1875, Dewey masuk kuliah di University of Vermont dengan spesifikasi bidang filsafat dan ilmu-ilmu sosial. Setelah tamat, ia mengajar sastra klasik, sains, dan aljabar di sebuah sekolah menengah atas di Oil City, Pensylvania tahun 1879-1881. Bersama gurunya, H.A.P. Torrey, Dewey juga menjadi tutor pribadi di bidang filsafat. Selain itu, Dewey juga belajar logika kepada Charles S. Pierce dan C.S. Hall, salah seorang psikolog eksperimental Amerika. Selanjutnya, Dewey melanjutkan studinya dan meraih gelar doktor dari John Hopkins University tahun 1884 dengan disertasi tentang filsafat Kant.
Dewey kemudian mengajar di University of Michigan (1884-1894), menjadi kepala jurusan filsafat, psikologi dan pendidikan di University of Chicago tahun 1894. Pada tahun 1899, Dewey menulis buku The School and Society, yang memformulasikan metode dan kurikulum sekolah yang membahas tentang pertumbuhan anak. Dewey banyak menulis masalah-masalah sosial dan mengkritik konfrontasi demokrasi Amerika, ikut serta dalam aktifitas organisasi sosial dan membantu mendirikan sekolah baru bagi Social Reseach tahun 1919 di New York.
Sebagian besar kehidupan Dewey dihabiskan dalam dunia pendidikan. Lembaga-lembaga pendidikan yang disinggahi Dewey adalah University of Michigan, University of Colombia dan University of Chicago. Tahun 1894 Dewey memperoleh gelar Professor of Philosophy dari Chicago University. Dewey akhirnya meninggal dunia tanggal 1 Juni 1952 di New York dengan meninggalkan tidak kurang dari 700 artikel dan 42 buku dalam bidang filsafat, pendidikan, seni, sains, politik dan pembaharuan sosial.
Diantara karya-karya Dewey yang dianggap penting adalah Freedom and Cultural, Art and Experience, The Quest of Certainty Human Nature and Conduct (1922), Experience and Nature (1925), dan yang paling fenomenal Democracy and Education (1916).
Gagasan filosofis Dewey yang terutama adalah problem pendidikan yang kongkrit, baik yang bersifat teoritis maupun praktis. Reputasinya terletak pada sumbangan pemikirannya dalam filsafat pendidikan progresif di Amerika. Pengaruh Dewey di kalangan ahli filsafat pendidikan dan filsafat umumnya tentu sangat besar. Namun demikian, Dewey juga memiliki sumbangan di bidang ekonomi, hukum, antropologi, politik serta ilmu jiwa.
C. Sekilas Tentang Pragmatisme
Pragmatisme pada dasarnya merupakan gerakan filsafat Amerika yang begitu dominan selama satu abad terakhir dan mencerminkan sifat-sifat kehidupan Amerika. Demikian dekatnya pragmatisme dangan Amerika sehingga Popkin dan Stroll menyatakan bahwa pragmatisme merupakan gerakan yang berasal dari Amerika yang memiliki pengaruh mendalam dalam kehidupan intelektual di Amerika. Bagi kebanyakan rakyat Amerika, pertanyaan-pertanyaan tentang kebenaran, asal dan tujuan, hakekat serta hal-hal metafisis yang menjadi pokok pembahasan dalam filsafat Barat dirasakan amat teoritis. Rakyat Amerika umumya menginginkan hasil yang kongkrit. Sesuatu yang penting harus pula kelihatan dalam kegunaannya. Oleh karena itu, pertanyan what is harus dieliminir dengan what for dalam filsafat praktis.
Membicarakan pragmatisme sebagai sebuah paham dalam filsafat, tentu tidak dapat dilepaskan dari nama-nama seperti Charles S. Pierce, William Jamess dan John Dewey. Meskipun ketiga tokoh tersebut dimasukkan dalam kelompok aliran pragmatisme, namun diantara ketiganya memiliki fokus pembahasan yang berbeda. Charles S. Pierce lebih dekat disebut filosof ilmu, sedangkan William James disebut filosof agama dan John Dewey dikelompokkan pada filosof sosial.
Pragmatisme sebagai suatu interpretasi baru terhadap teori kebenaran oleh Pierce digagas sebagai teori arti. Dalam kaitan dengan ini, dinyatakan: According to the pragmatic theory of truth, a proposition is true in so far as it works or satisfies, working or satisfying being described variously by different exponent on the view (Menurut teori pragmatis tentang kebenaran, suatu proposisi dapat disebut benar sepanjang proposisi itu berlaku [works] atau memuaskan [satisfies], berlaku dan memuaskannya itu diuraikan dengan berbagai ragam oleh para pengamat teori tersebut).
Sementara itu, James menominalisasikan pragmatisme sebagai teori cash value. James kemudian menyatakan: "True ideas are those that we can assimilate, validate, corrobrate, and verify. False ideas are those that we can not" (Ide-ide yang benar menurut James adalah ide-ide yang dapat kita serasikan, kita umumkan berlakunya, kita kuatkan dan kita periksa. Sebaliknya ide yang salah adalah ide yang tidak demikian).
Untuk membedakan dengan dua pendahulunya tersebut, Dewey menamakan pragmatisme sebagai instrumentalisme. Instrumentalisme sebenarnya sebutan lain dari filsafat pragmatisme, selain eksperimentalisme. Pierce memaksudkan pragmatisme untuk membuat pikiran biasa menjadi ilmiah, tetapi James memandangnya sebagai sebuah filsafat yang dapat memecahkan masalah-masalah metafisik dan agama. Bahkan lebih jauh, James menganggapnya sebagai theory of meaning dan theory of truth.
Dewey merumuskan esensi instrumentalisme pragmatis sebagai to conceive of both knowledge and practice as means of making good excellencies of all kind secure in experienced existence. Demikianlah, Dewey memberikan istilah pragmatisme dengan instrumentalism, operationalism, functionalism, dan experimentalism. Disebut demikian karena menurut aliran ini bahwa ide, gagasan, pikiran, dan inteligent merupakan alat atau instrumen untuk mengatasi kesulitan atau persoalan yang dihadapi manusia.
D. Pemikiran John Dewey Tentang Pendidikan
1. Pengalaman dan Pertumbuhan
Pemikiran John Dewey banyak dipengaruhi oleh teori evolusi Charles Darwin (1809-1882) yang mengajarkan bahwa hidup di dunia ini merupakan suatu proses, dimulai dari tingkatan terendah dan berkembang maju dan meningkat. Hidup tidak statis, melainkan bersifat dinamis. All is in the making, semuanya dalam perkembangan. Pandangan Dewey mencerminkan teori evolusi dan kepercayaannya pada kapasitas manusia dalam kemajuan moral dan lingkungan masyarakat, khusunya malalui pendidikan.
Menurut Dewey, dunia ini penciptaannya belum selesai. Segala sesuatu berubah, tumbuh, berkembang, tidak ada batas, tidak statis, dan tidak ada finalnya. Bahkan, hukum moral pun berubah, berkembang menjadi sempurna. Tidak ada batasan hukum moral dan tidak ada prinsip-prinsip abadi, baik tingkah laku maupun pengetahuan.
Pengalaman (experience) adalah salah satu kunci dalam filsafat instrumentalisme. Pengalaman merupakan keseluruhan aktivitas manusia yang mencakup segala proses yang saling mempengaruhi antara organisme yang hidup dalam lingkungan sosial dan fisik. Filsafat instrumentalisme Dewey dibangun berdasarkan asumsi bahwa pengetahuan berpangkal dari pengalaman-pengalaman dan bergerak kembali menuju pengalaman. Untuk menyusun kembali pengalaman-pengalaman tersebut diperlukan pendidikan yang merupakan transformasi yang terawasi dari keadaan tidak menentu ke arah keadaan tertentu. Pandangan Dewey mengenai pendidikan tumbuh bersamaan dengan kerjanya di laboratorium sekolah untuk anak-anak di University of Chicago. Di lembaga ini, Dewey mencoba untuk mengupayakan sekolah sebagai miniatur komunitas yang menggunakan pengalaman-pengalaman sebagai pijakan. Dengan model tersebut, siswa dapat melakukan sesuatu secara bersama-sama dan belajar untuk memantapkan kemampuannya dan keahliannya.
Sebagai tokoh pragmatisme, Dewey memberikan kebenaran berdasarkan manfaatnya dalam kehidupan praktis, baik secara individual maupun kolektif. Oleh karenanya, ia berpendapat bahwa tugas filsafat memberikan garis-garis arahan bagi perbuatan. Filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran metafisik yang sama sekali tidak berfaedah. Filsafat harus berpijak pada pengalaman dan menyelidiki serta mengolah pengalaman tersebut secara aktif dan kritis. Dengan cara demikian, filsafat menurut Dewey dapat menyusun norma-norma dan nilai-nilai.
2. Tujuan Pendidikan
Dalam menghadapi industrialisasi Eropa dan Amerika, Dewey berpendirian bahwa sistem pendidikan sekolah harus diubah. Sains, menurutnya, tidak mesti diperoleh dari buku-buku, melainkan harus diberikan kepada siswa melalui praktek dan tugas-tugas yang berguna. Belajar harus lebih banyak difokuskan melalui tindakan dari pada melalui buku. Dewey percaya terhadap adanya pembagian yang tepat antara teori dan praktek. Hal ini membuat Dewey demikian lekat dengan atribut learning by doing. Yang dimaksud di sini bukan berarti ia menyeru anti intelektual, tetapi untuk mengambil kelebihan fakta bahwa manusia harus aktif, penuh minat dan siap mengadakan eksplorasi.
Dalam masyarakat industri, sekolah harus merupakan miniatur lokakarya dan miniatur komunitas. Belajar haruslah dititiktekankan pada praktek dan trial and error. Akhirnya, pendidikan harus disusun kembali bukan hanya sebagai persiapan menuju kedewasaan, tetapi pendidikan sebagai kelanjutan pertumbuhan pikiran dan kelanjutan penerang hidup. Sekolah hanya dapat memberikan kita alat pertumbuhan mental, sedangkan pendidikan yang sebenarnya adalah saat kita telah meninggalkan bangku sekolah, dan tidak ada alasan mengapa pendidikan harus berhenti sebelum kematian menjemput.
Tujuan pendidikan adalah efisiensi sosial dengan cara memberikan kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan demi pemenuhan kepentingan dan kesejahteraan bersama secara bebas dan maksimal. Tata susunan masyarakat yang dapat menampung individu yang memiliki efisiensi di atas adalah sistem demokrasi yang didasarkan atas kebebasan, asas saling menghormati kepentingan bersama, dan asas ini merupakan sarana kontrol sosial. Mengenai konsep demokrasi dalam pendidikan, Dewey berpendapat bahwa dalam proses belajar siswa harus diberikan kebebasan mengeluarkan pendapat. Siswa harus aktif dan tidak hanya menerima pengetahuan yang diberikan oleh guru. Begitu pula, guru harus menciptakan suasana agar siswa senantiasa merasa haus akan pengetahuan.
Karena pendidikan merupakan proses masyarakat dan banyak terdapat macam masyarakat, maka suatu kriteria untuk kritik dan pembangunan pendidikan mengandung cita-cita utama dan istimewa. Masyarakat yang demikian harus memiliki semacam pendidikan yang memberikan interes perorangan kepada individu dalam hubungan kemasyarakatan dan mempunyai pemikiran yang menjamin perubahan-perubahan sosial.
Dasar demokrasi adalah kepercayaan dalam kapasitasnya sebagai manusia. Yakni, kepercayaan dalam kecerdasan manusia dan dalam kekuatan kelompok serta pengalaman bekerja sama. Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa semua dapat menumbuhkan dan membangkitkan kemajuan pengetahuan dan kebijaksanaan yang dibutuhkan dalam kegiatan bersama.
Ide kebebasan dalam demokrasi bukan berarti hak bagi individu untuk berbuat sekehendak hatinya. Dasar demokrasi adalah kebebasan pilihan dalam perbuatan (serta pengalaman) yang sangat penting untuk menghasilkan kemerdekaan inteligent. Bentuk-bentuk kebebasan adalah kebebasan dalam berkepercayaan, mengekspresikan pendapat, dan lain-lain. Kebebasan tersebut harus dijamin, sebab tanpa kebebasan setiap individu tidak dapat berkembang.
Filsafat tidak dapat dipisahkan dari pendidikan, karena filsafat pendidikan merupakan rumusan secara jelas dan tegas membahas problema kehidupan mental dan moral dalam kaitannya dengan menghadapi tantangan dan kesulitan yang timbul dalam realitas sosial dewasa ini. Problema tersebut jelas memerlukan pemecahan sebagai solusinya. Pikiran dapat dipandang sebagai instrumen yang dapat menyelesaikan problema dan kesulitan tersebut.
Di dalam filsafat John Dewey disebutkan adanya experimental continum atau rangkaian kesatuan pengalaman, yaitu proses pendidikan yang semula dari pengalaman menuju ide tentang kebiasaan (habit) dan diri (self) kepada hubungan antara pengetahuan dan kesadaran, dan kembali lagi ke pendidikan sebagai proses sosial. Kesatuan rangkaian pengalaman tersebut memiliki dua aspek penting untuk pendidikan, yaitu hubungan kelanjutan individu dan masyarakat serta hubungan kelanjutan pikiran dan benda.
A. Tinjauan Kritis
Satu hal yang harus digarisbawahi adalah bahwa pragmatisme merupakan filsafat bertindak. Dalam menghadapi berbagai persoalan, baik bersifat psikologis, epistemologis, metafisik, religius dan sebagainya, pragmatisme selalu mempertanyakan bagaimana konsekuensi praktisnya. Setiap solusi terhadap masalah apa pun selalu dilihat dalam rangka konsekuansi praktisnya, yang dikaitkan dengan kegunaannya dalam hidup manusia. Dan konsekuensi praktis yang berguna dan memuaskan manusia itulah yang membenarkan tindakan tadi.
Dalam rangka itulah, kaum pragmatis tidak mau berdiskusi bertele-tele, bahkan sama sekali tidak menghendaki adanya diskusi, malainkan langsung mencari tindakan yang tepat untuk dijalankan dalam situasi yang tepat pula. Kaum pragmatis adalah manusia-manusia empiris yang sanggup bertindak, tidak terjerumus dalam pertengkaran ideologis yang mandul tanpa isi, melainkan secara nyata berusaha memecahkan masalah yang dihadapi dengan tindakan yang konkrit.
Karenanya, teori bagi kaum pragmatis hanya merupakan alat untuk bertindak, bukan untuk membuat manusia terbelenggu dan mandeg dalam teori itu sendiri. Teori yang tepat adalah teori yang berguna, yang siap pakai, dan yang dalam kenyataannya berlaku, yaitu yang mampu memungkinkan manusia bertindak secara praktis. Kebenaran suatu teori, ide atau keyakinan bukan didasarkan pada pembuktian abstrak yang muluk-muluk, melainkan didasarkan pada pengalaman, pada konsekuansi praktisnya, dan pada kegunaan serta kepuasan yang dibawanya. Pendeknya, ia mampu mengarahkan manusia kepada fakta atau realitas yang dinyatakan dalam teori tersebut.
Pragmatisme mempunyai dua sifat, yaitu merupakan kritik terhadap pendekatan ideologis dan prinsip pemecahan masalah. Sebagi kritik terhadap pendekatan ideologis, pragmatisme mempertahankan relevansi sebuah ideologi bagi pemecahan, misalnya fungsi pendidikan. Pragmatisme mengkritik segala macam teori tentang cita-cita, filsafat, rumusan-rumusan abstrak yang sama sekali tidak memiliki konsekuansi praktis. Bagi kaum pragmatis, yang penting bukan keindahan suatu konsepsi melainkan hubungan nyata pada pendekatan masalah yang dihadapi masyarakat.
Sebagai prinsip pemecahan masalah, pragmatisme mengatakan bahwa suatu gagasan atau strategi terbukti benar apabila berhasil memecahkan masalah yang ada, mengubah situasi yang penuh keraguan dan keresahan sedemikian rupa, sehingga keraguan dan keresahan tersebut hilang.
Dalam kedua sifat tersebut terkandung segi negatif pragmatisme dan segi-segi positifnya. Pragmatisme, misalnya, mengabaikan peranan diskusi. Justru di sini muncul masalah, karena pragmatisme membuang diskusi tentang dasar pertanggungjawaban yang diambil sebagai pemecahan atas masalah tertentu. Sedangkan segi positifnya tampak pada penolakan kaum pragmatis terhadap perselisihan teoritis, pertarungaan ideologis serta pembahasan nilai-nilai yang berkepanjangan, demi sesegera mungkin mengambil tindakan langsung.
Dalam kaitan dengan dunia pendidikan, kaum pragmatisme menghendaki pembagian yang tetap terhadap persoalan yang bersifat teoritis dan praktis. Pengembangan terhadap yang teoritis akan memberikan bekal yang bersifat etik dan normatif, sedangkan yang praktis dapat mempersiapkan tenaga profesional sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Proporsionalisasi yang teoritis dan praktis itu penting agar pendidikan tidak melahirkan materialisme terselubung ketika terlalu menekankan yang praktis. Pendidikan juga tidak dapat mengabaikan kebutuhan praktis masyarakat, sebab kalau demikian yang terjadi berarti pendidikan tersebut dapat dikatakan disfungsi, tidak memiliki konsekuansi praktis.
Tiga Paradigma Utama Pendidikan
