PEMBUKA
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM
Jumat, 14 Oktober 2011
My Slideshow Slideshow
My Slideshow Slideshow: TripAdvisor™ TripWow ★ My Slideshow Slideshow ★ to Tanjungpinang. Stunning free travel slideshows on TripAdvisor
ADA APA
mengapa semua itu disalahkan.
mereka tidak tau saya dan saya juga tidak mau tau urusan mereka, tetapi mereka selalu saja menggangguku.
apa salahku pada mereka? sehingga mereka tega berbuat itu sampai saya dimarahin?
be continue...........
mereka tidak tau saya dan saya juga tidak mau tau urusan mereka, tetapi mereka selalu saja menggangguku.
apa salahku pada mereka? sehingga mereka tega berbuat itu sampai saya dimarahin?
be continue...........
My Slideshow Slideshow
My Slideshow Slideshow: TripAdvisor™ TripWow ★ My Slideshow Slideshow ★ to Tanjungpinang. Stunning free travel slideshows on TripAdvisor
Rabu, 28 September 2011
KKM PAI KELAS XII
KRITERIA KETUNTASAN MINIMAL
SMU 1 BINTAN
MATA PELAJARAN : PENDIDIDKAN AGAMA ISLAM
SEMESTER : 1 ( SATU )
KKM : 81
KOMPETENSI DASAR DAN INDIKATOR KRITERIA KETUNTASAN MINIMAL NILAI
KRITERIA PENETAPAN KETUNTASAN
KOMPLKSTAS DAYA INTAKE KKM
DUKUNG
1. Memahami ayat-ayat al Quran tentang anjuran bertoleransi 78
1.1 membaca QS. Al kafirun, yunus ayat 40-41, dan al kahfiayat 29. 84
1.1.1. Membacanya dengan fasih, benar, dan baik. 2 3 2 78
1.1.2 Menjelaskan penerapan ilmu tajwid 2 3 3 89
1.2 Menjelaskanarti QS. Al kafirun, yunus ayat 40-41, dan al kahfiayat 29. 67
1.2.1 Mengartikan per kata, per ayat dan menterjemahkannya. 1 2 2 56
1.2.2 Mengidentifikasi perilaku bertoleransi 1 3 3 78
1.3 Membiasakan prilaku bertoleransi seperti terkandung dalam QS. Al kafirun
yunus ayat 40-41, dan al kahfi ayat 29 84
1.3.1 Mempraktekkan prilaku bertoleransi. 1 3 3 78
1.3.2 Menunjukkan perilaku bertoleransi 2 3 3 89
2. Memahami ayat-ayat al Quran tentang etos kerja. 85
2.1 membaca QS AL mujadilah: 11 dan QS al jum’ah: 9-10. 89
2.1.1. Membaca QS AL mujadilah: 11 dan QS al jum’ah: 9-10 dengan fasih, benar, dan baik. 2 3 3 89
2.1.2 Membaca QS AL mujadilah: 11 dan QS al jum’ah: 9-10 sesuai dengankaidah-kaidah ilmu tajwid 2 3 3 89
2.2 Menjelaskan arti QS AL mujadilah: 11 dan QS al jum’ah: 9-10 89
2.2.1 Mengartikan QS AL mujadilah: 11 dan QS al jum’ah: 9-10 secara per kata, per ayat, 3 3 2 89
dan mampu menterjemahkannya.
2.3 Membiasakan etos kerja seperti terkandung dalam QS AL mujadilah: 11 dan QS al jum’ah: 9-10.
78
2.3.1 Mengidentifikasikan, mempraktekkan, dan menunjukkan perilaku etos kerja sesuai dengan QS AL mujadilah: 11 dan QS al jum’ah: 9-10. 2 2 3 78
3. Meningkatkan keimanan kepada hari kiamat akhir. 82
3.1. menampilkan perilaku yang mencerminkan keimanan terhadap hari akhir. 82
3.1.1 Menjelaskan hari kiamat sebagai hari pembalasan yang hakiki. 1 3 3 78
3.1.2 Menjelaskan perilaku yang mencerminkan keimanan terhadap hari akhir. 2 3 2 78
3.1.3 Menampilkan perilaku yang mencerminkan keimanan terhadap hari akhir. 2 3 3 89
3.2 menerapkan hikmah beriman kepada hari akhir. 81
3.2.1 Memperbanyak beribadah dan bertobat dalam kehidupan sehari-hari. 1 3 3 78
3.2.2 Menjelaskan hikmah beriman kepada hari akhir. 2 3 3 89
3.2.3 Mendeskripsikan hikmah beriman kepada hari akhir. 1 3 3 78
3.2.4 Menerapkan hikmah beriman kepada hari akhir. 1 3 3 78
4. Membiasakan perilaku terpuji. 78
4.1 Menjelaskan pengertian adil, ridho, dan amal saleh. 82
4.1.1 Menjelaskan pengertian adil. 1 3 3 78
4.1.2 Menjelaskan pengertian ridha. 1 3 3 78
4.1.3 Menjelaskan pengertian amal saleh. 2 3 3 89
4.2. Menampilkan contoh perilaku adil, ridha dan amal saleh. 78
4.2.1 Menampilkan contoh perilaku adil. 2 3 2 78
4.2.2 Menampilkan contoh perilaku ridha. 2 2 2 67
4.2.3 Menampilkan contoh perilaku amal saleh. 2 3 3 89
4.3. Membiasakan perilaku adil, ridha, dan amal saleh dalam kehidupan sehari-hari. 74
4.3.1 Menunjukkan perilaku adil. 2 3 2 78
4.3.2 Menunjukkan perilaku ridha. 2 2 2 67
4.3.3 Menunjukkan perilaku amal saleh. 1 3 3 78
5. Memahami hukum Islam tentang hukum keluarga 81
5.1. Menjelaskan ketentuan hukum perkawinan dalam Islam. 82
5.1.1 Menjelaskan ketentuan hukum Islam tentang nikah. 2 3 3 89
5.1.2 Menjelaskan ketentuan hukum Islam tentang Talaq. 2 3 2 78
5.1.3 Menjelaskan ketentuan hukum Islam tentang rujuk. 2 3 2 78
5.2. Menjelaskan hikmah perkawinan 82
5.2.1 Menjelaskan hikmah nikah. 2 3 3 89
5.2.2 Menjelaskan hikmah talaq. 2 3 2 78
5.2.3 Menjelskan hikmah rujuk 2 3 2 78
5.3. Menjelaskan ketentuan perkawinan menurut perundang-undangan di Indonesia. 78
5.3.1 Menjelaskan ketentuan perkawinan menurut perundang-undangan tentang perkawinan di Indonesia. 2 3 2 78
5.3.2 Menguraikan tentang kompilasi hukum tentang perkawinan di Indonesia. 2 3 2 78
TOTAL 81
KRITERIA KETUNTASAN MINIMAL
SMU 1 BINTAN
KELAS : XII
MATA PELAJARAN : PENDIDIDKAN AGAMA ISLAM
SEMESTER : 2 ( DUA )
KKM : 77
KOMPETENSI DASAR DAN INDIKATOR KRITERIA KETUNTASAN MINIMAL NILAI KKM
KRITERIA PENETAPAN KETUNTASAN
KOMPLEKSITAS DAYA INTAKE
DUKUNG
6. Aspek Tarikh dan Kebudayaan Islam. 76
Memahami perkembangan Islam di Indonesia.