Paradigma adalah world view, cara memandang dunia. Dari suatu paradigma akan terbentuk perilaku yang mencerminkan paradigma yang dianut. Bagaimana suatu pendidikan sebagai sebuah perilaku kolektif dan sistemik memandang dunia, adalah pertanyaan yang harus dijawab sebelum kita menentukan variabel-variabel pendidikan lainnya. Paradigma pendidikan ini ditentukan oleh para pemegang kebijakan sistem pendidikan (stake holder) seperti, pemerintah, kepala sekolah, pemilik yayasan, pimpinan organisasi, dan sebagainya.
Dalam menjawab pertanyaan, bagaimana pendidikan memandang dunia, ada tiga jawaban yang lazimnya muncul. Yang pertama, adalah sistem pendidikan yang memandang realitas luar sebagai sesuatu yang given, telah berlaku dari sononya, tidak bisa/perlu dirubah, bahkan perlu dilestarikan. Inilah sistem pendidikan yang pro status quo. Para ahli filsafat pendidikan mengistilahkannya dengan Pendidikan Konservatif.
Pendidikan konsevatif ini lazim diberlakukan pada negara-negara dengan rezim yang otoriter. Rezim yang menggunakan kekuatan represif untuk membungkam mulut rakyatnya. Rezim ini berusaha untuk mengelabui masyarakatnya bahwa ketidakadilan dan penyakit sosial yang ada (seperti: pengangguran, kriminalitas, konflik sosial, kemiskinan, kebodohan) adalah sesuatu yang terjadi dengan sendirinya, sebagai sebuah determinasi historis (takdir sejarah). Pendidikan ini juga berusaha untuk memisahkan peran pendidikan dengan realitas luar pendidikan. Pendidikan hidup dalam menara gading yang tak tersentuh (karena mahalnya pendidikan) dan tak menyentuh masyarakat banyak. Dari sistem pendidikan seperti inilah akan kita dapati output pendidikan yang gamang ketika kembali ke realitas sosialnya. Persis seperti cerita putra asli pedalaman kalimantan yang pergi menempuh pendidikan di pulau Jawa dan ketika pulang kembali ke Kalimantan hanya menjadi “sampah” masyarakatnya. Dia tidak bisa berbuat apa-apa. Berburu tidak bisa. Bertani/berladang tidak bisa. Bahkan, berenang saja, sebagai suatu keahlian wajib di Kalimantan yang banyak sungai, kagak gape !
Paradigma pendidikan yang kedua adalah paradigma liberal. Paradigma ini memandang bahwa ketidakadilan sosial terjadi karena kelalaian manusia itu sendiri. Kalau ada pengangguran maka itu adalah kesalahan manusianya yang kurang kreatif, tidak berjiwa wirausaha dan malas. Kalau ada kemiskinan kota (poor urban) itu disebabkan karena manusianya yang malas berusaha di desa dan maunya hidup enak saja di kota. Pendidikan ini memang lebih memusatkan pehatiannya pada diri manusia. Untuk itu pendidikan dengan paradigma ini banyak menggelar praktek-praktek pengembangan manusia (istilah yang biasa dipakai adalah human development, self management, melejitkan potensi diri dan sejenisnya). Dari paradigma liberal ini pula lahir pelatihan/training semacam AMT (Achievement Motivation Training) yang disusun oleh David Mc Leland. Pelatihan ini berasumsi bahwa kemelaratan masyarakat disebabkan oleh kurang dimilikinya need of achievement (virus berprestasi) dalam masyarakat itu. Untuk itu training-training AMT banyak digelar oleh negara-negara kaya di negara-negara dunia ketiga (development and under development countries) untuk menyebarkan virus berprestasi di tengah-tengah rakyatnya.
Pendidikan liberal ternyata tidak berperan banyak untuk mengatasi ketimpangan sosial. Ideologi developmentalisme yang berada dibelakang paradigma pendidikan ini malah melahirkan sekelompok masyarakat elit baru yang tidak mau menyentuh masyarakat yang ada dibawahnya. Efek menetes yang diyakini oleh developmentalisme ternyata hanyalah khayalan. Masyarakat bawah enggan disentuh karena dipandang mereka sebagai masyarakat yang malas.
Inilah pola pendidikan yang blaming the victim !
Paradigma pendidikan yang ketiga adalah paradigma pendidikan kritis. Pendidikan kritis memandang, bahwa pendidikan harus secara utuh meresapi dan menyatu di tengah-tengah masyarakatnya. Paradigma ini memandang akar ketidakadilan sosial adalah sistem yang berlaku pada masyarakat itu. Sistem itu dapat berupa sistem politik (yang otoriter dan anti demokrasi), sistem sosial (yang melestarikan kasta-kasta dan menghambat laju mobilitas sosial), sistem ekonomi (yang kapitalistik, dan anti kerakyatan) sistem budaya (yang patriaki dan anti egaliter), bahkan sistem pendidikan itu sendiri (yang menjadi alat pengukuh kekuasaan dan pro status quo). Untuk itu pendidikan kritis berupaya melahirkan individu-individu (dan akhirnya masyarakat) yang mampu mendekonstruksi dan merekonstruksi sistem yang ada. Pola pendidikan inilah yang berupaya untuk diperjuangkan oleh Paulo Freire, seorang ahli pendidikan dari Amerika Latin yang berupaya untuk menghapuskan buta huruf sekaligus menggali akar kemelaratan sosial di Brazilia.
Pola pendidikan yang kritis ini nyatanya tidak diminati oleh para ahli pendidikan (yang memang produk dari pendidikan konservatif) sehingga bentuk prakteknya jarang kita saksikan di Indonesia. Pendidikan ini lebih populer di kalangan aktifis LSM/NGO “kiri” yang anti kemapanan dan pro HAM. Karena itu pula, bangunan ilmiah dari paradigma kritis ini masih terus tumbuh dan berkembang
Kesadaran Manusia
Setiap praktek pendidikan membentuk kesadaran. Kesadaran ini dapat didefinisikan juga sebagai pandangan hidup yang menjadi pola (pattern) yang mempengaruhi penerimaan pengetahuan, sikap dan perilaku yang merupakan hasil transfer dari pendidikan itu. Secara komunal, kesadaran ini akan menjadi kesadaran masyarakat yang mempengaruhi pola hidup masyarakat.
Menurut analisis Freire ada tiga kesadaran yang menjadi turunan dari tiga paradigma pendidikan di atas.
Pertama, adalah kesadaran magis. Secara arkeologis ilmu pengetahuan, kesadaran magis terbentuk pada masyarakat yang masih mempercayai hal-hal yang supranatural. Masyarakat ini meyakini bahwa kekuatan terbesar yang mempengaruhi kehidupan mereka adalah hal-hal yang gaib, mistis, supranatural (luar alam). Sehingga hal-hal gaib ini harus di-“tundukkan” dengan sesajen dan do’a-do’a. Kuntowijoyo menyebut masyarakat ini sebagai masyarakat pada tahap mitos. Masyarakat dengan kesadaran magis, adalah masyarakat yang deterministik, pasrah pada takdir. Masyarakat ini akhirnya, nrimo saja terhadap ketidak adilan sosial yang terjadi. Di tinjau dari paradigma pendidikan, masyarakat dengan kesadaran magis adalah masyarakat hasil dari pendidikan konservatif.
Kedua, adalah kesadaran naif. Masyarakat dengan kesadaran naif adalah masyarakat yang memandang bahwa setiap ketidakadilan sosial berakar dari kelemahan manusia. Secara arkeologis ilmu pengetahuan, masyarakat dengan kesadaran naif terbentuk pada masyarakat yang percaya bahwa kekuatan natural (alam) adalah kekuatan terbesar yang mempengaruhi segala masalah di dunia ini. Untuk itu kekuatan alam harus ditundukkan oleh tangan manusia. Bila alam tak bisa ditundukkan oleh manusia, yang itu akan mengakibatkan kekacauan, maka manusia itulah yang lalai dan lemah. Untuk itulah maka diciptakan mesin-mesin yang berfungsi untuk membantu manusia menundukkan alam. Dalam era penciptaan mesin-mesin yang menggantikan manusia itulah muncul ideologi-ideologi politik dan sosial besar dunia (kapitalisme dan sosialisme). Sehingga, Kuntowijoyo mengistilahkan masyarakat pada tahap ini adalah masyarakat pada tahap ideologis. Pendidikan paradigma kedua (liberal) adalah pendidikan yang memproduksi masyarakat dengan kesadaran ini.
Ketiga, adalah kesadaran kritis. Yaitu masyarakat yang menyadari bahwa kekacauan di dunia ini diciptakan oleh sistem yang dibuat oleh manusia itu sendiri. Secara arkeologis ilmu pengetahuan, masyarakat kritis adalah masyarakat yang keyakinannya telah bergeser dari kepercayaan kekuatan terbesarnya kepada alam menuju kekuatan manusia. Untuk itu kekuatan manusia yang menjelma pada sistem ini harus ditundukkan dengan “ilmu” dan kesadaran kritis. Karena itu pula Kuntowijoyo menyebut masyarakat pada tahap ini dengan istilah “masyarakat ilmu”. Hanya pendidikan kritis-lah yang dapat menghasilkan kesadaran kritis ini.
Tujuan Pendidikan dan Teori Belajar
Secara umum ada tiga tujuan pendidikan yang biasanya ingin dicapai oleh para pelaku pendidikan. Hal ini berdasarkan pada tiga tindakan sosial (social act) utama manusia yang diungkapkan Jurgen Habermas. Tiga tindakan itu adalah; tindakan karya (work), tindakan komunikasi dan tindakan pembebasan.
Pendidikan yang bertujuan karya (work) adalah pendidikan yang bertujuan untuk menghasilkan manusia-manusia “siap guna”. Dapat bekerja, baik sendiri maupun bersama-sama untuk melestarikan dan memajukan sistem yang telah ada. Secara ekstrim, pendidikan yang bertujuan karya ini akhirnya akan menciptakan manusia yang cinta pada benda mati (nekrofili) dan tidak cinta pada manusia yang lain (biofili)6. Manusia nekrofili akan merasa utuh kemanusiaannya jika memiliki harta kekayaan dan kekuasaan, meskipun tidak dicintai oleh manusia lainnya.
Pendidikan dan pelatihan yang belangsung selama ini hampir 90% bermain pada wilayah kekaryaan ini. Secara umum pendidikan dengan tujuan kekaryaan ini memakai behaviorisme sebagai landasan teori belajarnya, disamping juga sedikit teori kognitif dan humanistik.
Berikut ini simpul-simpul teori-teori belajar tersebut menurut Ernest Hilgard dan Gordon Bower dari Standford University7 :
Dari teori S-R :
o Murid harus aktif
o Frekuensi latihan yang cukup tinggi sangat penting untuk memperoleh ketrampilan dan retensi (penguatan daya ingatan) dilakukan belajar secara berulang-ulang.
o Sangat diperlukan re-enforcement: murid yang dapat mengulang dengan baik dan menjawab dengan benar dapat diberi ganjaran.
o Generalisasi dan diskriminasi memberi kesan akan pentingnya praktek dalam konteks yang bervariasi, sehingga belajar adalah penting bagi jajaran stimuli yang lebih luas.
o Tingkah laku yang baru dicapai lewat peniruan model, pengenalan dan pembentukan tingkah laku,
o Drive state diperlukan juga, tetapi ini berbeda dari sikap, atau dalam drive state ini mereka tidak perlu menyesuaikan secara keseluruhan pada prinsip-prinsip drive education yang didasarkan pada eksperimen “penghilangan makanan”.
Dari teori kognitif :
o Organisasi pengetahuan yang akan disajikan tidak mengalami arbitrasi. Prosedur penyajian materi tidak sekedar berlangsung dari yang sederhana hingga yang kompleks, tetapi dari keseluruhan sampel sampai keseluruhan yang lebih kompleks.
o Secara kultural belajar relatif. Situasi belajar dipengaruhi oleh kebudayaan secara luas maupun oleh sub-kebudayaan dimana orang merasa memiliki.
o Cognitif feedback semestinya mengkonfirmasikan pengetahuan yang benar dan membuat koreksi terhadap belajar yang salah. Murid mengusahakan sesuatu secara profesional dan kemudian menerima atau menolak apa-apa yang dikerjakan atas dasar konsekuensi-konsekuensi.
o Penentuan tujuan belajar oleh murid sangat penting sebagai motivasi belajar, keberhasilan dan kegagalan belajar itu sangat menentukan bagaimana ia menetapkan tujuan-tujuan di masa yang akan datang.
o Pemikiran yang berbeda-beda yang mengacu pada pemilihan alternatif perlu dikembangkan secara terpadu dan hanya mempunyai satu cara yang logis untuk satu jawaban yang benar.
Dari teori motivasi dan kepribadian :
o Memperhatikan kemampuan masing-masing murid sangat penting. Rata-rata cara dan waktu belajar masing-masing individu sehingga harus diakomodasikan dalam desain training.
o Perkembangan setelah bayi lahir, pengaruh keturunan, serta bakat dan kemampuan sama pentingnya untuk diperhatikan.
o Tingkat ketegangan (anxiety) mempengaruhi belajar manusia antara satu individu dan yang lainnya.
o Situasi yang sama mungkin saja menghasilkan motivasi yang berbeda-beda, tergantung apakah mereka diarahkan untuk kebutuhan afiliasi atau pencapaian tujuan.
o Organisasi motif dan nilai yang terkandung dalam individu sesuai dengan cara belajarnya. Orang cenderung belajar apa-apa yang dipandang perlu bagi khusus dirinya.
Tujuan pendidikan yang kedua adalah interaksi atau komunikasi. Pendidikan ini bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang egaliter yang mampu bekerjasama dan berinteraksi untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Dalam dunia industri, pelatihan komunikasi juga kerap diselenggarakan namun dalam kaitannya sebagai komplemen dari training ke-karya-an.
Pendidikan komunikasi meniscayakan lingkungan belajar yang saling menghormati, menghargai, saling terbuka, dan bebas dari saling menghujat. Dalam lingkungan belajar yang emansipatoris itulah akan muncul segala potensi-potensi individu yang dikelola sedemikian sehingga menjadi kekuatan kelompok. Pendidikan ini, bila dilepaskan dari kepentingan kapitalisme, dapat menghantarkan pesertanya menjadi manusia-manusia biofili, manusia yang lebih menghargai nilai kemanusiaannya manusia yang lain.
Pendidikan komunikasi sebagai wahana pengelolaan kekuatan individu menjadi kekuatan kelompok (group dynamic) memakai teori psikologi Gestalt sebagai teori belajarnya. Psikologi Gestalt diciptakan oleh Kurt Lewin dengan simpul-simpul pemikiran sebagai berikut :
• Inti dari konsep pengaruh medan adalah, “Sebuah lingkungan selalu beada dalam pengaruh kekuatan medan”. Istilah kekuatan medan diambil dari teori medan magnet ilmu fisika, yang dalam medan magnet pusat kekuatan terletak pada butir-butir magnet yang masing-masing mempunyai daya dorong dan daya tarik terhadap satu sama lainnya, sedangkan pada kelompok manusia, pusat kekuatan medan terletak pada aktor-aktor secara individual yang berada di suatu lingkungan yang masing-masing memiliki tujuan.
• Lewin menjelaskan bahwa perilaku seseorang merupakan fungsi dari kepribadian (personality) dan pengaruh lingkungan (environment) sekitarnya. B = f (P.E)
• Menurut Lewin ada tiga kekuatan yang berpengaruh dalam suatu medan. Yaitu aprreciation (-), influence (+) dan controll (-/+).
• Totalitas dari ketiga kekuatan di atas menciptakan medan yang meneukan jalannnya proses interaksi sosial, yang disebut dengan group dynamic
Tujuan pendidikan yang ketiga adalah pembebasan. Pendidikan pembebasan bertujuan agar manusia tidak hanya menyadari kekuatan-kekuatan individunya (yang dilatih dalam training kekaryaan), namun juga menyadari kekuatan-kekuatan kelompoknya (yang diasah dalam training interaksi), dan realitas struktural yang melingkupinya, sehingga mereka dapat membebaskan diri dari struktur yang membelenggunya.
Dalam praktiknya, pendidikan pembebasan lebih banyak memakai asumsi-asumsi training untuk berinteraksi, sehingga seringkali training interaksi dan pembebasan berbaur menjadi satu tema, “participatory learning”.
Bila training untuk interaksi sulit ditemui maka training untuk pembebasan lebih sulit lagi untuk dijumpai dan didapatkan contohnya. Namun, sekali lagi literatur-literatur dari Paulo Freire dapat kita jadikan rujukan dalam menggagas training perubahan di masyarakat kita.
Kesimpulan
Dengan banyaknya aliran-aliran dalam ranah filsafat bukan berarti akan membuat semakin tidak jelasnya konstruksi filsafat pendidikan. Akan tetapi dalam masing-masing aliran dapt menghasilkan titik temu yang harmonis, yang fungsinya guna mendapatkan gambaran filsafat pendidikan yang harmonis dan etis serta mempunyai nilai tawar yang lebih qualified. Wallahu’alam bi shawab.
Literatur untuk pengembangan lebih lanjut :
Barnadib,Imam,1988, Filsafat Pendidikan, Sistem Dan Metode, Andi Offset, Yogyakarta.
Hadiwiyono,Harun,1980, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Kanisius, Yogyakarta
Hamersma,Harry,1984, Tokoh-Tokoh Filsafat Modern, PT Gramedia, Jakarta
Mudhofir,Ali,1988, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat, Yogyakarta, Liberty.
Bashori,Tauhid,2004, Pragmatisme Pendidikan, telaah Pemikiran John Dewey,
Hadiwiyono,Harun,1980, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta, Kanisius.
Hamersma,Harry,1984, Tokoh-Tokoh Filsafat Modern, Jakarta, PT Gramedia.
Prasetya ,Filsafat pendidikan , Pustaka Setia,Bandung
Uyoh Sadulloh,.Pengantar filsafat pendidikan, Al-Fabeta,Bandung
Ali saifullah H.A ,Antara Filsafat dan Pendidikan,Ali saifullah H.A,Usaha nasional,Surabaya
Filsafat Pendidikan ,H.B.Hamdani Ali,Kota kembang,Yogyakarta
Mohammad Noor syam ,Filsafat pendidikan dan dasar filsafat Pendidikan pancasila, Usaha Nasional Surabaya

Senin, 22 November 2010

JAMALUDIN AL AFGANI DAN ANALISIS SWOTNYA.

BAB I
PENDAHULUAN
Abad ke 19 hingga abad ke 20 merupakan suatu momentum dimana umat Islam memasuki suatu gerbang baru, gerbang pembaharuan. Fase ini kerap disebut sebagai abad modernisme, suatu abad dimana umat diperhadapkan dengan kenyataan bahwa Barat jauh mengungguli mereka. Keadaan ini membuat berbagai respon bermunculan, berbagai kalangan Islam merespon dengan cara yang berbeda berdasarkan pada corak keislaman mereka. Ada yang merespon dengan sikap akomodatif dan mengakui bahwa memang umat sedang terpuruk dan harus mengikuti bangsa Barat agar dapat bangkit dari keterpurukan itu. Ada pula yang merespon dengan menolak apapun yang datang dari Barat sebab mereka beranggapan bahwa itu diluar Islam. Kalangan ini menyakini Islamlah yang terbaik dan umat harus kembali pada dasar-dasar wahyu, kalangan ini kerap disebut dengan kaum revivalis. Berbagai nama tokoh pun segera tampil dalam ingatan ketika disebutkan tentang abad modernisme Islam yang ditandai dengan dominasi Eropa ini. Dominasi Eropa atas dunia Islam, khususnya di bidang politik dan pemikiran ini ditanggapi dengan beragam cara sehingga melahirkan kalangan modernis dan fundamentalis. Modernisme cenderung akomodatif terhadap ide Barat meskipun kemudian mengembangkan sendiri ide-ide tersebut, sedangkan fundamentalisme menganggap apa–apa yang datang dari Barat adalah bukan berasal dari Islam dan tak layak untuk diambil. Fundamentalisme merupakan suatu paham yang lahir atau besar setelah fase modernisme.
Berbicara abad pembaharuan dalam Islam, maka tak lepas dari seorang tokoh yang merupakan sosok penting dalam pembaharuan Islam, al-Afghani, seorang pembaharu yang memiliki keunikan, kekhasan, dan misterinya sendiri. Berangkat dari pembagian corak keIslaman di atas, Afghani menempati posisi yang unik dalam menanggapi dominasi Barat terhadap Islam. Di satu sisi, Afghani sangat moderat dengan mengakomodasi ide-ide yang datang dari Barat, ini dilakukannya demi memperbaiki kemerosotan umat. Namun di lain sisi, Afghani tampil begitu keras ketika itu berkenaan dengan masalah kebangsaan atau mengenai hal-hal yang berkaitan dengan keIslaman. Alhasil Afghani memijakkan kedua kakinya di dua sisi berbeda, ia seorang modernis tapi juga fundamentalis. Agaknya tepat apa yang dikatakan Black bahwa afghani adalah puncak dari kalangan modernis dan fondasi bagi kalangan fundamentalis. Pada makalah sederhana ini kami akan paparkan sedikit tentang Afghani, hal yang berkenaan dengan jati diri beliau, sekilas pemikiran beliau, kiprah politik, dan hal lain yang serba sedikit sebab makalah ini tak cukup representativ jika harus mewakili keseluruhan pemikiran dan sepak terjang beliau yang begitu fenomenal.











BAB II
Jamaluddin Al-Afghani dan Pembaharuan dalam Islam
A. Tentang Al-Afghani
Jamaluddin al-Afghani adalah seorang pemimpin pembaharuan dalam Islam yang tempat tinggal dan aktivitasnya berpindah dari suatu negara Islam ke Negara Islam lain. Pengaruh terbesar ditinggalkan di Mesir dan oleh karena itu bukanlah tidak pada tempatnya kalau uraian mengenai pemikiran dan aktivitasnya dimasukan ke dalam bagian tentang pembaharuan di Mesir.
Afghani dilahirkan di As’adabad dekat Qanar di daerah Kabul Afghanistan pada tahun 1838 M. Namun juga ada yang mengatakan ia lahir di As’adabad dekat Hamdan di Persia. Jamaluddin al-Afghani lahir sebagai seorang pembaharu dalam dunia Islam. Ia adalah anak dari sayyid Safder yang memiliki hubungan darah dengan seorang perawi hadist terkenal, Imam at-Tirmidzi yang selanjutnya terhubung dengan sayyidina Ali bin Abi Thalib. Masa remajanya banyak ia habiskan di Afghansitan. Ia adalah anak yang cerdas. Sejak umurnya 12 tahun ia telah hafal al-Qur`an, kemudian saat usianya menginjak 18 tahun ia sudah mendalami berbagai bidang ilmu keislaman dan ilmu umum. Al-Afghani dikenal sebagai orang yang menghabiskan hidupnya hanya demi kemajuan islam. Ia rela beranjak dari suatu negara ke negara lainnya demi menyuarakan pemikiran-pemikiran revolusionernya, tentunya demi mengangkat posisi dan martabat Islam yang jauh tertinggal dari dunia barat. Di zamannya Islam berada di bawah bayang-bayang imperialisme Barat. Kondisi masyarakat muslim yang jauh dari Islam, menurutnya adalah salah satu penyebab utama kemunduran dunia Islam. Fanatisme yang masih kental kala itu, belum lagi dengan tidak adanya rasa persaudaraan di antara sesama muslim yang berkonsekwensi pada minimnya rasa solidaritas menjadikan masyarakat muslim rentan terhadap perpecahan.
B. Kiprah Perjalanan Pembaharuan Al-Afghani
Setelah membekali dirinya dengan seluruh cabang ilmu pengetahuan di Timur dan Barat (terutama Paris, Perancis), Al-Afghani mempersiapkan misinya membangkitkan Islam. Pertama-tama ia masuk ke India, negara yang sedang melintasi periode yang kritis dalam sejarahnya. Kebencian kepada kolonialisme yang telah membara dalam dadanya makin berkecamuk ketika Afghani menyaksikan India yang berada dalam tekanan Inggris. Perlawanan terjadi di seluruh India. Afghani turut ambil bagian dari periode yang genting ini, dengan bergabung dalam peperangan kemerdekaan India pada bulan Mei 1857. Namun, Afghani masih sempat pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Sepulang dari haji, Afghani pergi ke Kabul. Di kota ini ia disambut oleh penguasa Afghanistan, Dost Muhammad, yang kemudian menganugerahinya posisi penting dalam pemerintahannya. Saat itu, Dost Muhammad sedang mempertahankan kekuasaannya dengan memanfaatkan kaum cendekiawan yang didukung rakyat Afghanistan. Sayang, ketika akhirnya Dost terbunuh dan takhtanya jatuh ke tangan Sher Ali, Afghani diusir dari Kabul.
Meninggalkan Kabul, Afghani berkelana ke Hijjaz untuk melakukan ziarah. Rupanya, efek pengusiran oleh Sher Ali berdampak bagi perjalanan Afghani. Ia tidak diperbolehkan melewati jalur Hijjaz melalui Persia. Ia harus lebih dulu masuk ke India. Pada tahun 1869 Afghani masuk ke India untuk yang kedua kalinya. Ia disambut baik oleh pemerintah India, tetapi tidak diizinkan untuk bertemu dengan para pemimpin India berpengaruh yang berperan dalam revolusi India. Khawatir pengaruh Afghani akan menyebabkan pergolakan rakyat melawan pemerintah kolonial, pemerintah India mengusir Afghani dengan cara mengirimnya ke Terusan Suez yang sedang bergolak.Di Mesir Afghani melakukan kontak dengan mahasiswa Al-Azhar yang terkagum-kagum dengan wawasan dan ide-idenya. Salah seorang mahasiswa yang kemudian menjadi murid Afghani adalah Muhammad Abduh. Dari Mesir, Afghani pergi ke Istanbul untuk berdakwah. Di ibu kota Turki ini Afghani mendapat sambutan yang luar biasa. Ketika memberi ceramah di Universitas Konstantinopel, salah seorang ulama setempat, Syaikhul Islam, merasa tersaingi. Ia segera menghasut pemerintah Turki untuk mewaspadai gagasan-gagasan Afghani. Buntutnya, Afghani didepak keluar dari Turki. Pada tahun 1871.
Afghani menjejakkan kakinya di Kairo untuk yang kedua kalinya. Di Mesir Afghani melanjutkan dakwahnya yang pernah terputus dan segera mempengaruhi para mahasiswa dan ulama Al-Azhar. Pada awalnya, Jamaluddin mencoba menjauhi dari politik dengan memusatkan diri mempelajari ilmu pengetahuan dan sastra Arab. Rumahnya dijadikan tempat pertemuan para pengikutnya. Di sinilah ia memberikan kuliah dan berdiskusi dengan berbagai kalangan, termasuk intelektual muda, mahasiswa, dan tokoh-tokoh pergerakan. Salah seorang muridnya adalah Mohammad Abduh dan Saad Zaglul, pemimpin kemerdekaan Mesir. Melihat campur tangan Inggris di Mesir, Jamaluddin akhirnya kembali ke politik. Ia melihat Inggris tidak menginginkan Islam bersatu dan kuat. Jamaluddin memasuki perkumpulan Freemason, organisasi yang beranggotakan tokoh-tokoh politik Mesir. Dari sini, 1879, terbentuk partai politik bernama Hizb al-Watani (Partai Kebangsaan). Partai ini antara lain menanamkan kesadaran berbangsa, memperjuangkan pendidikan universal, dan kemerdekaan pers. Aktivitas politik Jamaluddin memberikan pengaruh besar bagi umat Islam. Ia mendorong bangkitnya gerakan berpikir sehingga Mesir mencapai kemajuan.
Seperti juga di Kabul dan India, Inggris memperlihatkan ketidaksukaannya kepada Jamaluddin. Inggris menghasut kaum teolog ortodox melawan Jamaluddin. Ini menjadi alasan Inggris mengusir Jamaluddin dari Mesir, 1879. Jamaluddin kemudian pergi ke Hyderabad Deccau (India). Di sini, ia menulis risalah yang sangat terkenal : Pembuktian Kesalahan Kaum Materialis. Risalah ini menimbulkan gejolak besar kalangan materialis.
Pada 1882, Jamaluddin ke Paris. Ia mendirikan perkumpulan al Urwatulwuthqa. Organisasi ini kemudian menerbitkan jurnal yang mengecam keras Barat. Penguasa Barat melarang jurnal ini diedarkan di negara-negara muslim karena dikhawatirkan dapat menimbulkan semangat persatuan Islam. Karena dilarang diedarkan, usia jurnal ini hanya delapan bulan. Aktivitas Jamaluddin tidak hanya di Paris, ia juga bergerak di berbagai negara Eropa. Ia berdiskusi tentang Islam di London, di antaranya dengan Lord Salisbury, yang berkuasa ketika itu. Ia pergi ke Rusia, membangun pengaruh di kalangan cendekiawan Rusia dan menjadi orang kepercayaan Tsar. Karena pengaruhnya itu, Rusia memperkenankan orang Islam mencetak Al-Qur'an dan buku-buku agama Islam, yang sebelumnya dilarang.
Pengaruh Jamaluddin juga menyebar ke Persia. Shah Nasiruddin Qachar, penguasa Persia, menawarkan posisi perdana menteri. Awalnya, Jamaluddin ragu-ragu, namun akhirnya ia menerima posisi itu. Ide-ide pembaharuan Islam, membuat Jamaluddin semakin populer di Persia. Ini mengkhawatirkan Nasiruddin, apalagi Jamaluddin terang-terangan mengkritik praktik-praktik kekuasan penguasa Persia itu. Jamaluddin, revolusioner dan antitirani itu kemudian ditangkap dan diusir, namun kesadaran rakyat telah bangkit untuk menumbangkan Nasiruddin.
Pada 1892, Jamaluddin ke Istambul, Turki, atas permintaan Sultan Abdul Hamid. Sultan ketika itu ingin memanfaatkan pengaruh Jamaluddin atas negara-negara Islam untuk menentang Eropa, yang ketika itu mendesak kedudukan Kerajaan Usmani (Ottoman) di Timur Tengah. Namun upaya Sultan itu gagal. Pada satu sisi, Jamaluddin berjuang untuk terbentuknya pemerintahan demokratis, sedangkan Nasiruddin mempertahankan kekuasaan otokrasi lama. Sultan akhirnya membatasi kegiatan-kegiatan Jamaluddin dan melarangnya ke luar Istambul. Jamaluddin wafat di Istambul, 9 Maret 1897 dalam usia 59 tahun. Sepanjang hayatnya, Jamaluddin Al-Afghani telah menulis puluhan karya tulis dan buku, antara lain : Pembahasan tentang Sesuatu yang Melemahkan Orang-orang Islam; Tipu Muslihat Orientalis, Risalah untuk Menjawab Golongan Kristen; Hilangnya Timur dan Barat; Hakikat Manusia dan Hakikat Tanah Air.
Jamaluddin melihat kemunduran umat Islam bukan karena Islam tidak sesuai dengan perubahan zaman, melainkan telah dipengaruhi oleh sifat statis, fatalis, meninggalkan akhlak yang tinggi, dan melupakan ilmu pengetahuan. Ini, menurutnya, umat Islam telah meninggalkan ajaran Islam sebenarnya. Islam menghendaki umatnya dinamis, mencintai ilmu pengetahuan, dan tidak fatalis. Sifat statis membuat umat Islam tidak berkembang dan hanya mengikuti apa yang telah menjadi ijtihad ulama sebelum mereka, dan hanya pasrah pada nasib.
Faktor lain, menurut Jamaluddin, salah paham terhadap qadla (ketentuan Tuhan yang belum terjadi) dan qadar (ketentuaan Tuhan yang sudah terjadi). Paham itu membuat umat Islam tidak mau berusaha dengan sungguh-sungguh. Jamaluddin menyebutkan, qadha dan qadar mengandung pengertian bahwa segala sesuatu terjadi menurut sebab-musabab (kausalitas). Lemahnya pendidikan dan kurangnya pengetahuan umat tentang dasar-dasar ajaran agama, lemahnya persaudaraan, perpecahan umat Islam yang diikuti pemerintahan yang absolut, mempercayakan kepemimpinan kepada yang tidak dipercaya, dan kurangnya pertahanan militer, merupakan faktor-faktor kemunduran umat Islam.
Jamaluddin menyebutkan, Islam mencakup segala aspek kehidupan, baik ibadah, hukum, dan sosial. Corak pemerintahan otokrasi harus diubah menjadi demokrasi. Persatuan umat Islam harus diwujudkan kembali. Menurutnya, kekuatan umat Islam bergantung pada keberhasilan membina persatuan dan kerja sama. Jamaluddin juga menyorot soal peran wanita. Ia menilai kaum pria dan wanita, sama dalam beberapa hal. Keduanya mempunyai akal untuk berpikir. Tidak ada halangan bagi wanita untuk bekerja jika situasi menuntut untuk itu. Jamaluddin menginginkan pria dan wanita meraih kemajuan dan bekerja sama mewujudkan Islam yang maju dan dinamis.
Jamaluddin tak hanya pandai bicara. Malang melintang ke berbagai negara ia lakukan bagi tercapainya renaisans (kebangkitan) dunia Islam. Proyeknya itu kemudian dikenal dengan "Pan Islamisme", sebuah gagasan untuk membangkitkan dan menyatukan dunia Arab khususunya, dan dunia Islam umumnya untuk melawan kolonialisme Barat, Inggris, dan Perancis khususnya yang kala itu banyak menduduki dan menjajah dunia Islam dan negara-negara berkembang. Secara umum, inti Pan-Islamisme Jamaluddin itu terletak pada ide bahwa Islam adalah satu-satunya ikatan kesatuan kaum Muslim. Jika ikatan itu diperkokoh, jika ia menjadi sumber kehidupan dan pusat loyalitas mereka, maka kekuatan solidaritas yang luar biasa akan memungkinkan pembentukan dan pemeliharaan negara Islam yang kuat dan stabil. Berbagai kalangan, seperti ditulis pakar sejarah Azyumardi Azra dalam Historiografi Islam Kontemporer, menilai ide Jamaluddin itu sebenarnya sebagai entitas politik Islam universal. Mau tak mau, ia pun bersentuhan langsung dengan para penjajah itu.
Dengan gagasannya ini, Al-Afghani mengubah Islam menjadi ideologi anti-kolonialis yang menyerukan aksi politik menentang Barat. Baginya, Islam adalah faktor yang paling esensial untuk perjuangan kaum Muslim melawan Eropa, dan Barat pada umumnya. Namun demikian, pada saat yang sama Al-Afghani juga mendukung ide semacam nasionalisme, lebih tepatnya "nasionalitas" (jinsiyyah) dan "cinta tanah air" (wathaniyyah). Sepintas, dua gagasan ini boleh jadi kontradiktif dengan gagasannya tentang Pan-Islamisme. Namun, tampaknya Jamaluddin tak ambil pusing. Baginya, bila dua 'entitas' itu dapat disatukan menjadi sebuah kekuatan besar yang dapat merubah nasib dunia Islam, mengapa tidak dicoba? Terlepas dari kekurangan, kelebihan dan sekaligus kontroversi kiprah dan pemikirannya, Jamaluddin pantas dicatat sebagai orang besar yang bersaham signifikan bagi kesadaran dan renaisans umat dan dunia Islam.
C. Konsep Politik dan Gagasan Pan-Islamisme Al-Afghani
Selama di Mesir Jamaluddin al-Afghani mengajukan konsep-konsep pembaharuanya, antara lain yang pokoknya:
a. Musuh utama adalah penjajah (Barat).
b. Ummat Islam harus menentang penjajahan dimana dan kapan saja
c.Untuk mencapai tujuan itu ummat Islam harus bersatu (Pan-Islamisme).