6.1. Menjelaskan perkembangan Islam di Indonesia 78
6.1.1 Menjelaskan maksud dan berkembangnya Islam di Indonesia. 2 3 2 78
6.1.2 Menguraikan manfaat yang dapat diambil dari sejarah perkembangan Islam di Indonesia. 1 3 3 78
6.2. Menampilkan contoh perkembangan Islam di Indonesia 73
6.2.1 Menentukan ciri-ciri Islam di Indonesia. 1 3 3 78
6.2.2 Menunjukkan contoh-contoh perkembangan Islam di Indonesia. 1 3 2 67
6.3. Mengambil hikmah dari perkembangan Islam di Indonesia 78
6.3.1 Mengidentifikasi hikmah perkembagan Islam di Indonesia. 2 3 2 78
6.3.2 Menjelaskan hikmah perkembangan Islam di Indonesia. 1 3 3 78
7. Memahami ayat-ayat Al Quran tentang perkembangan IPTEK. 77
7.1. Membaca QS. Yunus : 101 dan Al BAqarah : 164 73
7.1.1 Membaca QS. Yunus : 101 dan Al BAqarah : 164 dengsn baik dan benar. 1 3 3 78
7.1.2 Mengindetifikasi tajwid QS. Yunus : 101 dan Al BAqarah : 164 1 3 2 67
7.2 Menjelaskan arti QS. Yunus : 101 dan Al BAqarah : 164 73
7.2.1 Mengartikan per kata dan per ayat QS. Yunus : 101 dan Al BAqarah : 164. 2 3 2 78
7.2.2 Menerjemahkan QS. Yunus : 101 dan Al BAqarah : 164. 1 3 2 67
7.3. Melakukan perkembangan IPTEK seperti terkandung dalam QS. Yunus : 101 dan Al BAqarah : 164.
84
7.3.1 Menggali kandungan Al-Qur’an tentang perkembangan IPTEK 2 3 3 89
7.3.2 Menerapkan Al-Qur’an Surah Yunus : 101 dan Al BAqarah : 164. 1 3 3 78
8 . Meningkatkan keimanan kepada qada dan qadar. 76
8.1. Menjelaskan tanda-tanda beriman pada qada dan qadar. 73
8.1.1 Menjelaskan pengertian qada dan qadar dan pengertian keimanan kepada qada dan qadar. 1 3 2 67
8.1.2 Menjelaskan tanda-tanda beriman kepada qada dan qadar 2 3 2 78
8.2. Menampilkan hikmah beriman kepada qada dan qadar. 78
8.2.1 Menjelaskan hikmah beriman kepada qada dan qadar. 2 2 3 78
8.2.2 Menunjukkan perilaku ikhtiar dan tawakkal dalam kehidupan sehari-hari. 2 3 2 78
9. Membiasakan perilaku terpuji. 76
9.1. Menjelaskan pengertian dan maksud persatuan dan kerukunan 78
9.1.1 Menjelaskan pengertian dan maksud persatuan. 1 3 3 78
9.1.2 Menjelaskan pengertian dan maksud kerukunan 1 3 3 78
9.2. Menampilkan contoh perilaku persatuan dan kerukunan 73
9.2.1 Menampilkan contoh perilaku persatuan. 2 3 2 78
9.2.2 Menampilkan contoh perilaku kerukunan. 2 2 2 67
9.3. Membiasakan perilaku persatuan dan kerukunan dalam kehidupan sehari-hari. 78
9.3.1 Membiasakan perilaku persatuan dalam kehidupan sehari-hari. 2 3 2 78
9.3.2 Menunjukkan perilaku rukun dalam pergaulan. 1 3 3 78
10. Menghindari perilaku tercela. 78
10.1. Menjelaskan pengertian :israf, tabzir, ghibah, dan fitnah 75
10.1.1 Menjelaskan pengertian israf. 2 3 2 78
10.1.2 Menjelaskan pengertian tabzir. 2 3 2 78
10.1.3 Menjelaskan pengertian ghibah. 2 2 2 67
10.1.4 Menjelaskan pengertian fitnah 1 3 3 78
10.2. Menjelaskan contoh perilaku :israf, tabzir, ghibah, dan fitnah 81
10.2.1 Menjelaskan contoh perilaku israf. 2 3 3 89
10.2.2 Menjelaskan contoh perilaku tabzir. 2 3 2 78
10.2.3 Menjelaskan contoh perilaku ghibah. 2 3 3 78
10.2.4 Menjelaskan contoh perilaku fitnah 1 3 3 78
10.3. Menghindari perilaku :israf, tabzir, ghibah, dan fitnah. 78
10.3.1 Menghindari perilaku :israf, tabzir, ghibah, dan fitnah. 2 3 3 78
10.3.2 Menunjukkan akibat buruk dari :israf, tabzir, ghibah, dan fitnah 2 3 3 78
11. Memahami hukum Islam tentang waris 75
11.1. Menjelaskan ketentuan-ketentuan hukum waris.
75
11. 1. 1 menjelaskan tentang Ketentuan mawaris 3 2 2 78
11.1.2 menjelaskan tentang Harta benda sebelum di waris. 1 3 2 67
11.1.3 menjelaskan tentang Ahli waris. 3 2 2 78
11.1.4 menjelaskan tentang Hijab. 2 3 2 78
11.2 Menjelaskan contoh pelaksanaan hukum waris. 74
11.2.1 Menjelaskan contoh perhitungan waris. 2 3 2 78
11.2.2 Menjelaskan tentang perundang-undangan waris di Indonesia. 2 3 2 78
11.2.3 Menjelaskan pelaksanaan waris menurut hukum adat 2 2 2 67
12. Memahami perkembangan Islam di Indonesia 78
12.1. Menjelaskan perkembangan Islam di dunia. 78
12.1.1 Menjelaskan perkembangan Islam di dunia. 1 3 3 78
12.1.2 Mengidentifikasi manfaat yang dapat diambil dari sejarah perkembangan Islam di dunia. 2 3 2 78
12.2. Menampilkan contoh perkembangan Islam di dunia. 78
12.2.1 Menjelaskan contoh perkembangan Islam di dunia. 1 3 2 67
12.2.2 Memberikan contoh perkembangan Islam di dunia. 2 3 3 89
TOTAL 77
MENGETAHUI TANJUNGPINANG, JULY 2010
GURU PAMONG GURU BIDANG STUDY
Drs. H. AMIR HUSIN. M. Pd ERWANSAH SAPUTRA YADI
NIP. NIP.