Pan-Islamisme bukan berarti leburnya kerajaan-kerajaan Islam menjadi satu, tetapi mereka harus mempunyai satu pandangan bersatu dalam kerjasama. Persatuan dan kerjasama merupakan sendi yang amat penting dalam Islam. Persatuan Islam hanya dapat dicapai bila berada dalam kesatuan dan kembali kepada ajaran Islam yang murni yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
Untuk mencapai usaha-usaha pembaharuan tersebut di atas:
a. Rakyat harus dibersihkan dari kepercayaan ketakhayulan.
b. Orang harus yakin bahwa ia dapat mencapai tingkat atau derajat budi luhur.
c. Rukun iman harus betul-betul menjadi pandangan hidup
d. Setiap generasi umat harus ada lapisan istimewa untuk memberikan pengajaran dan pendidikan pada manusia yang bodoh dan memerangi hawa nafsu jahat dan menegakkan disiplin.
Pengalaman yang diserap Al-Afghani selama lawatannya ke Barat menumbuhkan semangatnya untuk memajukan umat. Barat yang diperankan oleh Inggris dan Prancis mulai hndak menancapkan dominasi politiknya di dunia Islam, maka pasti akan berhadapan dengan Al-afghani. Adanya anggapan dasar yang dipegang oleh Al-Afghani menghadapi Barat seperti diungkapkan L. Stoddard yakni :
1. Dunia Kristen sekalipun mereka berbeda dalam keturunan, kebangsaan, tetapi apabila menghadapi dunia Timur (Islam) mereka bersatu untuk menghancurkannya.
2. Semangat perang Salib masih tetap berkobar, orang Kristen masih menaruh dendam. Ini terbukti umat Islam diperlakukan secara diskriminatif dengan orang Kristen.
3. Negara-negara Kristen membela agamanya. Mereka memandang Negara Islam lemah, terbelakang dan biadab. Mereka selalu berusaha menghancurkan dan menghalangi kemajuan Islam.
4. Kebencian terhadap umat Islam bukan hanya sebagian mereka, tetapi seluruhnya. Mereka terus-menerus bersembunyi dan berusaha menyembunyikannya.
5. Perasaan dan aspirasi umat Islam diejek dan difitnah oleh mereka. Istilah nasionalisme dan patriotosme di Barat, di Timur disebut fanatisme.
Menurut Al-Afghani, hal-hal tersebut di atas menuntut adanya persatuan umat Islam untuk menghadapi dunia Barat dan mempertahankannya dari keruntuhan. Disamping itu Al-Afghani melihat bahwa kondisi umat Islam sendiri memang berada dalam kemunduran yang mengkhawatirkan. Kemunduran tersebut menurutnya bukan karena ajaran Islam, tetapi oleh umat itu sendiri yang yang tidak berupaya mengubah nasibnya. Perpecahan terjadi di kalangan mereka maka pemerintahan menjadi absolut, pemimpin tidak dapat dipercaya, lemah dalam bidang militer dan ekonomi bersamaan dengan datangnya intervensi asing. Menghadapi paham fatalisme, Al-Afghani mengajak umat Islam merebut peradaban, kebudayaan, ilmu pengetahun Barat yang positif dan sesuai ajaran Islam. Dengan demikian, umat Islam akan dinamis dan tidak menerima apa adanya serta menyerukan bahwa pintu ijtihad tidak tertutup. Ia selanjutnya menegaskan bahwa dalam Islam ada kemerdekaan dan kedaulatan umat. pemerintah dapat saja dikritik dan tidak berkuasa mutlak. Al-Afghani mengajak umat, pemimpin dan kelompok agar bersatu dan bekejasama dalam meraih kemajuan dan membebaskan diri dari itervensi Barat.
Untuk tujuan di atas, Al-Afghani mencetuskan ide Pan Islamisme. Semangat ini dikobarkan ke seluruh negeri Islam yang tengah berada dalam kemunduran dan dominasi Barat. Pan Islamisme (Al-jami’iyyah Al-Islamiyyah) ialah rasa solidaritas seluruh umat Islam. Solidaristas seperti itu sudah ada dan diajarkan sejak Nabi SAW, baik dalam menghadapi kafir Quraisy ataupun dalam kegiatan-kegiatan sebagai upaya menciptakan kesejahteraan umat. Semangat pan Islamisme yang diserukan Al-Afghani memberikan pengaruh besar di kalangan umat terutama bagi para pemimpinnya. Hal ini kemudian menyadarkan mereka akan besarnya ancaman Barat. Sultan Abdul Hamid dari Kerajaan Turki Usmani misalnya menyambut dengan penuh antusias. Ia mendirikan organisasi seruan Pan-Islamisme mengutus banyak orang ke berbagai negeri Islam dengan pesan agar umat Islam bersatu dan melepaskan diri dari pemerintahan Barat. Hal ini dilakukan oleh Sultan selama 30 tahun. Seruan Pan-Islamisme menghasilkan pengaruh yang sangat besar dan mendalam. Di berbagai negeri muslim telah lahir tokoh-tokoh di kalangan umat yang berjuang menuntut kemerdekaan dari penjajah Barat, seperti Abdul Hamid di Turki, Muhamamd Abduh dan Saad Zaghlul di Mesir serta tokoh lainnya.



BAB III
ANALISIS SWOT
1. KEKUATAN
Jamaludin seorang revolusioner yang antitirani, adapun kekuatannya adalah :
1. Tokoh Pan Islamisme.
2. Semangat pan Islamisme yang diserukan Al-Afghani memberikan pengaruh besar di kalangan umat Islam terutama bagi para pemimpinnya.
3. Al afgani berideologi Qadariah.
4. Penggagas usaha-usaha / ide-ide pembaharuan.
5. Bapak Pembaharuan Islam.

2. KELEMAHAN
1. Afghani sangat moderat dengan mengakomodasi ide-ide yang datang dari Barat. Alhasil Afghani memijakkan kedua kakinya di dua sisi berbeda, ia seorang modernis tapi juga fundamentalis.
2. Al-Afghani juga mendukung ide semacam nasionalisme, lebih tepatnya "nasionalitas" (jinsiyyah) dan "cinta tanah air" (wathaniyyah). Sepintas, dua gagasan ini boleh jadi kontradiktif tentang Pan-Islamisme.
3. PELUANG
a. Eksistensi umat Islam dimata dunia Barat.
b. Inti Pan-Islamisme Jamaluddin itu terletak pada ide bahwa Islam adalah satu-satunya ikatan kesatuan kaum Muslim. Jika ikatan itu diperkokoh, maka ia menjadi sumber kehidupan dan pusat loyalitas mereka, maka kekuatan solidaritas yang luar biasa akan memungkinkan pembentukan dan pemeliharaan negara Islam yang kuat dan stabil.
c. Membuka pemikiran baru tokoh-tokoh pemikir Islam.
d. Memperkokoh persatuan dan kesatuan umat Islam melalui Pan Islamisme.
e. Pengaruh perkembangan pembangunan (ekonomi, politik, budaya, pendidikan, ideology) begitu signifikan dinegara-negara yang pernah disinggahinya.


4. KEKUATAN UNTUK MEMANFAATKAN PELUANG
a. Seruan Pan-Islamisme menghasilkan pengaruh yang sangat besar dan mendalam. Di berbagai negeri muslim telah lahir tokoh-tokoh di kalangan umat yang berjuang menuntut kemerdekaan dari penjajah Barat.
b. Rumahnya dijadikan tempat pertemuan para pengikutnya. Ia memberikan kuliah dan berdiskusi dengan berbagai kalangan, termasuk intelektual muda, mahasiswa, dan tokoh-tokoh pergerakan. Salah seorang muridnya adalah Mohammad Abduh dan Saad Zaglul, pemimpin kemerdekaan Mesir.
c. Al-Afghani dikenal sebagai orang yang menghabiskan hidupnya hanya demi kemajuan islam. Ia rela beranjak dari suatu negara ke negara lainnya demi menyuarakan pemikiran-pemikiran revolusionernya, tentunya demi mengangkat posisi dan martabat Islam yang jauh tertinggal dari dunia barat.






5. TANGGGULANGI KELEMAHAN UNTUK MEMANFAATKAN PELUANG

a. Karya tulis dan buku Al afgani, antara lain : Pembahasan tentang Sesuatu yang Melemahkan Orang-orang Islam; Tipu Muslihat Orientalis, Risalah untuk Menjawab Golongan Kristen; Hilangnya Timur dan Barat; Hakikat Manusia dan Hakikat Tanah Air, Pembuktian Kesalahan Kaum Materialis.
b. Aktivitas politik Jamaluddin memberikan pengaruh besar bagi umat Islam. Ia mendorong bangkitnya gerakan berpikir sehingga beberapa Negara muslim mencapai kemajuan.
c. Ia menegaskan bahwa dalam Islam ada kemerdekaan dan kedaulatan umat. Pemerintah dapat dikritik dan tidak berkuasa mutlak.
d. Al-Afghani mengajak umat, pemimpin dan kelompok agar bersatu dan bekejasama dalam meraih kemajuan dan membebaskan diri dari itervensi Barat.










BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian isi makalah ini, maka pemakalah dapat menyimpulkan bahwa pemikiran yang dimiliki oleh Jamaluddin al-Afghani tentang konsepnya yaitu Pan-Islamisme. Mulanya adalah karena dia telah melihat ketidakadilan dan juga adanya para penjajah yang telah membuat risau masyarakat india pada waktu itu. Nah? Dalam kesempatan itu Jamaluddin ini mulai terang-terangan mengancam keras tindakan yang dilakukan oleh penjajahan Barat. Setelah itu Jamaluddin akhirnya berhasil mengusir penjajah barat karena berkat atas prakarsanya yaitu model pemikirannya yang membuat heboh rakyat India pada waktu itu. Oleh karena itu Jamaluddin dijuluki sebagai Bapak Pembaharuan.
Demikianlah ulasan mengenai tokoh pemikir Islam di Abad Modern. Banyak sekali tokoh-tokoh yang sepadan dengan Jamaluddin al-Afghani, namun caranya yang berbeda-beda dalam penerapannya.Jamaluddin al-Afghani merupakan figur besar dalam dunia Muslim. Penekanannya pada Islam merupakan kekuatan yang sangat penting untuk menangkal Barat dan untuk meningkatkan solidaritas kaum Muslim.

B. Saran.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini terdapat kekurangan baik isi maupun materi dalam pembahasan, untuk itu Penulis mohon kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya membangun demi kesempurnaan penulisan ini.


DAFTAR PUSTAKA
Antony Black, Pemikiran Politik Islam, (Jakarta: Serambi, 2006)

Akhmad Taufik dkk, Sejarah Pemikiran dan Modernisme Islam, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2005)
Muhammad Al-Bahiy, Pemikiran Islam Modern, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986.
Munawir Sjadzali, ISLAM DAN TATA NEGARA ajaran, sejarah dan pemikiran, (Jakarta: UI-Press, 1993)
Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam, dari Abu Bakar hingga Nasr dan Qardawi, (Jakarta: PT. MIZAN Publika, 2003)

Sabtu, 20 November 2010

ULUMUL QURAN

ULUMUL QURAN
PENDAHULUAN
Setelah panitia penulisan mushaf al-Qur’an yang ditunjuk dan diawasi langsung oleh Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan r.a. selesai menunaikan tugasnya, beliau kemudian melakukan beberapa langkah penting sebelum kemudian mendistribusikan mushaf-mushaf itu ke beberapa wilayah Islam. Langkah-langkah penting itu adalah:[1]
1. Membacakan naskah final tersebut di hadapan para sahabat. Ini dimaksudkan sebagai langkah verifikasi, terutama dengan suhuf yang dipegang oleh Hafshah binti ‘Umar r.a.[2]
2. Membakar seluruh manuskrip al-Qur’an lain. Sebab dengan selesainya mushaf resmi tersebut, keberadaan pecahan-pecahan tulisan al-Qur’an dianggap tidak diperlukan lagi. Dan itu sama sekali tidak mengundang keberatan para sahabat. Ali bin Abi Thalib r.a. menggambarkan peristiwa itu dengan mengatakan,
“Demi Allah, dia (‘Utsman) tidak melakukan apa yang ia lakukan terhadap mushaf-mushaf itu kecuali (ia melakukannya) di hadapan kami semua.”[3]
Setelah melakukan dua langkah tersebut, ‘Utsman bin ‘Affan r.a kemudian mulai melakukan pengiriman mushaf al-Qur’an ke beberapa wilayah Islam. Para ulama Islam sendiri berbeda pendapat tentang jumlah eksemplar mushaf yang ditulis dan disebarkan pada waktu itu. Al-Zarkasyi misalnya menggambarkan ragam pendapat itu dengan mengatakan,
“Abu ‘Amr al-Dany menyatakan dalam kitab al-Muqni’: mayoritas ulama berpandangan bahwa ketika ‘Utsman menuliskan mushaf-mushaf itu ia membuatnya dalam 4 (eksemplar), lalu mengirimkan satu eksemplar ke setiap wilayah: Kufah, Bashrah dan Syam, lalu menyisakan satu eksemplar di sisinya. Ada pula yang mengatakan bahwa beliau menuliskan sebanyak 7 eksemplar. (Selain yang telah disebutkan –pen) ia menambahkan untuk Mekkah, Yaman, dan Bahrain. (Al-Dany) mengatakan: ‘Pendapat pertamalah yang paling tepat, dan itu dipegangi para imam.’”[4]
Sementara al-Suyuthi menyebutkan pendapat lain –disamping pendapat di atas- yang menurutnya masyhur, bahwa jumlah mushaf itu ada 5 eksemplar.[5]
Semua naskah itu ditulis di atas kertas, kecuali naskah yang dikhususkan ‘Utsman bin ‘Affan r.a untuk dirinya –yang kemudian dikenal juga dengan ¬al-Mushaf al-Imam-. Sebagian ulama mengatakan ditulis di atas lembaran kulit rusa.[6] Mushaf-mushaf tersebut oleh para ahli al-Rasm kemudian diberi nama sesuai dengan kawasannya. Naskah yang diperuntukkan untuk Madinah dan Mekkah kemudian dikenal dengan sebutan Mushaf Hijazy, yang diperuntukkan untuk Kufah dan Bashrah disebut sebagai Mushaf ‘Iraqy, dan yang dikirim ke Syam dikenal dengan sebutan Mushaf Syamy.[7]

[1] Lih. The History of The Qur’anic Text, hal.105-106.
[2] Lih. Tafsir Ibn Katsir 7/450.
[3] Kitab al-Mashahif, hal. 22 sebagaimana dalam The History of The Qur’anic Text, hal. 106.
[4] Al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, 1/334.
[5] Lih. Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, (1/132). Sementara al-A’zhamy mendukung pendapat Profesor Syauqi Dhaif bahwa ada 8 eksemplar mushaf telah dibuat. Ia juga mengutip pendapat al-Ya’qubi, seorang ahli sejarah Syiah yang berpendapat bahwa jumlah eksemplarnya adalah sembilan. Lih. The History of The Qur’anic Text, hal.105.
[6] Lih. Al-Mushaf al-‘Utsmany, hal.5
[7] Ibid.



Dalam proses pendistribusian ini, ada langkah penting lainnya yang juga tidak lupa dilakukan oleh ‘Utsman bin ‘Affan r.a. Yaitu menyertakan seorang qari’ dari kalangan sahabat Nabi saw bersama dengan mushaf-mushaf tersebut. Tujuannya tentu saja untuk menuntun kaum muslimin agar dapat membaca mushaf-mushaf tersebut sebagaimana diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya. Ini tentu saja sangat beralasan, sebab naskah-naskah mushaf ‘Utsmani tersebut hanya mengandung huruf-huruf konsonan, tanpa dibubuhi baris maupun titik. Tanpa adanya para qari’ penuntun itu, kesalahan baca sangat mungkin terjadi. Ini sekaligus menegaskan bahwa pewarisan pembacaan al-Qur’an –yang juga berarti pewarisan al-Qur’an itu sendiri- sepenuhnya didasarkan pada proses talaqqi, bukan pada realitas rasm yang tertuang pada lembaran-lembaran mushaf belaka.[8]
Tentu saja, pasca pendistribusian naskah-naskah mushaf ‘Utsmani tersebut, kaum muslimin telah memiliki sebuah mushaf rujukan –karena itulah ia disebut sebagai al-mushaf al-imam-. Sejak saat itu, mulailah upaya-upaya penulisan ulang naskah Al-Qur’an berdasarkan mushaf ‘Utsmani untuk memenuhi kebutuhan kaum muslimin akan mushaf al-Qur’an. Dalam kurun yang cukup panjang, yaitu pasca kodifikasi Khalifah ‘Utsman r.a. hingga sekarang terdapat banyak perkembangan baru dalam perbanyakan naskah tersebut. Meskipun upaya itu sama sekali tidak berarti merubah hakikat al-Qur’an sebagai Kalamullah. Perkembangan-perkembangan itulah yang akan dikaji secara singkat dalam makalah ini. Dan semoga bermanfaat!

[8] Lih. Manahil al-‘Irfan, (1/330), dan The History of Qur’anic Text, hal.107.

PERKEMBANGAN BARU PENULISAN MUSHAF PASCA UTSMAN

Pemberian Harakat (Nuqath al-I’rab)
Sebagaimana telah diketahui, bahwa naskah mushaf ‘Utsmani generasi pertama adalah naskah yang ditulis tanpa alat bantu baca yang berupa titik pada huruf (nuqath al-i’jam) dan harakat (nuqath al-i’rab) –yang lazim kita temukan hari ini dalam berbagai edisi mushaf al-Qur’an-. Langkah ini sengaja ditempuh oleh Khalifah ‘Utsman r.a. dengan tujuan agar rasm (tulisan) tersebut dapat mengakomodir ragam qira’at yang diterima lalu diajarkan oleh Rasulullah saw. Dan ketika naskah-naskah itu dikirim ke berbagai wilayah, semuanya pun menerima langkah tersebut, lalu kaum muslimin pun melakukan langkah duplikasi terhadap mushaf-mushaf tersebut; terutama untuk keperluan pribadi mereka masing-masing. Dan duplikasi itu tetap dilakukan tanpa adanya penambahan titik ataupun harakat terhadap kata-kata dalam mushaf tersebut.[9] Hal ini berlangsung selama kurang lebih 40 tahun lamanya.
Dalam masa itu, terjadilah berbagai perluasan dan pembukaan wilayah-wilayah baru. Konsekwensi dari perluasan wilayah ini adalah banyaknya orang-orang non Arab yang kemudian masuk ke dalam Islam, disamping tentu saja meningkatnya interaksi muslimin Arab dengan orang-orang non Arab –muslim ataupun non muslim-. Akibatnya, al-‘ujmah (kekeliruan dalam menentukan jenis huruf) dan al-lahn (kesalahan dalam membaca harakat huruf) menjadi sebuah fenomena yang tak terhindarkan. Tidak hanya di kalangan kaum muslimin non-Arab, namun juga di kalangan muslimin Arab sendiri.
Hal ini kemudian menjadi sumber kekhawatiran tersendiri di kalangan penguasa muslim. Terutama karena mengingat mushaf al-Qur’an yang umum tersebar saat itu tidak didukung dengan alat bantu baca berupa titik dan harakat.
Dalam beberapa referensi[10] disebutkan bahwa yang pertama kali mendapatkan ide pemberian tanda bacaan terhadap mushaf al-Qur’an adalah Ziyad bin Abihi, salah seorang gubernur yang diangkat oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan r.a. untuk wilayah Bashrah (45-53 H). Kisah munculnya ide itu diawali ketika Mu’awiyah menulis surat kepadanya agar mengutus putranya, ‘Ubaidullah, untuk menghadap Mu’awiyah. Saat ‘Ubaidullah datang menghadapnya, Mu’awiyah terkejut melihat bahwa anak muda itu telah melakukan banyak al-lahn dalam pembicaraannya. Mu’awiyah pun mengirimkan surat teguran kepada Ziyad atas kejadian itu. Tanpa buang waktu, Ziyad pun menulis surat kepada Abu al-Aswad al-Du’aly[11]:
[9] Lih. Tarikh al-Mushaf al-Syarif, hal. 73, dan Naqth al-Mushaf al-Syarif, hal. 1
[10] Lih. Shubh al-A’sya, 3/156, Tarikh al-Mushaf, hal. 74-75, dan Nuqath al-Mushaf al-Syarif, hal.1,
[11] Nama lengkapnya adalah Zhalim bin ‘Amr al-Du’aly al-Kinany. Ia adalah salah seorang pemuka tabi’in. Turut serta dalam pasukan Ali bin Abi Thalib r.a. dalam peristiwa perang Shiffin tahun 37 H. Ia dipercaya sebagai orang pertama yang memunculkan ilmu Nahwu dan memberikan tanda bacaan pada mushaf al-Qur’an. Ia kemudian meninggal dalam peristiwa wabah (tha’un) Amwas tahun 69 H. Lih. Al-A’lam, 3/340.
12. Al-A’zhamy menjelaskan bahwa yang pertama kali menyuruh Abu al-Aswad menulis sebuah referensi tata Bahasa Arab adalah Khalifah Umar r.a. Ia pun menjalankan tugas itu dan menetapkan empat tanda diakritikal (harakat) yang akan diletakkan pada ujung huruf tiap kata. Tanda ini ditulis dengan warna merah untuk membedakannya dengan huruf yang ditulis dengan tinta hitam. Penggunaan keempat tanda tersebut untuk mushaf al-Qur’an kemudian baru direalisasikan di masa pemerintahan Mu’awiyah, seperti uraian di atas. Lih. The History of The Qur’anic Text, hal. 154-156.

“Sesungguhnya orang-orang non-Arab itu telah semakin banyak dan telah merusak bahasa orang-orang Arab. Maka cobalah Anda menuliskan sesuatu yang dapat memperbaiki bahasa orang-orang itu dan membuat mereka membaca al-Qur’an dengan benar.”

Abu al-Aswad sendiri pada mulanya menyatakan keberatan untuk melakukan tugas itu. Namun Ziyad membuat semacam ‘perangkap’ kecil untuk mendorongnya memenuhi permintaan Ziyad. Ia menyuruh seseorang untuk menunggu di jalan yang biasa dilalui Abu al-Aswad, lalu berpesan: “Jika Abu al-Aswad lewat di jalan ini, bacalah salah satu ayat al-Qur’an tapi lakukanlah lahn terhadapnya!” Ketika Abu al-Aswad lewat, orang inipun membaca firman Allah yang berbunyi:
“Ses ungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik.” (al-Taubah: 3)
Tapi ia mengganti bacaan “wa rasuluhu” menjadi “wa rasulihi”. Bacaan itu didengarkan oleh Abu al-Aswad, dan itu membuatnya terpukul. “Maha mulia Allah! Tidak mungkin Ia berlepas diri dari Rasul-Nya!” ujarnya. Inilah yang kemudian membuatnya memenuhi permintaan yang diajukan oleh Ziyad. Ia pun menunjuk seorang pria dari suku ‘Abd al-Qais untuk membantu usahanya itu. Tanda pertama yang diberikan oleh Abu al-Aswad adalah harakat (nuqath al-i’rab). Metode pemberian harakat itu adalah Abu al-Aswad membaca al-Qur’an dengan hafalannya, lalu stafnya sembari memegang mushaf memberikan harakat pada huruf terakhir setiap kata dengan warna yang berbeda dengan warna tinta kata-kata dalam mushaf tersebut. Harakat fathah ditandai dengan satu titik di atas huruf, kasrah ditandai dengan satu titik dibawahnya, dhammah ditandai dengan titik didepannya, dan tanwin ditandai dengan dua titik. Demikianlah, dan Abu al-Aswad pun membaca al-Qur’an dan stafnya memberikan tanda itu. Dan setiap kali usai dari satu halaman, Abu al-Aswad pun memeriksanya kembali sebelum melanjutkan ke halaman berikutnya.[12]
Murid-murid Abu al-Aswad kemudian mengembangkan beberapa variasi baru dalam penulisan bentuk harakat tersebut. Ada yang menulis tanda itu dengan bentuk kubus (murabba’ah), ada yang menulisnya dengan bentuk lingkaran utuh, dan ada pula yang menulisnya dalam bentuk lingkaran yang dikosongkan bagian tengahnya.[13] Dalam perkembangan selanjutnya, mereka kemudian menambahkan tanda sukun (yang menyerupai bentuk kantong air) dan tasydid (yang menyerupai bentuk busur) yang diletakkan di bagian atas huruf. [14] Dan seperti yang disimpulkan oleh al-A’zhamy, nampaknya setiap wilayah kemudian mempraktekkan sistem titik yang berbeda. Sistem titik yang digunakan penduduk Mekah –misalnya- berbeda dengan yang digunakan orang Irak. Begitu pula sistem penduduk Madinah berbeda dengan yang digunakan oleh penduduk Bashrah. Dalam hal ini, Bashrah lebih berkembang, hingga kemudian penduduk Madinah mengadopsi sistem mereka.[15]
12. Al-A’zhamy menjelaskan bahwa yang pertama kali menyuruh Abu al-Aswad menulis sebuah referensi tata Bahasa Arab adalah Khalifah Umar r.a. Ia pun menjalankan tugas itu dan menetapkan empat tanda diakritikal (harakat) yang akan diletakkan pada ujung huruf tiap kata. Tanda ini ditulis dengan warna merah untuk membedakannya dengan huruf yang ditulis dengan tinta hitam. Penggunaan keempat tanda tersebut untuk mushaf al-Qur’an kemudian baru direalisasikan di masa pemerintahan Mu’awiyah, seperti uraian di atas. Lih. The History of The Qur’anic Text, hal. 154-156.
[13] Shubh al-A’sya, 3/158, Nuqath al-Mushaf al-Syarif, hal.1.
[14] Qishshah al-Nuqath wa al-Syakl fi al-Mushaf, hal. 59-69.
[15] The History of The Qur’anic Text, hal.156.


Namun lagi-lagi perlu ditegaskan, bahwa perbedaan ini sama sekali tidak mempengaruhi apalagi mengubah bacaan Kalamullah. Ia masih tetap seperti yang diturunkan Allah kepada Rasulullah saw.
Satu hal lagi yang perlu disebutkan di sini, bahwa beberapa peneliti –seperti Guidi, Israil Wilfinson, dan DR. ‘Izzat Hassan- menyimpulkan bahwa tanda harakat ini sebenarnya dipinjam oleh Bahasa Arab dari Bahasa Syriak. Tetapi –mengutip al-A’zhamy- Yusuf Dawud Iqlaimis, Biskop Damaskus, menyatakan:
Ini jelas yakin tanpa diragukan bahwa pada zaman Yakub dari Raha, yang meninggal di awal abad kedelapan masehi, di sana tidak ada metode tanda diakritikal dalam bahasa Syriak, tidak dalam huruf hidup bahasa Yunani maupun sistem tanda titiknya.[16]

Yakub (Yacob?) Raha sendiri –menurut B.Davidson[17]- menemukan tanda bacaan pertama (untuk Bahasa Syriak) pada abad ketujuh, sedangkan Theophilus menemukan huruf hidup Bahasa Yunani pada abad ke delapan. Bila dihitung, akhir abad ketujuh masehi itu sama dengan tahun 81 H, dan akhir abad kedelapan itu sama dengan tahun 184 H. Sementara Abu al-Aswad al-Du’aly –penemu tanda diakritikal Bahasa Arab- meninggal dunia pada tahun 69 H (688 M). Ditambah lagi, -seperti yang dicontohkan oleh B.Davidson- sistem diakritikal Syriak begitu mirip tanda yang digunakan oleh al-Du’aly.
Fakta lain adalah bahwa tata bahasa Syriak dapat dikatakan menemukan identitasnya melalui upaya Hunain bin Ishaq. Hunain sendiri dilahirkan pada tahun 194 H (810 M), sementara Sibawaih, tokoh besar tata Bahasa Arab penulis al-Kitab (sebuah referensi puncak dalam Nahwu) meninggal pada tahun 180 H (796 M). Maka tidak mungkin Hunain dapat disebut memberikan pengaruh pada tata Bahasa Arab. Apalagi sejarah mencatat bahwa Hunain pernah belajar Bahasa Arab di Bashrah. Tepatnya pada Khalil bin Ahmad al-Farahidy (w. 170 H), seorang tokoh ensiklopedi Bahasa Arab terkemuka. Jadi pertanyaannya: siapa yang meminjam pada siapa?[18]





[16] Al-Lam’ah al-Shahiyyah fi Nahw al-Lughah al-Siryaniyah, hal. 169, sebagaimana dalam The History of The Qur’anic Text, hal. 159.
[17] Syriac Reading Lessons, sebagaimana dalam The History of The Qur’anic Text, hal.160
[18] Lih. The History of The Qur’anic Text, hal.158-161.




Pemberian Titik pada Huruf (Nuqath al-I’jam)
Pemberian tanda titik pada huruf ini memang dilakukan belakangan dibanding pemberian harakat. Pemberian tanda ini bertujuan untuk membedakan antara huruf-huruf yang memiliki bentuk penulisan yang sama, namun pengucapannya berbeda. Seperti pada huruf ب(ba),ت )ta(, )ثtsa(. Pada penulisan mushaf ‘Utsmani pertama, huruf-huruf ini ditulis tanpa menggunakan titik pembeda. Salah satu hikmahnya adalah –seperti telah disebutkan- untuk mengakomodir ragam qira’at yang ada. Tapi seiring dengan meningkatnya kuantitas interaksi muslimin Arab dengan bangsa non-Arab, kesalahan pembacaan jenis huruf-huruf tersebut (al-‘ujmah) pun merebak. Ini kemudian mendorong penggunaan tanda ini.
Ada beberapa pendapat yang berbeda mengenai siapakah yang pertama kali menggagas penggunaan tanda titik ini untuk mushaf al-Qur’an. Namun pendapat yang paling kuat nampaknya mengarah pada Nashr bin ‘Ashim[19] dan Yahya bin Ya’mar[20]. Ini diawali ketika Khalifah Abdul Malik bin Marwan memerintahkan kepada al-Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafy, gubernur Irak waktu itu (75-95 H), untuk memberikan solusi terhadap ‘wabah’ al-‘ujmah di tengah masyarakat. Al-Hajjaj pun memilih Nahsr bin ‘Ashim dan Yahya bin Ya’mar untuk misi ini, sebab keduanya adalah yang paling ahli dalam bahasa dan qira’at. [21]
Setelah melewati berbagai pertimbangan, keduanya lalu memutuskan untuk menghidupkan kembali tradisi nuqath al-i’jam (pemberian titik untuk membedakan pelafalan huruf yang memiliki bentuk yang sama). Muncullah metode al-ihmal dan al-i’jam.[22] Al-ihmal adalah membiarkan huruf tanpa titik, dan al-i’jam adalah memberikan titik pada huruf. Penerapannya adalah sebagai berikut:
a. untuk membedakan antara دdal dan ذdzal, رra’ dan زzay, صshad dan ضdhad, طtha’ dan ظzha’, serta ع‘ain dan غ ghain, maka huruf-huruf pertama dari setiap pasangan itu diabaikan tanpa titik (al-ihmal), sedangkan huruf-huruf yang kedua diberikan satu titik di atasnya (al-i’jam).
b. untuk pasangan سsin dan ش syin, huruf pertama diabaikan tanpa titik satupun, sedangkan huruf kedua (syin) diberikan tiga titik. Ini disebabkan karena huruf ini memiliki tiga ‘gigi’, dan pemberian satu titik saja diatasnya akan menyebabkan ia sama dengan huruf nun. Pertimbangan yang sama juga menyebabkan pemberian titik berbeda pada huruf-huruf ب ba’, ت ta, ث tsa, ن nun, dan يya’.
c. untuk rangkaian huruf جjim, حha’, dan خkha’, huruf pertama dan ketiga diberi titik, sedangkan yang kedua diabaikan.

[19] Nama lengkapnya adalah Nashr bin ‘Ashim al-Laitsy al-Nahwy. Dikenal juga sebagai Nashr al-Huruf. Termasuk tabi’in generasi awal, juga seorang faqih yang menguasai ilmu Nahwu. Berguru pada Abu al-Aswad al-Du’aly dalam ilmu al-Qur’an dan Nahwu. Meninggal tahun 100 H. Lih. Al-A’lam, 8/343.
[20] Nama lengkapnya adalah Abu Sa’id Yahya bin Ya’mar al-Qaisy al-‘Adawany. Seorang tabi’in. Ia termasuk yang berpandangan lebih mengutamakan Ahlul bait tapi tanpa merendahkan sahabat-sahabat Nabi yang lain. Seorang alim dalam al-Qur’an dan Nahwu. Meninggal tahun 90 H. Lih. Al-A’lam, 9/225.
[21] Wafayat al-A’yan, 2/32.
[22] Nuqath al-Mushaf al-Syarif, hal. 2

d. sedangkan pasangan فfa’ dan ق qaf, seharusnya jika mengikuti aturan sebelumnya, maka yang pertama diabaikan dan yang kedua diberikan satu titik diatasnya. Hanya saja kaum muslimin di wilayah Timur Islam lebih cenderung memberi satu titik atas untuk fa’ dan dua titik atas untuk qaf. Berbeda dengan kaum muslimin yang berada di wilayah Barat Islam (Maghrib), mereka memberikan satu titik bawah untuk fa’, dan satu titik atas untuk qaf. [23]
Nuqath al-I’jam atau tanda titik ini pada mulanya berbentuk lingkaran, lalu berkembang menjadi bentuk kubus, lalu lingkaran yang berlobang bagian tengahnya.[24] Tanda titik ini ditulis dengan warna yang sama dengan huruf, agar tidak sama dan dapat dibedakan dengan tanda harakat (nuqath al-i’rab) yang umumnya berwarna merah. Dan tradisi ini terus berlangsung hingga akhir kekuasaan Khilafah Umawiyah dan berdirinya Khilafah ‘Abbasiyah pada tahun 132 H. Pada masa ini, banyak terjadi kreasi dalam penggunaan warna untuk tanda-tanda baca dalam mushaf. Di Madinah, mereka menggunakan tinta hitam untuk huruf dan nuqath al-i’jam, dan tinta merah untuk harakat. di Andalusia, mereka menggunakan empat warna: hitam untuk huruf, merah untuk harakat, kuning untuk hamzah, dan hijau untuk hamzah al-washl. Bahkan ada sebagian mushaf pribadi yang menggunakan warna berbeda untuk membedakan jenis i’rab sebuah kata. Tetapi semuanya hampir sepakat untuk menggunakan tinta hitam untuk huruf dan nuqath al-i’jam, meski berbeda untuk yang lainnya.[25]
Akhirnya, naskah-naskah mushaf pun berwarna-warni. Tapi di sini muncul lagi sebuah masalah. Seperti telah dijelaskan, baik nuqath al-i’rab maupun nuqath al-i’jam, keduanya ditulis dalam bentuk yang sama, yaitu melingkar. Hal ini rupanya menjadi sumber kebingungan baru dalam membedakan antara satu huruf dengan huruf lainnya. Di sinilah sejarah mencatat peran Khalil bin Ahmad al-Farahidy (w.170 H). Ia kemudian menetapkan bentuk fathah dengan huruf alif kecil yang terlentang diletakkan di atas huruf, kasrah dengan bentuk huruf ya’ kecil dibawahnya dan dhammah dengan bentuk huruf waw kecil diatasnya. Sedangkan tanwin dibentuk dengan mendoublekan penulisan masing-masing tanda tersebut. Disamping beberapa tanda lain.[26]
Al-Daly mengatakan:
“Dengan demikian, Khalil (al-Farahidy) telah meletakkan 8 tanda: fathah, dhammah, kasrah, sukun, tasydid, mad, shilah, dan hamzah. Dengan metode ini, sangat memungkinkan untuk menulis huruf, i’jam (tanda titik huruf), dan syakl (harakat) dengan warna yang sama.” [27]



[23] Shubh al-A’sya, 3/152-155, dan Qishshah al-Nuqath wa al-Syakl, hal. 72-86.
[24] Ibid. hal. 80
[25] Ibid. hal. 82-85
[26] Nuqath al-Mushaf al-Syarif, hal.3
[27] Al-Khaththatah; al-Kitabah al-‘Arabiyyah, hal. 62.



Terkait dengan hal ini, ada suatu fakta sejarah yang unik. Yaitu bahwa tanda titik (nuqath al-i’jam) ternyata telah dikenal dalam tradisi Bahasa Arab kuno pra Islam atau setidaknya pada masa awal Islam sebelum mushaf ‘Utsmani ditulis. Ada beberapa penemuan kuno yang menunjukkan hal tersebut, antara lain[28]:
1. Batu nisan Raqusy (di Mada’in Shaleh), sebuah inskripsi Arab sebelum Islam yang tertua. Diduga ditulis pada tahun 267 M. Batu nisan ini mencatat adanya tanda titik di atas huruf dal, ra’ dan syin.
Menyikapi batu nisan Raqusy ini, para peneliti Barat dapat dikatakan berbeda pandangan. Cantineau dan Gruendler menganggapnya sebagai teks Nabatean (al-Nabth), tapi mengakuinya sebagai teks yang sangat bernilai untuk para peneliti Arab. O’Conner menyebutnya sebagai gabungan acak antara Nabatean dan Arab. Sedangkan Healy dan Smith (1989) dengan yakin menyebutnya sebagai dokumentasi Arab tertua.[29] Tetapi pertanyaannya adalah siapakah Nabatean itu sesungguhnya?
Kita mengetahui bahwa Ismail a.s. –putra tertua Nabi Ibrahim a.s.- tumbuh dan besar di kota Mekkah. Tepatnya di tengah komunitas suku Jurhum. Suku ini sendiri berbahasa Arab. Ismail sendiri dikaruniai 12 putra, diantaranya adalah Nabat (Nebajoth). Mereka semua dilahirkan dan dididik di sekitar Jazirah Arab yang logisnya menggunakan Bahasa Arab sebagai bahasa mereka. Ketika Nabat kemudian berhijrah ke utara Jazirah Arab (wilayah Syam), semestinya ia membawa serta alphabet dan Bahasa Arab bersamanya. Keturunannya-lah yang kemudian mendirikan Dinasti Nabatean sekitar 600 SM hingga 50 M.[30] Gruendler sendiri mengakui bahwa para penulis teks Nabatean berbahasa Arab.[31]
Jadi sebenarnya Nabatean adalah bagian dari bangsa dan tradisi Arab itu sendiri. Sehingga apabila fakta bahwa mereka berasal dari keturunan bangsa Arab (Ismail) dan mereka pun berbahasa Arab, maka membedakan antara Bahasa Arab dan Nabatean adalah sebuah kesalahan yang dipaksakan. Dalam hal ini, al-A’zhamy mengomentarinya dengan mengatakan,
“Jika orang Nabatean berbicara dalam Bahasa Arab, lantas siapakah yang memberinya nama Bahasa Nabatean? Apakah ada bukti bahwa mereka menyebut bahasa mereka sebagai Bahasa Nabatean? Atau mungkin ini diambil dari kecenderungan yang sama dalam memberi label kepada umat Islam sebagai ‘Muhammadan’ (pengikut Muhammad), Islam sebagai ‘Muhammadanism’ (ajaran Muhammad), dan al-Qur’an sebagai ‘Turkish Bible’ (Bible orang Turki)?”[32]




[28] Lih. The History of The Qur’anic Text, hal. 151-153.
[29] Ibid, hal.133-134.
[30] The History of The Qur’anic Text, hal. 134-135. Lih. juga Tathawwur al-Kitabah al-‘Arabiyyah, hal. 1
[31] The Development of The Arabic Script, hal. 125, sebagaimana dalam The History of The Qur’anic Text, hal. 135.
[32] The History of The Qur’anic Text, hal. 135.