SMU 1 BINTAN
MATA PELAJARAN : PENDIDIDKAN AGAMA ISLAM
SEMESTER : 1 ( SATU )
KKM : 81
KOMPETENSI DASAR DAN INDIKATOR KRITERIA KETUNTASAN MINIMAL NILAI
KRITERIA PENETAPAN KETUNTASAN
KOMPLKSTAS DAYA INTAKE KKM
DUKUNG
1. Memahami ayat-ayat al Quran tentang anjuran bertoleransi 78
1.1 membaca QS. Al kafirun, yunus ayat 40-41, dan al kahfiayat 29. 84
1.1.1. Membacanya dengan fasih, benar, dan baik. 2 3 2 78
1.1.2 Menjelaskan penerapan ilmu tajwid 2 3 3 89
1.2 Menjelaskanarti QS. Al kafirun, yunus ayat 40-41, dan al kahfiayat 29. 67
1.2.1 Mengartikan per kata, per ayat dan menterjemahkannya. 1 2 2 56
1.2.2 Mengidentifikasi perilaku bertoleransi 1 3 3 78
1.3 Membiasakan prilaku bertoleransi seperti terkandung dalam QS. Al kafirun
yunus ayat 40-41, dan al kahfi ayat 29 84
1.3.1 Mempraktekkan prilaku bertoleransi. 1 3 3 78
1.3.2 Menunjukkan perilaku bertoleransi 2 3 3 89
2. Memahami ayat-ayat al Quran tentang etos kerja. 85
2.1 membaca QS AL mujadilah: 11 dan QS al jum’ah: 9-10. 89
2.1.1. Membaca QS AL mujadilah: 11 dan QS al jum’ah: 9-10 dengan fasih, benar, dan baik. 2 3 3 89
2.1.2 Membaca QS AL mujadilah: 11 dan QS al jum’ah: 9-10 sesuai dengankaidah-kaidah ilmu tajwid 2 3 3 89
2.2 Menjelaskan arti QS AL mujadilah: 11 dan QS al jum’ah: 9-10 89
2.2.1 Mengartikan QS AL mujadilah: 11 dan QS al jum’ah: 9-10 secara per kata, per ayat, 3 3 2 89
dan mampu menterjemahkannya.
2.3 Membiasakan etos kerja seperti terkandung dalam QS AL mujadilah: 11 dan QS al jum’ah: 9-10.
78
2.3.1 Mengidentifikasikan, mempraktekkan, dan menunjukkan perilaku etos kerja sesuai dengan QS AL mujadilah: 11 dan QS al jum’ah: 9-10. 2 2 3 78
3. Meningkatkan keimanan kepada hari kiamat akhir. 82
3.1. menampilkan perilaku yang mencerminkan keimanan terhadap hari akhir. 82
3.1.1 Menjelaskan hari kiamat sebagai hari pembalasan yang hakiki. 1 3 3 78
3.1.2 Menjelaskan perilaku yang mencerminkan keimanan terhadap hari akhir. 2 3 2 78
3.1.3 Menampilkan perilaku yang mencerminkan keimanan terhadap hari akhir. 2 3 3 89
3.2 menerapkan hikmah beriman kepada hari akhir. 81
3.2.1 Memperbanyak beribadah dan bertobat dalam kehidupan sehari-hari. 1 3 3 78
3.2.2 Menjelaskan hikmah beriman kepada hari akhir. 2 3 3 89
3.2.3 Mendeskripsikan hikmah beriman kepada hari akhir. 1 3 3 78
3.2.4 Menerapkan hikmah beriman kepada hari akhir. 1 3 3 78
4. Membiasakan perilaku terpuji. 78
4.1 Menjelaskan pengertian adil, ridho, dan amal saleh. 82
4.1.1 Menjelaskan pengertian adil. 1 3 3 78
4.1.2 Menjelaskan pengertian ridha. 1 3 3 78
4.1.3 Menjelaskan pengertian amal saleh. 2 3 3 89
4.2. Menampilkan contoh perilaku adil, ridha dan amal saleh. 78
4.2.1 Menampilkan contoh perilaku adil. 2 3 2 78
4.2.2 Menampilkan contoh perilaku ridha. 2 2 2 67
4.2.3 Menampilkan contoh perilaku amal saleh. 2 3 3 89
4.3. Membiasakan perilaku adil, ridha, dan amal saleh dalam kehidupan sehari-hari. 74
4.3.1 Menunjukkan perilaku adil. 2 3 2 78
4.3.2 Menunjukkan perilaku ridha. 2 2 2 67
4.3.3 Menunjukkan perilaku amal saleh. 1 3 3 78
5. Memahami hukum Islam tentang hukum keluarga 81
5.1. Menjelaskan ketentuan hukum perkawinan dalam Islam. 82
5.1.1 Menjelaskan ketentuan hukum Islam tentang nikah. 2 3 3 89
5.1.2 Menjelaskan ketentuan hukum Islam tentang Talaq. 2 3 2 78
5.1.3 Menjelaskan ketentuan hukum Islam tentang rujuk. 2 3 2 78
5.2. Menjelaskan hikmah perkawinan 82
5.2.1 Menjelaskan hikmah nikah. 2 3 3 89
5.2.2 Menjelaskan hikmah talaq. 2 3 2 78
5.2.3 Menjelskan hikmah rujuk 2 3 2 78
5.3. Menjelaskan ketentuan perkawinan menurut perundang-undangan di Indonesia. 78
5.3.1 Menjelaskan ketentuan perkawinan menurut perundang-undangan tentang perkawinan di Indonesia. 2 3 2 78
5.3.2 Menguraikan tentang kompilasi hukum tentang perkawinan di Indonesia. 2 3 2 78
TOTAL 81
KRITERIA KETUNTASAN MINIMAL
SMU 1 BINTAN
KELAS : XII
MATA PELAJARAN : PENDIDIDKAN AGAMA ISLAM
SEMESTER : 2 ( DUA )
KKM : 77
KOMPETENSI DASAR DAN INDIKATOR KRITERIA KETUNTASAN MINIMAL NILAI KKM
KRITERIA PENETAPAN KETUNTASAN
KOMPLEKSITAS DAYA INTAKE
DUKUNG
6. Aspek Tarikh dan Kebudayaan Islam. 76
Memahami perkembangan Islam di Indonesia.