2. Dokumentasi dalam dua bahasa di atas kertas papyrus, tahun 22 H (sekarang disimpan di Perpustakaan Nasional Austria). Dokumentasi ini menunjukkan penggunaan titik untuk huruf nun, kha, dzal, syin, dan zay.
Ditambah dengan beberapa temuan lainnya, setidaknya hingga tahun 58 H. Terdapat 10 karakter huruf yang diberi tanda titik, yaitu: nun, kha, dzal, syin, zay, ya, ba, tsa, fa, dan ta.[33] Sehingga tepatlah jika disimpulkan bahwa apa yang dilakukan oleh Nashr bin ‘Ashim dan Yahya bin Ya’mar adalah sebuah upaya menghidupkan kembali tradisi itu dengan beberapa inovasi baru yang disesuaikan dengan kebutuhan. Wallahu a’lam.

Antara Rasm ‘Utsmani dan Rasm Imla’i
Sebagaimana yang diketahui, bahwa cara penulisan (rasm) yang terdapat dalam mushaf ‘Utsmany berbeda dan tidak sama dengan cara penulisan yang umum digunakan dalam aturan-aturan imla’ Bahasa Arab. Karena itu para ulama membagi metode penulisan huruf Arab menjadi 2 jenis: rasm ‘Utsmany dan rasm imla’i. Jenis yang pertama khusus digunakan untuk penulisan ayat al-Qur’an sesuai dengan mushaf ‘Utsmany. Sedangkan yang kedua adalah aturan baku yang umum digunakan untuk penulisan kata-kata Arab sebagaimana ia diucapkan.[34]
Untuk keperluan ini, para ulama al-Qur’an kemudian menyusun sebuah ilmu yang dikenal dengan nama ilmu Rasm al-Qur’an. Diantara karya yang mengulas ilmu ini adalah al-Muqni’ karya Abu ‘Amr al-Dany dan al-Tanzil karya Abu Dawud Sulaiman bin Najah. Berikut ini beberapa sisi penting perbedaan rasm ‘Utsmany dengan rasm imla’i[35]:
1. Penghapusan alif, waw, atau ya’. Ketiga kata ini jika ditulis berdasarkan rasm imla’i adalah: العالمين, الغاوون, النبيين
2. Penambahan alif, waw, dan ya’. Seperti yang terdapat pada ayat: ƒòv÷N†Y–Wè (Az-Zumar:69), yRÑÿX¤OèKR†Wª (al-A’raf:145), dan xŸO~T`TÿVK†YŠ (al-Dzariyat: 47). Ketiga kata ini jika ditulis berdasarkan rasm imla’i adalah: وجيء, سأريكم, بأيد
3. Pemisahan dan penyambungan. Artinya ada kata seharusnya secara imla’ disambung, namun dipisahkan dalam rasm ‘Utsmany. Begitu pula sebaliknya, ada yang seharusnya dipisah namun disambungkan dalam rasm ‘Utsmany. Seperti yang terdapat dalam ayat: †QWÙWÆ (al-Baqarah: 74) dan كل ما.(al-Nisa’:91). Kedua kata ini jika ditulis dalam rasm imla’i adalah: عن ما, كلما
Penulisan al-Qur’an berdasarkan rasm ‘Utsmany memiliki banyak hikmah –sebagaimana disebutkan oleh para ulama qira’at-.[36] Tapi salah satu yang terpenting adalah dengan metode ini ragam qira’at yang berbeda dapat terwakili dalam mushaf ‘Utsmany. Sebagaimana yang akan dijelaskan nanti.
[33] Ibid, hal. 154.
[34] Lih. Al-Khat al-Qur’any wa al-Khat al-Imla’iy, hal. 1
[35] Ibid. hal. 1-2
[36] Lih. Al-Qur’an dan Qiroat, hal. 68-69

Tidak dapat dipungkiri, bahwa ada upaya untuk mengganti sistem rasm ‘Utsmany dengan sistem imla’ yang umum berlaku. Dengan alasan bahwa itu akan lebih memudahkan pembacaan.[37] Meskipun ini kemudian terbantahkan dengan dasar bahwa metode inilah yang digunakan oleh para sahabat menuliskan al-Qur’an di hadapan Rasulullah saw. Karena itu ia kemudian bersifat tauqifiyah.[38] Adapun jika alasannya adalah untuk memudahkan pembacaan, maka itu terbantahkan dengan kenyataan bahwa sejauh ini –sejak 1400 tahun lamanya-, hampir tidak ada masalah berarti di tengah kaum muslimin dalam membaca al-Qur’an, kecuali yang memang tidak punya keinginan untuk mempelajari bacaannya. Lagi pula –kata al-A’zhamy-, “Apakah mereka percaya bahwa setelah beberapa abad nanti, orang-orang lain tidak akan melontarkan kecaman bahwa karya mereka (penulisan al-Qur’an tanpa ‘rasm ‘Utsmany’ –pen) juga adalah usaha yang dilakukan oleh orang-orang jahil buta huruf?”[39]


Perbedaan Qira’at dalam Membaca al-Qur’an
“Apakah ragam qira’at muncul akibat karakteristik rasm ‘utsmany atau ia telah ada jauh sebelum itu?” Ini adalah sebuah pertanyaan lain yang juga mengusik kalangan peneliti al-Qur’an, terutama sebagian kalangan orientalis. Salah satunya adalah Goldziher dalam bukunya Madzahib al-Tafsir al-Islamy. Salah satu teori yang ia kemukakan adalah bahwa perbedaan qira’at itu muncul karena karakteristik rasm ‘Utsmany yang memang ‘bermasalah’ –tanpa titik dan harakat-, sehingga membuka peluang untuk hal itu. Teori ini kemudian dijawab oleh beberapa ahli al-Qur’an muslim, salah satunya adalah Syekh Abd al-Fattah Abd al-Ghany al-Qadhy[40] yang menyusun buku kecil berjudul Al-Qira’at fi Nazhar al-Mustasyriqin wa al-Mulhidin. Berikut ini adalah ikhtisar jawaban Syekh Abd al-Fattah terhadap teori Goldziher:
Goldziher –menurut al-Qadhy- nampaknya bermasalah dengan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya variasi qira’at dalam al-Qur’an. Goldziher –misalnya- menganggap adanya variasi qira’at itu sebagai bukti yang menunjukkan bahwa al-Qur’an adalah satu-satunya teks wahyu yang dipenuhi dengan ketidakjelasan (idhthirab) dan ketidakkonsistenan (‘adam ats-tsabat).[41]
Kesimpulan ini tentu saja dibantah oleh al-Qadhy. Ia menyatakan bahwa ketidakjelasan dan ketidakkonsistenan itu bermakna bahwa teks-teks al-Qur’an dengan segala varian qira’atnya saling bertentangan, tidak dapat dipahami maknanya dengan jelas, dan tidak dapat dibuktikan mana yang valid (tsabit) dan yang tidak. Padahal perbedaan qira’at dalam al-Qur’an, bila diteliti dari yang mutawatir, masyhur dan shahihnya, tidak akan lepas dari 2 kategori berikut:

[37] Lih. Al-Qur’an Antara Fakta dan Fiksi, hal. 1-5.
[38] Lih. Al-Qur’an dan Qiroat, hal. 60
[39] The History of The Qur’anic Text, hal. 165.
[40] Beliau pernah menjabat sebagai Ketua jurusan qira’at pada Universitas Islam Madinah dan Ketua Lajnah Pentashhih Mushhaf di Mesir.
[41] Madzahib At-Tafsir Al-Islamy, hal.5, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qira’at fi Nazhar Al-Mustasyriqin, hal. 9

a. Qira’at itu berbeda lafazh, namun bermakna sama. Seperti:
“Tunjukkanlah kepada kami jalan yang lurus.”
Dalam qira’at yang lain, kata yang digarisbawahi dibaca dengan huruf sin, namun dengan makna yang tidak berbeda.
b. Qira’at itu berbeda baik dari segi lafazh dan makna, namun kedua makna itu tidak saling bertentangan. Sebagai contoh adalah
“Dan lihatlah tulang belulang itu, bagaimana Kami menyatukannya, lalu menutupinya dengan daging.”
Dalam qira’at yang lain, huruf zay pada kata yang digarisbawahi diganti dengan syin (ننشرها) dengan harakat yang sama, yang berarti “Kami membangkitkannya (setelah mati)”. Bila diperhatikan, meskipun kedua qira’at ini berbeda, namun sama sekali tidak ada pertentangan. Sebab bila Allah berkehendak untuk membangkitkan makhluq, maka Ia akan menyatukan tulang-belulangnya, lalu menghidupkannya kembali. [42]
Dengan demikian, perbedaan qira’at yang terdapat dalam al-Qur’an dapat dikategorikan dalam apa yang disebut oleh para ulama dengan ikhtilaf tanawwu’ (perbedaan yang bersifat variatif) dan bukan ikhtilaf tadharub.[43] Atau dengan kata lain perbedaan yang terjadi dapat dijelaskan dan diarahkan kepada pengertian yang tepat.
Hal lain yang diangkat oleh Goldziher dan dikritisi oleh al-Qadhy adalah kesimpulannya yang menyebutkan salah satu penyebab utama terjadinya perbedaan qira’at al-Qur’an kembali pada karakter asal huruf Arab yang digunakan dalam penulisan Mushaf ‘Utsmany. Karakter asal itu adalah ketiadaan titik dan tanda baca (harakat) yang dapat membedakan satu huruf dengan huruf yang lain, baik dari segi pembacaan maupun kedudukannya dalam kalimat (i‘rab). Hal ini yang kemudian –menurut Goldziher- menyebabkan lahirnya berbagai kemungkinan variasi dalam qira’at. Sehingga variasi qira’at itu tidak lebih dari sekedar ijtihad dan pilihan para qurra’, dan tidak didasarkan pada periwayatan dari Rasulullah saw. Dan untuk membuktikan kesimpulannya itu, ia mencontohkannya dengan beberapa ayat al-Qur’an.[44]
Al-Qadhy kemudian memberikan catatan kritisnya terhadap masalah ini. Menurutnya, kesimpulan ini sama sekali tidak benar berdasarkan hal-hal berikut:
Pertama, Sejarah Islam telah mencatat dan membuktikan, bahwa al-Qur’an –dengan semua riwayat dan varian qira’atnya- telah “terpelihara” di tangan para sahabat Nabi jauh sebelum al-Qur’an itu kemudian dibukukan di masa kekhalifaan Umar r.a. Itu artinya sebelum al-Qur’an tertuang dan tertulis dengan rasm ‘utsmany, perbedaan qira’at itu sudah ada. Rasm ‘utsmany kemudian hanya berupaya menampung semua perbedaan qira’at yang telah ada sebelumnya. Tidak hanya itu, riwayat dan varian qira’at itu sendiri telah tersebar dan “digunakan” di berbagai wilayah Islam sejak masa Rasulullah saw.[45]
[42] Ibid., hal. 11-14
[43] Ibid., hal. 14
[44] Madzahib al-Tafsir al-Islamy, hal. 8, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qira’at fi Nazhar al-Mustasyriqin, hal. 18 dan hal. 23.
[45] Ibid., hal. 24.


Kedua, Ketika Mushaf ‘Utsmany selesai ditulis, Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan r.a tidak cukup hanya mengirim beberapa eksemplar mushaf tersebut ke berbagai wilayah Islam. Namun bersama dengan itu, beliau mengirim pula para ahli al-Qur’an untuk mengajarkan cara membacanya sebagaimana yang mereka terima dari Rasulullah saw. Tujuan utamanya untuk mencegah kemungkinan ada orang yang membacanya tidak sebagaimana yang diajarkan Rasulullah, hanya karena menganggap bacaannya itu sesuai atau mungkin dibaca berdasarkan rasm ‘utsmany. Ini menunjukkan bahwa varian qira’at sepenuhnya didasarkan pada riwayat dan talaqqi.[46]
Ketiga, Jika karakter asal huruf Arab itulah yang menjadi satu-satunya sebab munculnya varian qira’at, maka tentu qira’at apapun yang shahih dan memungkinkan untuk dibaca berdasarkan rasm ‘utsmany adalah qira’at yang legal secara syar’i. Namun kenyataannya tidak demikian. Lagi-lagi riwayat adalah tulang punggung utama dalam menentukan keabsahan sebuah qira’at. Sebagai contoh misalnya, Firman Allah Ta’ala:
]
Kata ملك dalam ketiga ayat ini memiliki bentuk tulisan yang sama, yaitu huruf mim tanpa alif sesudahnya. Akan tetapi para qurra’ ternyata hanya berbeda saat membaca ayat pertama (al-Fatihah: 4). Ada yang membaca dengan pendek (tanpa alif setelah mim), dan ada pula yang membaca panjang (dengan alif setelah mim). Sementara untuk ayat kedua (Ali Imran: 26), mereka sepakat untuk membacanya panjang (dengan alif setelah mim). Dan untuk ayat ketiga (al-Nas: 2), mereka sepakat untuk membacanya pendek (tanpa alif setelah mim). Mengapa “kasus ayat pertama” tidak terulang pada kedua ayat ini? Bukankah baik bacaan panjang maupun pendek pada mim di kedua ayat terakhir ini sangat memungkinkan bila ditinjau dari sudut rasm ‘utsmany? Ini menunjukkan bahwa baik kesepakatan mereka untuk berbeda pada ayat pertama dan sepakat pada kedua ayat selanjutnya sepenuhnya berdasarkan riwayat dari Rasulullah saw. [47]
Keempat, Dalam deretan para qurra’ yang sepuluh (al-Qurra’ al-‘Asyarah), terdapat para ulama ahli bahasa Arab yang telah mencapai puncak keahlian di dalamnya. Tidak hanya itu, mereka bahkan memiliki madzhab tersendiri dalam ilmu Nahwu dan menjadi tujuan utama para pengkaji ilmu tersebut. Namun ternyata, dalam hal qira’at al-Qur’an, mereka tidak berani melampaui dan berkreasi melebihi apa yang telah diriwayatkan kepada mereka.
Di antara mereka adalah Imam Abu ‘Amr bin al-‘Ala’ al-Bashry (w. 154H). al-Ashma’iy (w. 828M) mengatakan, “Abu ‘Amr mengatakan padaku, ‘Seandainya aku tidak harus membaca (al-Qur’an) sebagaimana ia dibaca, maka niscaya aku akan membaca seperti ini pada huruf yang ini dan yang ini…’”. Sebuah ungkapan yang menunjukkan bahwa Abu ‘Amr “rela” menyelisihi madzhabnya sendiri dalam ilmu Nahwu demi mengikuti atsar dan riwayat.[48]
[46] Ibid., hal. 42-43.
[47] Ibid., hal. 43-47.
[48] Ibid., hal. 77.


Demikian beberapa jawaban al-Qadhy terhadap kesimpulan Goldziher terkait dengan sebab kemunculan varian qira’at Al-Qur’an. Seperti telah disinggung sebelumnya, bahwa ketika mengangkat hal ini, Goldziher juga menyertakan contoh ayat-ayat yang dianggapnya sebagai bukti kebenaran kesimpulannya itu. Diantaranya surat al-A’raf, ayat
Menurut Goldziher, sebagian ahli qira’at membaca dengan mengganti huruf ba’ pada kata yang digarisbawahi dengan huruf tsa’, sehingga menjadi تستكثرون . Namun pernyataan ini dibantah oleh al-Qadhy. Ia mengatakan,
Tidak ada satupun yang membaca dengan menggunakan huruf tsa’ sebagai ganti huruf ba’; baik itu dari kalangan al-Qurra’ al-‘Asyarah, juga tidak ada seorang pun dari empat qurra’ tambahan lainnya. Sehingga (qira’at yang disebutkan Goldziher ini –pen) tidak termasuk dalam kategori qira’ah yang mutawatir, masyhurah, shahihah atau syadz. Ia tidak lebih dari sebuah qira’at yang tertolak. Tidak ada seorang pun ulama qira’at yang memperdulikan dan bersandar padanya…
Cukuplah sebagai bukti kemunkarannya bahwa ia tidak disandarkan kepada qari’ (baca: ahli qira’at) tertentu. Tidak pula pada perawi tertentu. Ini adalah bukti paling jelas yang menunjukkan bahwa yang menjadi pijakan dalam qira’at adalah naqli dan sanad, bukan rasm dan khat.[49]

Dari 5 contoh yang diangkat oleh Goldziher –terkait dengan kesimpulannya ini-, menurut al-Qadhy dua di antaranya memang benar sebagai varian qira’at yang tsabit (seperti yang terdapat dalam surah al-Nisa’: 94), namun –sekali lagi- munculnya varian itu tidak bertitik tolak pada rasm Al-Qur’an, tetapi semata-mata karena berasal dari jalur periwayatan yang shahih.
Kesimpulan Goldziher lainya yang dibantah oleh al-Qadhy adalah yang menyatakan bahwa pemahaman seorang penafsir klasik terhadap sebuah ayat juga turut berperan dalam lahirnya sebuah varian qira’at. Sebagai contoh –menurut Goldziher- adalah apa yang dilakukan oleh Qatadah al-Bashry (w. 117H) ketika membaca ayat 54 dalam surah al-Baqarah::
Qatadah memandang bahwa hukuman “bunuh diri” dalam ayat ini terlalu ekstrim dan tidak sesuai dengan kadar kesalahan yang dilakukan oleh Bani Israil. Maka ia pun –menurut Goldziher- memindahkan 2 titik yang terdapat pada huruf ta’ dari atas ke bawah, sehingga berubah menjadi huruf ya’. Lahirlah varian qira’at baru yang berbunyi فأقيلوا أنفسكم , yang berarti “maka bertaubatlah sungguh-sungguh dengan menyesali kesalahan yang telah dilakukan.”
Al-Qadhy membantah hal ini dengan –sekali lagi- menegaskan bahwa dasar pemunculan varian qira’at sama sekali tidak berangkat dari “terbukanya” rasm ‘utsmany untuk kemungkinan bacaan tertentu. Di samping itu –menurut al-Qadhy-, qira’at Qatadah ini tidak pernah dinukil oleh para qurra’ yang diakui, tidak memiliki sanad yang dapat diandalkan, dan Qatadah al-Bashry sendiri tidak diletakkan dalam barisan para qurra’ serta tidak ada satupun qira’at yang dinisbatkan kepadanya, kecuali apa yang disebutkan Goldziher ini.
Penjelasan ini semakin dikuatkan oleh Al-Qadhy dengan menyatakan,
Dari Qatadah sendiri telah dinukilkan bahwa ia menafsirkan ayat ini dengan tafsir yang justru menyelisihi qira’atnya itu. Syeikh al-Mufassirin Imam Ibn Jarir al-Thabary menyebutkan dalam tafsirnya, bahwa Qatadah menafsirkan ayat ini dengan mengatakan: ‘Mereka berdiri dalam dua barisan shaf, lalu saling membunuh satu sama lain, hingga dikatakan pada mereka untuk berhenti. Maka (pembunuhan) itu menjadi kesyahidan bagi yang terbunuh, dan taubat bagi yang masih hidup.’
Ibnu Katsir menyebutkan dalam Tafsirnya: ‘Qatadah mengatakan: ‘(Allah) memerintahkan kaum itu (Bani Israil) dengan perintah yang sangat berat. Maka mereka pun berdiri saling membunuh senjata tajam, hingga Allah menuntaskan hukumannya pada mereka. Lalu berjatuhanlah senjata itu dari tangan mereka, Allah pun menghentikan pembunuhan itu dari mereka. Maka (pembunuhan) itu menjadi taubat bagi yang hidup, dan kesyahidan bagi yang mati.[50]

Ini menunjukkan bahwa Qatadah sendiri memahami bahwa “perintah bunuh diri” dalam ayat ini adalah “saling membunuh” yang sesungguhnya, dan bukan ‘sekedar’ sebuah penyesalan. al-Qadhy bahkan hampir memastikan bahwa qira’at ini adalah sesuatu yang ‘disusupkan’ kepada Qatadah.[51]
Kesimpulan dari ini semua adalah bahwa perbedaan qira’at sepenuhnya bertumpu pada riwayat (baca: wahyu), dan bukan merupakan hasil penyesuain terhadap karakter rasm ‘ustmany. Rasm ‘utsmany justru disusun dengan karakternya yang khas untuk mengakomodir ragam qira’at tersebut.

Apakah Al-Hajjaj bin Yusuf (w. 95 H) Melakukan Perubahan Terhadap Al-Qur’an?
Ini adalah tuduhan klasik yang ditujukan kepada al-Hajjaj bin Yusuf. Ia dituduh telah melakukan perubahan dan membuang beberapa huruf mushaf ‘Utsmany, bahwa ia menulis 6 mushaf yang kemudian dikirim ke berbagai wilayah, lalu mengumpulkan semua mushaf tua kemudian melenyapkannya, dan bahwa semua itu ia lakukan demi mencari muka dengan cara meneguhkan Khilafah Umawiyah.[52] Salah satu yang menjadi pegangan tuduhan ini adalah riwayat ‘Auf bin Abi Jamilah yang menyebutkan bahwa al-Hajjaj telah mengubah 11 huruf dalam mushaf ‘Utsmany, diantaranya : $`ãTPVÞW©WWTÿ ØVÖ (al-Baqarah: 259) dan &†_TT–†Wä`ÞTYÚWè àWÆó£Y® (al-Ma’idah:48).
Tuduhan ini sebenarnya sangat tidak berdasar. Dan para ulama telah memberikan jawabannya sebagai berikut:
1. Riwayat-riwayat yang dijadikan landasan tuduhan ini sangat lemah. Atsar yang diriwayatkan oleh ‘Auf bin Abi Jamilah ini misalnya dha’if jiddan (lemah sekali). Salah satu perawinya adalah ‘Abbad bin Shuhaib. Ia seorang yang matruk, haditsnya lemah dan salah seorang da’i qadariyah. Ditambah lagi ‘Auf bin Abi Jamilah –meskipun ia seorang yang tsiqah-, namun ia tertuduh qadariyah dan tasyayyu’. Dan seperti yang kita lihat, riwayat ini terkesan menyudutkan Khilafah Umawiyah, dan justru menguatkan tuduhan kaum Syi’ah bahwa al-Qur’an telah mengalami penyimpangan.
2. Al-Hajjaj hanyalah seorang gubernur di sebuah kota Islam. Sangat tidak logis jika ia mampu melakukan sebuah “revolusi” sedahsyat ini tanpa mendapatkan penentangan, baik dari atasannya maupun para ulama Islam.
3. Seandainya pun al-Hajjaj mampu melakukan itu dengan kekuasaannya, tapi sangat mustahil ia dapat menundukkan hati ribuan penghafal al-Qur’an dan mengapus hafalan yang telah terukir di hati mereka.
4. Dalam perubahan yang dituduhkan pada al-Hajjaj itu, tidak ada satupun yang menunjukkan dukungan terhadap Bani Umayyah dan pembatalan terhadap Khilafah Abbasiyah.[53]
Satu hal yang juga patut dicatat, bahwa al-Hajjaj dengan segala kezhalimannya tercatat dalam sejarah sebagai salah seorang pemimpin yang sangat keras perhatiannya terhadap mushaf ‘Utsmany. Ia bahkan menyuruh ‘Ashim al-Jahdary, Najiyah bin Rumh, dan ‘Ali bin Ashma’ untuk meneliti mushaf yang tersebar di tengah masyarakat. Jika mereka menemukan mushaf yang menyelisihi mushaf ‘Utsmany, maka mereka mengambilnya dan menggantinya dengan 60 dirham untuk pemiliknya.[54]

Masih Adakah Manuskrip al-Mushaf al-Imam?
Yang dimaksud oleh pertanyaan ini adalah apakah dari sekian naskah mushaf ‘Utsmany yang disiapkan oleh Khalifah ‘Utsman dan timnya masih ada yang tersisa hingga saat ini? Persoalan ini telah lama menjadi pertanyaan dan karena itu pula ada banyak dugaan yang berkitar di sekelilingnya. Salah seorang peneliti yang menjelaskan masalah ini dengan panjang lebar adalah DR. Sahar al-Sayyid dalam makalahnya yang berjudul “Adhwa’ ‘ala Mushaf ‘Utsman Radhiyallahu ‘Anhu wa Rihlatuhu Syarqan wa Gharban”.
Dalam makalah tersebut, beliau menjelaskan bahwa persoalan ini bermula dari keberadaan mushaf yang dahulu dipegang oleh Khalifah ‘Utsman hingga beliau menemui syahidnya, dimana pada beberapa lembaran mushaf itu ditemukan noda darah beliau r.a. saat terbunuh. Mushaf ini kemudian tetap berada di Madinah selama beberapa waktu setelah terbunuhnya ‘Utsman. Lalu kemudian menghilang entah ke mana, hingga kemudian beberapa mesjid di wilayah Islam mengaku menyimpan mushaf tersebut.
Dr. Sahar al-Sayyid menyebutkan 5 tempat yang mengaku menyimpan mushaf tersebut –dan ia juga sekaligus membantah kebenaran klaim tersebut secara panjang lebar[55]-:
1. bahwa mushaf tersimpan di Mesir.
2. bahwa mushaf ini tersimpan di Bashrah
3. bahwa mushaf ini ada di Tashkend
4. bahwa mushaf ini ada di Himsh (Suriah)
5. bahwa mushaf ini tersimpan di Museum Topkapi, Istanbul.
Setelah membantah klaim keberadaan mushaf ini, ia kemudian menyatakan,
“Saya kira untuk menyingkap kekaburan yang menyelimuti mushaf ‘Utsman al-Imam adalah mushaf yang mulanya tersimpan di Jami’ Cordova itu bukanlah mushaf utuh yang dahulu dibaca ‘Utsman pada hari kematiannya. Ia hanya mengandungi 4 lembar saja (dari naskah aslinya –pen). Adapun lembaran-lembaran lainnya, maka ia adalah hasil transkrip yang sama dengan sistem mushaf ‘Utsmany...”[56]

Lalu ia kemudian menggambarkan perpindahan mushaf itu dari satu tempat ke tempat lain, hingga akhirnya tidak terdengar kabarnya sejak tahun 745 H –ketika mushaf itu dikembalikan oleh Portugal kepada Sultan al-Mariny di Fas. Meskipun ada yang bersikeras dengan keberadaan mushaf ini, namun DR. Ghanim Qaduri menguatkan pandangan bahwa sudah sangat sulit saat ini untuk menemukan naskah utuh dari mushaf yang ditulis pada abad pertama atau kedua hijriyah. Dan itu semua membutuhkan bukti materil yang kuat dan penelitian dari berbagai sudut.[57]
Tetapi terlepas dari itu semua, ada atau tidaknya naskah manuskrip al-mushaf al-imam ini sama sekali tidak mempengaruhi orisinalitas al-Qur’an, karena landasan utama penukilan al-Qur’an adalah riwayat dan talaqqi dari generasi ke generasi; sebuah metode yang dari zaman ke zaman telah membuktikan bahwa ia tidak akan membiarkan satupun kesalahan yang menyimpang dari mushaf ‘Utsmany.

PENULISAN AL-QUR’AN PASCA PENEMUAN MESIN CETAK
PADA TAHUN 1436 M (840 H)

Tidak dapat dipungkiri bahwa penemuan mesin cetak oleh Johannes Guttenberg pada tahun 1436 M (840 H) menjadi awal baru yang cemerlang bagi penyebaran ilmu, budaya dan peradaban. Meskipun pada mulanya, Guttenberg sangat merahasiakan penemuannya ini, namun dengan cepatnya penemuan ini menyebar ke berbagai wilayah Eropa lainnya di luar Jerman, negara asal Guttenberg. Tidak lama setelah itu, pada tahun 1465, mesin yang sama muncul di Roma, pada tahun 1470 di Paris, pada tahun 1471 di Barcelona, dan pada tahun 1474 di Inggris.[58] Dan pada tahun 1486 M, ditemukanlah mesin cetak pertama dengan menggunakan huruf Arab.[59]
Adapun di wilayah Timur (Islam dan Arab), maka sejarah mencatat bahwa Turki merupakan negara yang pertama kali menerima teknologi ini. Diduga teknologi ini masuk bersama dengan masuknya imigran Yahudi ke wilayah Khilafah ‘Utsmaniyah. Dalam imigrasi itu mereka membawa serta mesin cetak untuk beberapa bahasa: Ibrani, Yunani, Latin dan Spanyol. Ini terjadi sekitar tahun 1551 M.
Sedangkan di wilayah Arab lainnya, pemunculan mesin cetak dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. di Lebanon, mesin cetak mulai dikenal pada tahun 1610.
2. di Suria, mesin cetak mulai dikenal pada tahun 1706.
3. di Palestina dan Yordania pada tahun 1830. Di Irak juga mesin ini mulai dikenal pada tahun yang sama.
4. di Mesir, pemunculan mesin cetak sangat terkait dengan invasi Napoleon Bonaparte terhadap Mesir pada tahun 1798.
5. sedangkan di kawasan Jazirah Arabia, negara pertama yang mengenal mesin cetak adalah Yaman, yaitu pada tahun 1879. Sedangkan di wilayah Hijaz (Saudi Arabia), teknologi ini mulai dikenal pada tahun 1909.[60]


Percetakan Al-Qur’an Pertama
Menurut DR. Yahya Mahmud Junaid[61], percetakan al-Qur’an pertama setidaknya dilakukan di tiga tempat di Eropa:
1. Venesia atau Roma pada kisaran tahun 1499 sampai 1538 M, terdapat perbedaan pandangan tentang hal ini. Termasuk juga siapa yang memimpin proyek ini. Tetapi yang pasti salah satu dari versi cetak ini ditemukan oleh Angela Novo di perpustakaan seorang pendeta di Bunduqiyah. Namun juga kemudian disepakati bahwa cetakan ini lalu dimusnahkan atas perintah Paus saat itu, dengan berbagai dugaan seputar motivasi pemusnahan itu.
2. Hamburg pada tahun 1694. Proyek percetakan ini dilakukan oleh seorang orientalis Jerman yang beraliran Protestan, Ebrahami Hincklmani. Ia menegaskan bahwa tujuannya menjalankan proyek ini bukan untuk menyebarkan ajaran Islam di kalangan orang Protestan, tapi untuk mempelajari Bahasa Arab dan Islam. Cetakan ini terdiri dari 560 halaman, dicetak dengan tinta hitam, namun sangat disayangkan memiliki banyak sekali kesalahan. Terdapat penggantian posisi huruf, hilangnya huruf tertentu dari satu kata, dan kesalahan lain terkait dengan penamaan surat. DR. Yahya menyebutkan bahwa cetakan ini masih tersimpan hingga kini di beberapa perpustakaan dunia, seperti Dar al-Kutub al-Mishriyyah dan Perpustakaan Universitas King Su’ud di Riyadh.
3. Batavia pada tahun 1698. Versi cetakan ini terdiri teks al-Qur’an itu sendiri, serta terjemah dan catatan komentar terhadapnya. Versi ini sendiri disiapkan oleh seorang pendeta Italia bernama Ludvico Marracei Lucersi. Cetakan ini memiliki kelebihan dari segi penggunaan jenis huruf yang lebih bagus dari 2 versi cetakan sebelumnya.
Pada tahun 1787, di Rusia –tepatnya di St. Pittsburg-, juga muncul cetakan mushaf al-Qur’an yang dipimpin oleh Maulaya ‘Utsman. Lalu di tahun 1848, muncul pula cetakan lain di Qazan yang dipimpin oleh Muhammad Syakir Murtadha. Cetakan ini terdiri dari 466 halaman. Versi ini juga komitmen menggunakan rasm ‘utsmany dan penggunaan tanda waqf, meski tidak mencantumkan nomor-nomor ayat. Versi ini juga disertai dengan lembar koreksi yang memuat kesalahan cetak dan koreksinya.
Pada tahun 1834, muncul sebuah cetakan khusus mushaf al-Qur’an di kota Luzig, yang diupayakan oleh Flugel. Di sini patut dicatat bahwa meskipun kalangan Eropa memiliki perhatian khusus dalam upaya percetakan mushaf al-Qur’an, namun hasil upaya ini belum mendapatkan perhatian kaum muslimin. Salah satu sebabnya adalah karena cetakan-cetakan tersebut menyelisihi kaidah rasm ‘utsmany yang shahih.
Beberapa cetakan mushaf di wilayah Islam yang juga pernah muncul ternyata sama saja. Seperti yang muncul di Teheran pada tahun 1828 dan 1833 M, juga di India dan Turki sejak tahun 1887; semuanya memiliki kesalahan yang sama dengan mushaf-mushaf versi Eropa, yaitu tidak mematuhi tata rasm ‘ustmany dan lebih banyak menggunakan rasm imla’iy.[62]
Kondisi terus berlanjut hingga tahun 1890 M, ketika sebuah percetakan bernama al-Mathba’ah al-Bahiyyah berdiri di Kairo. Percetakan ini kemudian mencetak sebuah mushaf yang ditulis oleh seorang ulama qiraat bernama Syekh Ridhwan bin Muhammad, yang lebih dikenal sebagai al-Mikhallalaty. Dalam mushaf ini, beliau komitmen dengan rasm ‘utsmany dan memberikan tanda waqf . Disamping itu, ia juga menuliskan pengantar yang memuat penjelasan tentang sejarah penulisan al-Qur’an dan rasm berdasarkan kitab al-Muqni’ karya Imam al-Dany dan kitab al-Tanzil karya Abu Dawud.
Mushaf versi ini kemudian dikenal dengan nama mushaf al-Mikhallalaty. Dan ia menjadi pilihan utama diantara semua jenis mushaf yang ada. Hanya saja kualitas kertas dan cetakannya agak buruk; suatu hal yang kemudian mendorong para ulama al-Azhar untuk membentuk panitia penulisan baru yang terdiri atas: Syekh Muhammad ‘Ali Khalaf al-Husainy, Syekh Hifny Nashif, Syekh Mushthafa ‘Inany dan Syekh Ahmad al-Iskandary. Cetakan pertama mushaf ini muncul pada tahun 1923 M, dan mendapatkan sambutan di dunia Islam.
Ketika cetakan pertama ini habis, di Mesir kembali dibentuk sebuah lajnah yang dipimpin langsung oleh Syeikhul Azhar dan beranggotakan: Syekh Abdul Fattah al-Qadhy, Syekh Muhammad ‘Ali al-Najjar, Syekh Ali Muhammad al-Dhabba’ dan Syekh ‘Abdul Halim Basyuni. Tim ini kemudian memeriksa ulang mushaf dengan merujuk kepada kitab-kitab qiraat, rasm, tafsir dan ulumul Qur’an. Setelah itu disiapkanlah cetakan kedua mushaf al-Qur’an dalam bentuk yang lebih teliti. Seiring dengan itu, usaha percetakan al-Qur’an pun berjalan di berbagai belahan dunia Islam.