6.1. Menjelaskan perkembangan Islam di Indonesia 78
6.1.1 Menjelaskan maksud dan berkembangnya Islam di Indonesia. 2 3 2 78
6.1.2 Menguraikan manfaat yang dapat diambil dari sejarah perkembangan Islam di Indonesia. 1 3 3 78
6.2. Menampilkan contoh perkembangan Islam di Indonesia 73
6.2.1 Menentukan ciri-ciri Islam di Indonesia. 1 3 3 78
6.2.2 Menunjukkan contoh-contoh perkembangan Islam di Indonesia. 1 3 2 67
6.3. Mengambil hikmah dari perkembangan Islam di Indonesia 78
6.3.1 Mengidentifikasi hikmah perkembagan Islam di Indonesia. 2 3 2 78
6.3.2 Menjelaskan hikmah perkembangan Islam di Indonesia. 1 3 3 78
7. Memahami ayat-ayat Al Quran tentang perkembangan IPTEK. 77
7.1. Membaca QS. Yunus : 101 dan Al BAqarah : 164 73
7.1.1 Membaca QS. Yunus : 101 dan Al BAqarah : 164 dengsn baik dan benar. 1 3 3 78
7.1.2 Mengindetifikasi tajwid QS. Yunus : 101 dan Al BAqarah : 164 1 3 2 67
7.2 Menjelaskan arti QS. Yunus : 101 dan Al BAqarah : 164 73
7.2.1 Mengartikan per kata dan per ayat QS. Yunus : 101 dan Al BAqarah : 164. 2 3 2 78
7.2.2 Menerjemahkan QS. Yunus : 101 dan Al BAqarah : 164. 1 3 2 67
7.3. Melakukan perkembangan IPTEK seperti terkandung dalam QS. Yunus : 101 dan Al BAqarah : 164.
84
7.3.1 Menggali kandungan Al-Qur’an tentang perkembangan IPTEK 2 3 3 89
7.3.2 Menerapkan Al-Qur’an Surah Yunus : 101 dan Al BAqarah : 164. 1 3 3 78
8 . Meningkatkan keimanan kepada qada dan qadar. 76
8.1. Menjelaskan tanda-tanda beriman pada qada dan qadar. 73
8.1.1 Menjelaskan pengertian qada dan qadar dan pengertian keimanan kepada qada dan qadar. 1 3 2 67
8.1.2 Menjelaskan tanda-tanda beriman kepada qada dan qadar 2 3 2 78
8.2. Menampilkan hikmah beriman kepada qada dan qadar. 78
8.2.1 Menjelaskan hikmah beriman kepada qada dan qadar. 2 2 3 78
8.2.2 Menunjukkan perilaku ikhtiar dan tawakkal dalam kehidupan sehari-hari. 2 3 2 78
9. Membiasakan perilaku terpuji. 76
9.1. Menjelaskan pengertian dan maksud persatuan dan kerukunan 78
9.1.1 Menjelaskan pengertian dan maksud persatuan. 1 3 3 78
9.1.2 Menjelaskan pengertian dan maksud kerukunan 1 3 3 78
9.2. Menampilkan contoh perilaku persatuan dan kerukunan 73
9.2.1 Menampilkan contoh perilaku persatuan. 2 3 2 78
9.2.2 Menampilkan contoh perilaku kerukunan. 2 2 2 67
9.3. Membiasakan perilaku persatuan dan kerukunan dalam kehidupan sehari-hari. 78
9.3.1 Membiasakan perilaku persatuan dalam kehidupan sehari-hari. 2 3 2 78
9.3.2 Menunjukkan perilaku rukun dalam pergaulan. 1 3 3 78
10. Menghindari perilaku tercela. 78
10.1. Menjelaskan pengertian :israf, tabzir, ghibah, dan fitnah 75
10.1.1 Menjelaskan pengertian israf. 2 3 2 78
10.1.2 Menjelaskan pengertian tabzir. 2 3 2 78
10.1.3 Menjelaskan pengertian ghibah. 2 2 2 67
10.1.4 Menjelaskan pengertian fitnah 1 3 3 78
10.2. Menjelaskan contoh perilaku :israf, tabzir, ghibah, dan fitnah 81
10.2.1 Menjelaskan contoh perilaku israf. 2 3 3 89
10.2.2 Menjelaskan contoh perilaku tabzir. 2 3 2 78
10.2.3 Menjelaskan contoh perilaku ghibah. 2 3 3 78
10.2.4 Menjelaskan contoh perilaku fitnah 1 3 3 78
10.3. Menghindari perilaku :israf, tabzir, ghibah, dan fitnah. 78
10.3.1 Menghindari perilaku :israf, tabzir, ghibah, dan fitnah. 2 3 3 78
10.3.2 Menunjukkan akibat buruk dari :israf, tabzir, ghibah, dan fitnah 2 3 3 78
11. Memahami hukum Islam tentang waris 75
11.1. Menjelaskan ketentuan-ketentuan hukum waris.
75
11. 1. 1 menjelaskan tentang Ketentuan mawaris 3 2 2 78
11.1.2 menjelaskan tentang Harta benda sebelum di waris. 1 3 2 67
11.1.3 menjelaskan tentang Ahli waris. 3 2 2 78
11.1.4 menjelaskan tentang Hijab. 2 3 2 78
11.2 Menjelaskan contoh pelaksanaan hukum waris. 74
11.2.1 Menjelaskan contoh perhitungan waris. 2 3 2 78
11.2.2 Menjelaskan tentang perundang-undangan waris di Indonesia. 2 3 2 78
11.2.3 Menjelaskan pelaksanaan waris menurut hukum adat 2 2 2 67
12. Memahami perkembangan Islam di Indonesia 78
12.1. Menjelaskan perkembangan Islam di dunia. 78
12.1.1 Menjelaskan perkembangan Islam di dunia. 1 3 3 78
12.1.2 Mengidentifikasi manfaat yang dapat diambil dari sejarah perkembangan Islam di dunia. 2 3 2 78
12.2. Menampilkan contoh perkembangan Islam di dunia. 78
12.2.1 Menjelaskan contoh perkembangan Islam di dunia. 1 3 2 67
12.2.2 Memberikan contoh perkembangan Islam di dunia. 2 3 3 89
TOTAL 77
MENGETAHUI TANJUNGPINANG, JULY 2010
GURU PAMONG GURU BIDANG STUDY
Drs. H. AMIR HUSIN. M. Pd ERWANSAH SAPUTRA YADI
NIP. NIP.