Percetakan Mushaf di Saudi Arabia[63]
Percetakan mushaf di Saudi Arabia bermula pada tahun 1949, ketika sebuah edisi mushaf yang dikenal dengan nama Mushaf Makkah al-Mukkaramah dicetak oleh Syarikah Mushaf Makkah al-Mukarramah. Dengan modal awal 200.000 real, perusahaan ini mendatangkan sebuah mesin cetak dari Amerika untuk mencetak mushaf dengan berbagai ukuran. Selain itu, mereka juga telah bersepakat dengan seorang ahli khat ternama, Ustadz Muhammad Thahir al-Kurdy untuk menulis mushaf yang sesuai dengan kaidah rasm ‘utsmany.
Setelah al-Kurdy menyelesaikan tugasnya, draft mushaf itu kemudian diperiksa ulang oleh sebuah team ulama, seperti al-Sayyid Ahmad Hamid al-Tijy –seorang guru qiraat di Madrasah al-Falah, Mekkah-, Syekh ‘Abd al-Zhahir Abu al-Samh –imam dan khathib Masjidil Haram-, dan beberapa ulama lainnya. Setelah diperiksa oleh tim ini, draft tersebut kemudian dikirim kepada Masyikhah al-Azhar yang kemudian mengesahkan draft mushaf tersebut.
Setelah melewati proses penulisan dan koreksi selama 5 tahun, pada tahun 1947 dimulailah proses percetakan mushaf ukuran besar, yang kemudian diselesaikan pada akhir tahun 1949. Lalu setelah itu, dicetaklah mushaf dengan ragam ukuran lainnya.
Surat kabar Umm al-Qura edisi 19 Mei 1950 menyebutkan beberapa karakteristik mushaf ini, antara lain:
1. awal setiap halaman dimulai dengan ayat baru, dan akhir setiap halaman ditutup dengan akhir ayat pula.
2. permulaan juz dimulai dari awal halaman, dan akhir setiap juz juga diakhiri pada akhir halaman.
3. setiap juz terdiri dari 20 halaman, kecuali juz amma.
4. hizb, nisf hizb dan rubu’ hizb ditandai dengan tanda lengkungan bulan sabit.
Mushaf Makkah al-Mukarramah ini kemudian mendapatkan sambutan yang hangat, di Saudi bahkan di luar Saudi. Bahkan Raja Saudi waktu itu, Abd al-‘Aziz Al-Su’ud memberikan dukungan moril dan materil kepada para pelaksana proyek ini.
Tiga puluh tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1979, muncul pula mushaf edisi baru yang dicetak di kota Jeddah. Hingga akhirnya pada tahun 1984 (bertepatan dengan bulan Muharram 1405 H), pemerintah Kerajaan Arab Saudi resmi membuka sebuah percetakan al-Qur’an terbesar di dunia, tepatnya di kota Madinah al-Munawwarah. Kompleks percetakan ini berdiri di atas tanah seluas 250.000 meter persegi, dan tidak hanya mencakup kantor dan percetakan, tapi juga perumahan, pusat perbelanjaan, restoran, rumah sakit, lapangan olah raga dan sarana lainnya.[64]
Berikut ini sekilas program kerja Kompleks Percetakan ini:
1. Mencetak mushaf al-Qur’an sesuai qira’at riwayat Hafsh dari ‘Ashim –qira’at yang dibaca oleh mayoritas kaum muslimin di dunia-. Ditulis sesuai dengan rasm ‘utsmany, dan jumlah ayatnya 6236 –sesuai versi kufy-.
2. Mencetak mushaf al-Qur’an sesuai qira’at riwayat Warsy dari Nafi’ al-Madany. Qira’at ini dibaca di sebagian besar negara-negara Maghrib (Maroko, Aljazair, Tunisia, dan Mauritania), ditambah Senegal, Chad, dan Nigeria. Ditulis dengan khat maghribi yang sesuai dengan rasm ‘utsmany, jumlah ayatnya 6214 ayat.
3. Mencetak terjemahan al-Qur’an dalam berbagai bahasa dunia.
4. Merekam bacaan al-Qur’an dengan suara para qurra’ yang masyhur.
5. Saat ini sedang menyiapkan pencetakan mushaf berdasarkan qira’at riwayat Qalun dari Nafi’ al-Madany.[65]
Proses percetakan di Majma’ ini berjalan sangat ketat. Setiap pengawas dan pemeriksa dilengkapi stempel khusus yang dibubuhkan pada bagian akhir mushaf. Ini untuk memudahkan pengusutan kesalahan yang terjadi dalam proses pengerjaan. Bahkan pekerja yang berhasil menemukan satu kesalahan akan mendapatkan imbalan bonus dari pihak penanggung jawab percetakan ini.[66]

PENUTUP
Dari uraian di atas, kita dapat melihat bahwa mushaf ‘Utsmany telah melalui perjalanan yang sangat panjang melintasi kurun waktu 14 abad lamanya. Berbagai inovasi kemudian dikembangkan dalam penulisan ulang dan penggandaan naskahnya. Tetapi selama itu pula, al-Qur’an yang termuat didalamnya tetap terjaga keasliannya; huruf demi huruf, kata per kata, kalimat per kalimat. Hal ini terbukti oleh perjalanan sejarah, dimana tak satu pun upaya untuk menyimpangkan isinya melainkan dengan segera tersingkap di tangan para ulama, khususnya yang menggeluti bidang al-Qur’an dan semua bidang ilmunya.
Ini tentu saja tidak lepas dari metode pewarisan yang sangat unik dalam menyampaikan al-Qur’an dari kurun demi kurun. Inovasi apapun yang dikembangkan dalam penulisannya, sama sekali tidak mengubah eksistensinya sebagai Kalamullah. Seperti yang dijelaskan para ulama akidah: dengan lisan siapapun ia dibacakan, dengan tulisan siapapun ia dituliskan, di media apapun ia ditorehkan, al-Qur’an tetaplah Kalamullah.
Wallahu a’lam bi al-shawab.

DAFTAR PUSTAKA

1. Adhwa’ ‘ala Mushaf ‘Utsman wa Rihlatihi Syarqan wa Gharban: DR. Sahar al-Sayyid ‘Abd al-‘Aziz Salim. Makalah dalam Seminar Tarikh al-Ummah al-Islamiyyah baina al-Maudhu’iyyah wa al-Tahayyuz. Zaqaziq. 1989.
2. Al-A’lam: Khair al-Din al-Zarakly. Dar al-Malayin. Lebanon. Cetakan ketiga. t.t.
3. Al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an: Badr al-Din al-Zarkasyi. Dar al-Turats. Mesir. t.t.
4. Goldziher dan Varian Qira’at al-Qur’an (Resensi Terhadap ‘Al-Qira’at fi Nazhar al-Mustasyriqin wa al-Mulhidin): Muhammad Ikhsan. Tugas resensi mata kuliah Ulumul Qur’an. Universitas Indonesia. 2005.
5. The History of The Qur’anic Text from Revelation to Compilation: Prof. DR. M.M. al-A’zhamy. Gema Insani Press. Jakarta. Cetakan pertama. April 2005.
6. Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an: Jalal al-Din al-Suyuthy. Tahqiq: DR. Mushthafa Dieb al-Bugha. Dar Ibn Katsir. Cetakan pertama. 1410 H.
7. Jam’u al-Qur’an fi Marahilihi al-Tarikhiyyah: Muhammad Syar’i Abu Zaid. Tesis master bidang Tafsir dan ‘Ulumul Qur’an. Universitas Kuwait. 1419 H.
8. Al-Khat al-Qur’any wa al-Khat al-Imla’iy. www.islamweb.net/ver2/archive/printarticle.php?id=14680.
9. Al-Khaththatah (al-Kitabah al-‘Arabiyyah): ‘Abd al-‘Aziz al-Daly. Maktabah al-Khanjy. Mesir. 1400 H-1998 M.
10. Majma’ al-Malik Fahd li Thiba’ah al-Mushaf al-Syarif. www.qurancomplex.com/Display.asp?section=4&l=arb&f+write00013&trans=
11. Manahil al-‘Irfan fi Ulum al-Qur’an: Muhammad ‘Abd al-‘Azhim al-Zarqany. Dar al-Fikr. Beirut. 1408 H.
12. Al-Mushaf al-‘Utsmany; Taushifuhu, Tarikhuhu, Hal Katabahu ‘Utsman Biyadihi, Hal Huwa Maujudun Al’an: ‘Awadh Ahmad al-Syihry. Universitas Malik Khalid. Abha-KSA. t.t.
13. Nuqath al-Mushaf al-Syarif. www.qurancomplex.com/Display.asp?section=4&l=arb&f+write0005&trans=
14. Al-Qira’at fi Nazhar al-Mustasyriqin wa al-Mulhidin: Abd al-Fattah Abd al-Ghany al-Qadhy. Dar al-Salam. Kairo. Cetakan pertama 1426 H.
15. Qishshah al-Nuqath wa al-Syakl fi al-Mushaf al-Syarif: ‘Abd al-Hayy al-Farmawy. Mathba’ah Hassan. Kairo. T.t.
16. Al-Qur’an antara Fakta dan Fiksi: Taufik Adnan Amal. www.islamlib.com/id/index.php?page=article&mode=print&id=108
17. Al-Qur’an dan Qiroat: Abduh Zulfidar Akaha. Pustaka Al-Kautsar. Jakarta. Cetakan pertama 1996.
18. Shubh al-A’sya fi Shina’ah al-Insya’: Abu al-Abbas Ahmad bin Ali al-Qalaqsyandy. Mathba’ah al-Amiriyyah. Kairo. T.t.
19. Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim: Abul Fida’ Isma’il ibn ‘Umar ibn Katsir. Dar al-Ma’rifah. Beirut. Cetakan kedua. 1307 H.
20. Tarikh al-Mushaf al-Syarif: ‘Abd al-Fattah al-Qadhy. Maktabah al-Masyhad al-Husainy. Kairo. T.t.
21. Tathawwur al-Kitabah al-‘Arabiyyah. www.qurancomplex.com/Display.asp?section=4&l=arb&f+write0003&trans
22. Al-Thaba’at al-Mubakkirah li al-Mushaf al-Syarif. www.qurancomplex.com/Display.asp?section=4&l=arb&f+write0010&trans
23. Thiba’ah al-Mushaf al-Syarif fi al-Mamlakah al-‘Arabiyyah al-Su’udiyyah. www.qurancomplex.com/Display.asp?section=4&l=arb&f+write0011&trans
24. Uslub al-‘Amal fi Kitabah Mashahif al-Majma’ wa Thab’iha. www.qurancomplex.com/Display.asp?section=4&l=arb&f+write0014&trans
25. Wafayat al-A’yan wa Anba’ Abna’ al-Zaman: Abu al-‘Abbas Ahmad bin Khillikan. Tahqiq: DR. Ihsan Abbas. Dar al-Tsaqafah. Beirut. T.t.





































________________________________________
[1] Lih. The History of The Qur’anic Text, hal.105-106.
[2] Lih. Tafsir Ibn Katsir 7/450.
[3] Kitab al-Mashahif, hal. 22 sebagaimana dalam The History of The Qur’anic Text, hal. 106.
[4] Al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, 1/334.
[5] Lih. Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, (1/132). Sementara al-A’zhamy mendukung pendapat Profesor Syauqi Dhaif bahwa ada 8 eksemplar mushaf telah dibuat. Ia juga mengutip pendapat al-Ya’qubi, seorang ahli sejarah Syiah yang berpendapat bahwa jumlah eksemplarnya adalah sembilan. Lih. The History of The Qur’anic Text, hal.105.
[6] Lih. Al-Mushaf al-‘Utsmany, hal.5
[7] Ibid.
[8] Lih. Manahil al-‘Irfan, (1/330), dan The History of Qur’anic Text, hal.107.
[9] Lih. Tarikh al-Mushaf al-Syarif, hal. 73, dan Naqth al-Mushaf al-Syarif, hal. 1
[10] Lih. Shubh al-A’sya, 3/156, Tarikh al-Mushaf, hal. 74-75, dan Nuqath al-Mushaf al-Syarif, hal.1,
[11] Nama lengkapnya adalah Zhalim bin ‘Amr al-Du’aly al-Kinany. Ia adalah salah seorang pemuka tabi’in. Turut serta dalam pasukan Ali bin Abi Thalib r.a. dalam peristiwa perang Shiffin tahun 37 H. Ia dipercaya sebagai orang pertama yang memunculkan ilmu Nahwu dan memberikan tanda bacaan pada mushaf al-Qur’an. Ia kemudian meninggal dalam peristiwa wabah (tha’un) Amwas tahun 69 H. Lih. Al-A’lam, 3/340.
12. Al-A’zhamy menjelaskan bahwa yang pertama kali menyuruh Abu al-Aswad menulis sebuah referensi tata Bahasa Arab adalah Khalifah Umar r.a. Ia pun menjalankan tugas itu dan menetapkan empat tanda diakritikal (harakat) yang akan diletakkan pada ujung huruf tiap kata. Tanda ini ditulis dengan warna merah untuk membedakannya dengan huruf yang ditulis dengan tinta hitam. Penggunaan keempat tanda tersebut untuk mushaf al-Qur’an kemudian baru direalisasikan di masa pemerintahan Mu’awiyah, seperti uraian di atas. Lih. The History of The Qur’anic Text, hal. 154-156.
[13] Shubh al-A’sya, 3/158, Nuqath al-Mushaf al-Syarif, hal.1.
[14] Qishshah al-Nuqath wa al-Syakl fi al-Mushaf, hal. 59-69.
[15] The History of The Qur’anic Text, hal.156.
[16] Al-Lam’ah al-Shahiyyah fi Nahw al-Lughah al-Siryaniyah, hal. 169, sebagaimana dalam The History of The Qur’anic Text, hal. 159.
[17] Syriac Reading Lessons, sebagaimana dalam The History of The Qur’anic Text, hal.160
[18] Lih. The History of The Qur’anic Text, hal.158-161.
[19] Nama lengkapnya adalah Nashr bin ‘Ashim al-Laitsy al-Nahwy. Dikenal juga sebagai Nashr al-Huruf. Termasuk tabi’in generasi awal, juga seorang faqih yang menguasai ilmu Nahwu. Berguru pada Abu al-Aswad al-Du’aly dalam ilmu al-Qur’an dan Nahwu. Meninggal tahun 100 H. Lih. Al-A’lam, 8/343.
[20] Nama lengkapnya adalah Abu Sa’id Yahya bin Ya’mar al-Qaisy al-‘Adawany. Seorang tabi’in. Ia termasuk yang berpandangan lebih mengutamakan Ahlul bait tapi tanpa merendahkan sahabat-sahabat Nabi yang lain. Seorang alim dalam al-Qur’an dan Nahwu. Meninggal tahun 90 H. Lih. Al-A’lam, 9/225.
[21] Wafayat al-A’yan, 2/32.
[22] Nuqath al-Mushaf al-Syarif, hal. 2
[23] Shubh al-A’sya, 3/152-155, dan Qishshah al-Nuqath wa al-Syakl, hal. 72-86.
[24] Ibid. hal. 80
[25] Ibid. hal. 82-85
[26] Nuqath al-Mushaf al-Syarif, hal.3
[27] Al-Khaththatah; al-Kitabah al-‘Arabiyyah, hal. 62.
[28] Lih. The History of The Qur’anic Text, hal. 151-153.
[29] Ibid, hal.133-134.
[30] The History of The Qur’anic Text, hal. 134-135. Lih. juga Tathawwur al-Kitabah al-‘Arabiyyah, hal. 1
[31] The Development of The Arabic Script, hal. 125, sebagaimana dalam The History of The Qur’anic Text, hal. 135.
[32] The History of The Qur’anic Text, hal. 135.
[33] Ibid, hal. 154.
[34] Lih. Al-Khat al-Qur’any wa al-Khat al-Imla’iy, hal. 1
[35] Ibid. hal. 1-2
[36] Lih. Al-Qur’an dan Qiroat, hal. 68-69
[37] Lih. Al-Qur’an Antara Fakta dan Fiksi, hal. 1-5.
[38] Lih. Al-Qur’an dan Qiroat, hal. 60
[39] The History of The Qur’anic Text, hal. 165.
[40] Beliau pernah menjabat sebagai Ketua jurusan qira’at pada Universitas Islam Madinah dan Ketua Lajnah Pentashhih Mushhaf di Mesir.
[41] Madzahib At-Tafsir Al-Islamy, hal.5, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qira’at fi Nazhar Al-Mustasyriqin, hal. 9
[42] Ibid., hal. 11-14
[43] Ibid., hal. 14
[44] Madzahib al-Tafsir al-Islamy, hal. 8, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qira’at fi Nazhar al-Mustasyriqin, hal. 18 dan hal. 23.
[45] Ibid., hal. 24.
[46] Ibid., hal. 42-43.
[47] Ibid., hal. 43-47.
[48] Ibid., hal. 77.
[49] Ibid., hal. 85.
[50] Ibid., hal. 89.
[51] Penjelasan ini sepenuhnya diinukil dari Goldziher dan Varian Qira’at Al-Qur’an (tugas resensi matakuliah Ulumul Qur’an), hal. 3-8.

[52] Lih. Manahil al-‘Irfan, 1/264
[53] Lih. Jam’u al-Qur’an fi Marahilihi, hal. 161-162
[54] Ibid, hal. 162
[55] Lih. Adhwa’ ‘ala Mushaf ‘Utsman, hal. 3-7
[56] Ibid, hal. 8
[57] Al-Mushaf al-‘Utsmany, hal. 6
[58] Madkhal ila Tarikh Nasyr al-Turats al-‘Araby, hal. 18-19, dan Tarikh al-Thiba’ah, hal. 1
[59] Ibid, hal. 25.
[60] Tarikh al-Thiba’ah, hal. 2-4.
[61] Lih. Tarikh Thiba’ah al-Qur’an al-Karim, hal. 516-525, dan al-Thaba’at al-Mubakkirah li al-Mushaf al-Syarif, hal. 1-3. Bahasan ini sepenuhnya merujuk pada dua sumber ini.

[62] Lih. Tarikh al-Mushaf al-Syarif, hal 90.
[63] Lih. Thiba’ah al-Mushaf al-Syarif fi al-Mamlakah al-‘Arabiyyah al-Su’udiyyah, hal. 1-2.
[64] Lih. Majma’ al-Malik Fahd li Thiba’ah al-Mushaf al-Syarif, hal. 1
[65] Ibid, hal. 2
[66] Lih. Uslub al-‘Amal fi Kitabah Mashahif al-Majma’ wa Thab’iha, hal. 7.