Sabtu, 09 Juli 2011
TAKE HOME PSIKOLOGI AGAMA
1. Pengaruh Agama Terhadap yang Sehat dan Sakit Mental
Agama tampaknya memang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia.Zakiah Daradjat (1995:78) menuturkan, pelaksanaan agama dalam kehidupan sehari-hari dapat membentengi seseorang dari sakit mental dan dapat pula mengembalikan jiwa bagi orang yang gelisah.Karena kegelisan dan kecemasan yang tidak berujung pangkal itu pada umumnya berakar dari ketidak puasan dan kekecewaan, sedangkan agama dapat menolong seseorang untuk menerima kekecewaan. Sementara dengan jalan memohon ridha Allah dan terbayangkan kebahagian yang akan dirasakan di kemudian hari.
Semakin dekat seseorang dengan Tuhan, semakin banyak ibadahnya, maka akan semakin tentramlah jiwanya serta semakin mampu menghadapi kekecewaan dan kesukaran dalam hidup dan sebaliknya. Dan semakin jauh seseorang dari agama, akan semakin sulit baginya untuk memperoleh ketentraman hidup.
Artinya: 30. Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui[1168],
Agama sebagai terapi kesehatan mental dalam islam sudah ditunjukkan secara jelas dalam ayat-ayat Al-Quran, di antaranya yang membahas tentang ketenangan dan kebahagiaan adalah (QS An Nahl 16:97)
Artinya : 97. Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik[839] dan Sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang Telah mereka kerjakan. [839] Ditekankan dalam ayat Ini bahwa laki-laki dan perempuan dalam Islam mendapat pahala yang sama dan bahwa amal saleh harus disertai iman. (QS Ar Ra’ad 13:28)
Penanggulangan penyakit mental ini, dalam islam baik dari sisi pencegahan dan pegobatannya tidak dikenal secara khusus, sebab penanggulangan tersebut terangkum dalam perilaku ibadah keseharian.
2. Pertumbuhan dan perkembangan agama pada masa remaja.
Pelaksanaan pendidikan agama yang diberikan bukan hanya menjadikan manusia yang pintar dan trampil, akan tetapi jauh daripada itu adalah untuk menjadikan manusia yang memiliki moral dan akhlakul karimah. Dengan moral dan akhlakul karimah yang dimilikinya akan mampu mengarahkan minatnya untuk terus belajar mencari ilmu.
Pendidikan dan pengajaran bukanlah memenuhi otak anak didik tetapi maksudnya adalah mendidik akhlak dan jiwa mereka, dengan kesopanan yang tinggi, rasa fadilah (keutamaan), mempersiapkan mereka untuk kehidupan yang seluruhnya ikhlas dan jujur.
Adapun tujuan pendidikan Islam itu tidak terlepas dari tujuan nasional yang menciptakan manusia Indonesia seutuhnya, seimbang kehidupan duniawi dan akhirat. Dalam al-Qur’an dikatakan bahwa manusia itu diciptakan untuk mengabdi kepada Allah Swt. Hal ini terdapat dalam Al-qur’an Surat Adz-zariyat : 56, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka menyembah-Ku”.
Pendidikan agama yang menyajikan kerangka moral sehingga seseorang dapat dapat membandingkan tingkah lakunya. Pendidikan agama yang terarah dapat menstabilkan dan menerangkan mengapa dan untuk apa seseorang berada di dunia ini. Pendidikan agama menawarkan perlindungan dan rasa aman, khususnya bagi para siswa dalam menghadapi lingkungannya.
Pemerintah seharusnya sangat aktif melihat kondisi Madrasah tempat menanamkan dasar ilmu-ilmu agama ini. Selama ini, terkesan pemerintah memandang sebelah mata yang berakibat masyarakat juga menganggap sepele terhadap Madrasah. Seandainya pemerintah punya kebijakan bahwa anak-anak SD wajib mengikuti pendidikan agama di Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA) tentu kondisinya akan berbeda. Apalagi kebijakan itu dilanjutkan dengan bahwa alumni SD yang hendak memasuki SMP wajib menyertakan sertifikat kelulusan dari MDA akan lebih berbeda lagi kondisinya. Namun pelajaran agama bukan berarti hanya diberikan pada saat usia dini saja tapi continue hingga akhir hidup karena pelajaran agama merupakan pelajaran seumur hidup bagi kita.
Intinya, pembekalan sejak dini ilmu agama terhadap anak-anak sangat signifikan. Pendidikan agama mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam meminimalisir dekadensi moral anak-anak hari ini.
3.Pertumbuhan dan perkembangan agama pada masa dewasa.
Sejalan dengan tingkat perkembangan usianya, maka Pertumbuhan dan perkembangan pada orang dewasa antara lain memiliki ciri sebagai berikut:
a. Menerima kebenaran agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang matang, bukan sekedar ikut-ikutan.
b. Cenderung bersifat realitas, sehinggga norma-norma agama lebih banyak diaplikasikan dalam sikap dan tingkah laku.
c. Bersikap positif terhadap ajaran dan norma-norma agama, dan berusaha untuk mempelajari dan memperdalam pemahaman keagamaan.
d. Tingkat ketaatan beragama didasarkan atas pertimbangan dan tanggung jawab diri hingga sikap keberagamaan merupakan realisasi dari sikap hidup.
e. Bersikap lebih terbuka dan wawasan yang lebih luas.
f. Bersikap lebih kritis terhadap materi ajaran agama sehingga kemantapan beragama selain didasarkan atas pertimbangan pikiran, juga didasarkan atas pertimbangan hati nurani.
g. Sikap keberagamaan cenderung mengarah kepada tipe-tipe kepribadian masing-masing, sehingga terlihat adanya pengaruh kepribadian dalam menerima, memahami serta melaksanakan ajaran agama yang diyakininya.
h. Terlihat adanya hubungan antar sikap keberagamaan dengan kehidupan sosial, sehingga perhatian terhadap kepentingan organisasi sosial keagamaan sudah berkembang.
4. Manusia matang dalam beragama.
Manusia mengalami dua macam perkembangan yaitu perkembangan jasmani dan rohani. Perkembangan jasmani diukur berdasarkan umur kronologis. Puncak perkembangan jasmani yang dicapai manusia disebut kedewasaan, sebaliknya perkembangan rohani diukur berdasarkan tingkat kemampuan (Abilitas). Pencapaian tingkat abilitas tertentu bagi perkembangan rohani disebut istilah kematangan (Maturity).
Kematangan beragama terlihat dari kemampuan seseorang untuk memahami, menghayati serta mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari. Ia menganut suatu agama karena menurut keyakinannya agama tersebutlah yang terbaik. Karena itu ia berusaha menjadi penganut yang baik, keyakinan itu ditampilkannya dalam sikap dan tingkah laku keagamaan yang mencerminkan ketaatan terhadap agamanya.
5.Faktor dan ciri-ciri yang mempengaruhi manusia dalam beragama.
Factor-faktor ini menurut Dr.Singgih D. Gunarsa dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu: factor yang terdapat pada diri anak dan factor yang berasal dari lingkungan.
Adapun factor intern anak itu yang dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian adalah: konstitusi tubuh, struktur dan keadaan fisik, koordinasi motorik, kemampuan mental dan bakat khusus (intelegensi tinggi, hambatan mental, bakat khusus), emosionalitas. Semua factor intern ini ikut mempengaruhi terlambat tidaknya perkembangan kepribadian seseorang.
Selanjutnya yang termasuk pengaruh factor lingkungan adalah: keluarga, sekolah (Singgih D.Gunarta: 88-96). Selain itu ada factor lain yang juga mempengaruhi perkembangan kepribadian seseorang yaitu kebudayaan tempat dimana seseorang itu dibesarkan. Kebudayaan turut mempengaruhi pembentukan pola tingkah laku serta berperan dalam pembentukan kepribadian.
Dalam kehidupan tak jarang dijumpai mereka yang taat beragama itu dilatar belakangi oleh berbagai pengalaman agama serta type kepribadian masing-masing. Kondisi seperti ini menurut temuan psikologi agama mempengaruhi sikap keagamaan seseorang. Dengan demikian pengaruh tersebut secara umum memberi ciri-ciri tersendiri dalam sikap keberagamaan masing-masing.
REFERENSI:
Prof. Dr. H. Jalaludin. Psikologi Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007
Zakiah Daradjat, 1995, Kesehatan Mental, Gunung Agung.
Sururin, M.Ag. Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004
Agama tampaknya memang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia.Zakiah Daradjat (1995:78) menuturkan, pelaksanaan agama dalam kehidupan sehari-hari dapat membentengi seseorang dari sakit mental dan dapat pula mengembalikan jiwa bagi orang yang gelisah.Karena kegelisan dan kecemasan yang tidak berujung pangkal itu pada umumnya berakar dari ketidak puasan dan kekecewaan, sedangkan agama dapat menolong seseorang untuk menerima kekecewaan. Sementara dengan jalan memohon ridha Allah dan terbayangkan kebahagian yang akan dirasakan di kemudian hari.
Semakin dekat seseorang dengan Tuhan, semakin banyak ibadahnya, maka akan semakin tentramlah jiwanya serta semakin mampu menghadapi kekecewaan dan kesukaran dalam hidup dan sebaliknya. Dan semakin jauh seseorang dari agama, akan semakin sulit baginya untuk memperoleh ketentraman hidup.
Artinya: 30. Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui[1168],
Agama sebagai terapi kesehatan mental dalam islam sudah ditunjukkan secara jelas dalam ayat-ayat Al-Quran, di antaranya yang membahas tentang ketenangan dan kebahagiaan adalah (QS An Nahl 16:97)
Artinya : 97. Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik[839] dan Sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang Telah mereka kerjakan. [839] Ditekankan dalam ayat Ini bahwa laki-laki dan perempuan dalam Islam mendapat pahala yang sama dan bahwa amal saleh harus disertai iman. (QS Ar Ra’ad 13:28)
Penanggulangan penyakit mental ini, dalam islam baik dari sisi pencegahan dan pegobatannya tidak dikenal secara khusus, sebab penanggulangan tersebut terangkum dalam perilaku ibadah keseharian.
2. Pertumbuhan dan perkembangan agama pada masa remaja.
Pelaksanaan pendidikan agama yang diberikan bukan hanya menjadikan manusia yang pintar dan trampil, akan tetapi jauh daripada itu adalah untuk menjadikan manusia yang memiliki moral dan akhlakul karimah. Dengan moral dan akhlakul karimah yang dimilikinya akan mampu mengarahkan minatnya untuk terus belajar mencari ilmu.
Pendidikan dan pengajaran bukanlah memenuhi otak anak didik tetapi maksudnya adalah mendidik akhlak dan jiwa mereka, dengan kesopanan yang tinggi, rasa fadilah (keutamaan), mempersiapkan mereka untuk kehidupan yang seluruhnya ikhlas dan jujur.
Adapun tujuan pendidikan Islam itu tidak terlepas dari tujuan nasional yang menciptakan manusia Indonesia seutuhnya, seimbang kehidupan duniawi dan akhirat. Dalam al-Qur’an dikatakan bahwa manusia itu diciptakan untuk mengabdi kepada Allah Swt. Hal ini terdapat dalam Al-qur’an Surat Adz-zariyat : 56, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka menyembah-Ku”.
Pendidikan agama yang menyajikan kerangka moral sehingga seseorang dapat dapat membandingkan tingkah lakunya. Pendidikan agama yang terarah dapat menstabilkan dan menerangkan mengapa dan untuk apa seseorang berada di dunia ini. Pendidikan agama menawarkan perlindungan dan rasa aman, khususnya bagi para siswa dalam menghadapi lingkungannya.
Pemerintah seharusnya sangat aktif melihat kondisi Madrasah tempat menanamkan dasar ilmu-ilmu agama ini. Selama ini, terkesan pemerintah memandang sebelah mata yang berakibat masyarakat juga menganggap sepele terhadap Madrasah. Seandainya pemerintah punya kebijakan bahwa anak-anak SD wajib mengikuti pendidikan agama di Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA) tentu kondisinya akan berbeda. Apalagi kebijakan itu dilanjutkan dengan bahwa alumni SD yang hendak memasuki SMP wajib menyertakan sertifikat kelulusan dari MDA akan lebih berbeda lagi kondisinya. Namun pelajaran agama bukan berarti hanya diberikan pada saat usia dini saja tapi continue hingga akhir hidup karena pelajaran agama merupakan pelajaran seumur hidup bagi kita.
Intinya, pembekalan sejak dini ilmu agama terhadap anak-anak sangat signifikan. Pendidikan agama mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam meminimalisir dekadensi moral anak-anak hari ini.
3.Pertumbuhan dan perkembangan agama pada masa dewasa.
Sejalan dengan tingkat perkembangan usianya, maka Pertumbuhan dan perkembangan pada orang dewasa antara lain memiliki ciri sebagai berikut:
a. Menerima kebenaran agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang matang, bukan sekedar ikut-ikutan.
b. Cenderung bersifat realitas, sehinggga norma-norma agama lebih banyak diaplikasikan dalam sikap dan tingkah laku.
c. Bersikap positif terhadap ajaran dan norma-norma agama, dan berusaha untuk mempelajari dan memperdalam pemahaman keagamaan.
d. Tingkat ketaatan beragama didasarkan atas pertimbangan dan tanggung jawab diri hingga sikap keberagamaan merupakan realisasi dari sikap hidup.
e. Bersikap lebih terbuka dan wawasan yang lebih luas.
f. Bersikap lebih kritis terhadap materi ajaran agama sehingga kemantapan beragama selain didasarkan atas pertimbangan pikiran, juga didasarkan atas pertimbangan hati nurani.
g. Sikap keberagamaan cenderung mengarah kepada tipe-tipe kepribadian masing-masing, sehingga terlihat adanya pengaruh kepribadian dalam menerima, memahami serta melaksanakan ajaran agama yang diyakininya.
h. Terlihat adanya hubungan antar sikap keberagamaan dengan kehidupan sosial, sehingga perhatian terhadap kepentingan organisasi sosial keagamaan sudah berkembang.
4. Manusia matang dalam beragama.
Manusia mengalami dua macam perkembangan yaitu perkembangan jasmani dan rohani. Perkembangan jasmani diukur berdasarkan umur kronologis. Puncak perkembangan jasmani yang dicapai manusia disebut kedewasaan, sebaliknya perkembangan rohani diukur berdasarkan tingkat kemampuan (Abilitas). Pencapaian tingkat abilitas tertentu bagi perkembangan rohani disebut istilah kematangan (Maturity).
Kematangan beragama terlihat dari kemampuan seseorang untuk memahami, menghayati serta mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari. Ia menganut suatu agama karena menurut keyakinannya agama tersebutlah yang terbaik. Karena itu ia berusaha menjadi penganut yang baik, keyakinan itu ditampilkannya dalam sikap dan tingkah laku keagamaan yang mencerminkan ketaatan terhadap agamanya.
5.Faktor dan ciri-ciri yang mempengaruhi manusia dalam beragama.
Factor-faktor ini menurut Dr.Singgih D. Gunarsa dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu: factor yang terdapat pada diri anak dan factor yang berasal dari lingkungan.
Adapun factor intern anak itu yang dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian adalah: konstitusi tubuh, struktur dan keadaan fisik, koordinasi motorik, kemampuan mental dan bakat khusus (intelegensi tinggi, hambatan mental, bakat khusus), emosionalitas. Semua factor intern ini ikut mempengaruhi terlambat tidaknya perkembangan kepribadian seseorang.
Selanjutnya yang termasuk pengaruh factor lingkungan adalah: keluarga, sekolah (Singgih D.Gunarta: 88-96). Selain itu ada factor lain yang juga mempengaruhi perkembangan kepribadian seseorang yaitu kebudayaan tempat dimana seseorang itu dibesarkan. Kebudayaan turut mempengaruhi pembentukan pola tingkah laku serta berperan dalam pembentukan kepribadian.
Dalam kehidupan tak jarang dijumpai mereka yang taat beragama itu dilatar belakangi oleh berbagai pengalaman agama serta type kepribadian masing-masing. Kondisi seperti ini menurut temuan psikologi agama mempengaruhi sikap keagamaan seseorang. Dengan demikian pengaruh tersebut secara umum memberi ciri-ciri tersendiri dalam sikap keberagamaan masing-masing.
REFERENSI:
Prof. Dr. H. Jalaludin. Psikologi Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007
Zakiah Daradjat, 1995, Kesehatan Mental, Gunung Agung.
Sururin, M.Ag. Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004
Senin, 04 Juli 2011
ETIKA PENDIDIKAN (KECERDASAN SPIRITUAL)
ETIKA PENDIDIKAN (PEMBENTUKAN KECERDASAN SPIRITUAL)
DIAJUKAN SEBAGAI SALAH SATU SYARAT UNTUK MENGIKUTI UJIAN SEMESTER, PRODI :
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEMESTER VI MATA KULIAH :
PSIKOLOGI AGAMA
DOSEN : Drs. SYAMSUL BAHRI. M.Pd
DISUSUN OLEH :
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MIFTAHUL ULUM
TANJUNGPINANG TAHUN 2011
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam yang telah melimpahkan Taufik Hidayah serta Inayah Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan tugas mata kuliah PIKOLOGI AGAMA, Dengan judul “ETIKA PENDIDIKAN.”
Shalawat beriring salam Penulis kirimkan kepada Junjungan Alam Nabi Besar Muhammad SAW, yang telah membimbing dan menuntun umatnya dari alam kegelapan yang penuh dengan kejahiliaan mengarah ke alam kejayaan dan kemajuan yang penuh dengan pengetahuan.
Tidak lupa kami haturkan terimakasih kami kepada Bapak Dosen pembimbing, yaitu Bapak Drs. SYAMSUL BAHRI. M. Pd, yang mana telah memberikan motivasi kepada kami, baik secara fisik maupun rohani dalam perkuliahan di kampus STAI MIFTAHUL ULUM ini.
Semoga penulisan ini dapat berguna atau bermanfaat bagi kita, amin.
Tanjungpinang, Juni 2011
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…..…………………………...............................................i
DAFTAR ISI………………………………….......................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang………………...………..............................................1
B. Rumusan masalah…….....................………………………………...1
C. Batasan masalah……………………………………………………..2
BAB II ETIKA PENDIDIKAN (PEMBENTUKAN KECERDASAN SPIRITUAL)............................................................................................................3
A. Konsep dan karakteristik kecerdasan spiritual…………………........3
B. Signifikansi pembentukan SQ dalam etika pendidikan......................4
C. Metode pendidikan berbasis pembentukan SQ...................................5
BAB III PENUTUP…………………...……………….…………...…………...…7
A. Kesimpulan….…………………………………………………........7
B. Saran………………………………………………………………....7
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Salah satu di antara sekian banyak tantangan dalam kebijakan dan perkembangan pendidikan di Indonesia, menurut Daoed Joesoef (2001: 197-199), adalah tiadanya atau kurang dihayatinya etika masa depan dalam penalaran dikalangan elit pemimpim bangsa. Etika masa depan timbul dari dan dibentuk oleh kesadaran bahwa semua manusia, sebagai individu maupun kolektif akan menjalani sisa hidupnya di masa depan bersama dengan sesama makhluk hidup lainnya yang ada di muka bumi.
Etika masa depan terkandung keharusan agar manusia berani menjawab tantangan terhadap kemampuan yang khas yang manusiawi untuk mengantisipasi, merumuskan nilai-nilai, dan menetapkan prioritas-prioritas dalam suasana yang tidak pasti agar generasi-generasi mendatang tidak menjadi mangsa dari proses yang menjadi semakin tidak terkendali di zaman mereka di kemudian hari.
Demi pembangunan masa depan yang tetap manusiawi, etika masa depan oleh Karena itu harus menjadi bagian dari etika pendidikan. Dalam konteks etika pendidikan, etika masa depan berkaitan dengan out put pendidikan, yakni tipe manusia ideal masa depan yang hendak di bentuk dalam proses pendidikan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah sebagaimana diurai di atas maka penulis menyusun rumusan masalah yakni sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pengertian kecerdasan spiritual?
2. Bagaimanakah proses pendidikan perlu menekankan pembentukan kecerdasan spiritual ?
3. Bagaimanakah metode pembelajaran dalam pembentukan kecerdasan spiritual?
C. Batasan Masalah
Bertitik tolak pada rumusan masalah di atas maka perumusan tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui pengertian kecerdasan spiritual
2. Mengetahui proses pendidikan perlu menekankan pembentukan kecerdasan spiritual.
3. Mengetahui metode pembelajaran dalam pembentukan kecerdasan spiritual.
BAB II
ETIKA PENDIDIKAN ( PEMBENTUKAN KECERDASAN SPIRITUAL )
A. Konsep dan Karakteristik Kecerdasan Spiritual
Konsep kecerdasan spiritual (spiritual quotient/SQ) pertama kali digagas dan dipopulerkan oleh Donah Zohar dan Ian Marshall (2000). Kedua penulis ini, yang masing-masing berasal dari Harvard University dan Oxford University, melalui riset yang komprehensif membuktikan bahwa sesungguhnya kecerdasan manusia yang paling tinggi terletak pada kecerdasan spiritualnya. Dengan mendasarkan pada hasil penelitian ahli psikologi/saraf, Michael Persinger (awal 1990-an) dan V.S. Ramachandran (1997), Zohar dan Marshall mengatakan bahwa terdapat God-Spot dalam otak manusia. God-Spot tersebut sudah built-in (tertanan mantap) sebagai pusat spiritual diantara jaringan saraf dan otak. Menurut Zohar dan Marshall (2000), ada dua hal yang merupakan unsure fundamental dari SQ, yaitu aspek nilai dan makna.
Berdasarkan identifikasi tentang dua unsur fundamental SQ tersebut, mereka mengatakan bahwa SQ adalah kecerdasan untuk mengahadapi dan memecahkan masalah makna dan nilai, kecerdasan menempatkan perilaku dan hidup manusia dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa jalan hidup seseorang lebih bermakna dibanding orang lain, dan kecerdasan ini tidak hanya untuk mengetahui nilai-nilai yang ada, tetapi juga untuk secara kreatif menemukan nilai-nilai baru.
Penting dikemukakan bahwa Zohar dan Marshall berpendapat SQ itu berbeda dengan agama, karena agama merupakan aturan-aturan yang datang dari luar (etika heteronom); sedangkan SQ adalah kemampuan internal, yaitu sesuatu yang menyentuh dan membimbing manusia dari dalam (etika otonom). Dalam hal ini agama, menurut mereka, adalah salah satu saja di antara banyak nilai yang dapat meningkatkan SQ, tetapi bukan merupakan penentu utama SQ yang tinggi. Sesuai dengan pengertian ini, inti SQ ialah bagaimana mendengarkan suara hati yang terdalam sebai sumber kebenaran yang meupakan karunia Tuhan, yang dari padanya seseorang dapat merasakan adanya sesuatu yang indah atau mulia dalam dirinya. Efektivitas suara hati akan mempengaruhi perilaku individu, sehingga akhirnya akan menghasilkan manusia unggul secara spiritual, yang mampu mengekplorasi dan menginternalisasi kekayaan ruhaniah dan jasmaniah dalam hidupnya.
Menurut Toto Tasmara (2001), dalam perspektif Islam karakteristik SQ adalah: (1) menampilkan sosok diri sebagai professional yang berakhlak, (2) pembawa keselamatan, keteduhan dan kelembutan, (3) terus menerus mengisi kehidupannya dengan cinta, (4) menjadikan hidup penuh arti, (5) bersiap menghadapi kematian, dan (6) merasakan seluruh kehidupannya selalu dimonito oleh kamera ilahiah. Secara singkat, dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa SQ adalah kemampuan “menjadikan” Tuhan sebagai mitra kerja dalam segenap aspek kehidupan. Karakteristiknya ialah unggul secara intelektual, kaya dalam amal, serta anggun dalam moral dan kebijaksanaan.
B. Signifikansi Pembentukan SQ dalam Etika Pendidikan.
Pendidikan adalah suatu proses panjang dalam rangka mengantarkan manusia menjadi seseorang yang kaya spiritual dan intelektual, sehingga dia dapat meningkatkan kualitas hidupnya di segala aspek dan menajalani kehidupan dengan cita-cita dan tujuan yang pasti (Maarif, 1996: 6). Dalam konteks ini Noeng Muhadjir (1987: 20-25) menyebutkan adanya tiga fungsi pendidikan, yaitu: pertama, pendidikan berfungsi menumbuhkan kreativitas peserta didik; kedua, pendidikan berfungsi mewariskan nilai-nilai kepada peserta didik; dan ketiga, pendidikan berfungsi meningkatkan kemampuan kerja produktif peserta didik. Ketiga fungsi pendidikan tersebut pada prinsipnya merupakan suatu kesatuan organic dan, karena itu, harus dilaksanakan secara terpadu dan berimbang. Namun dalam kenyataannya, praktek pendidikan kita yang berjalan selama ini cenderung hanya mengaktualisasikan fungsi pertama dan ketiga, tetapi mengabaikan fungsi kedua. Kenyataan inilah yang dimaksud oleh M. Rusli Karim (1991: 128-129) ketika dia mengatakan bahwa pendidikan kita hanya melakukan transfer og knowledge (alih pengetahuan) dan tidak melakukan transfer of value (alih nilai).
Demikian pula peristiwa-peristiwa kerusuhan dan konflik social yang sebagiannya bermuatan “sara” terus-menerus menjadi tontonan kita sehari-hari di era reformasi ini, suatu tontonan yang menunjukkan betapa parahnya krisis ukhuwah dalam kehidupan kita sebagai umat dan bangsa. Kuntowijoyo (2000:253-244) menyebut gejala ini sebagai kesenjangan antara kesadaran dan perilaku, suatu gejala yang merupakan anomie era ferormasi. Dalam menghadapi kondisi tersebut di atas, jauh dilubuk hati kita terasa kerinduan akan adanya nilai-nilai moral yang luhur yang timbul dari dalam jiwa setiap insan Indonesia, yang pada gilirannya berperan sebagai acuan hubungan social di antara sesama kita. Adanya nilai-nilai moral yang luhur tersebut diharapkan mampu membawa kesejukan bagi kehidupan kita sehari-hari. Dalam konteks inilah kita melihat bahwa pembentukan SQ menjadi sangat penting sebagai etika masa depan pendidikan nasional.Selain itu, semakin menguatnya desakan pemilikan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi untuk hidup bersama dalam pusaran global membuat SQ terasa kian penting peranannya. Djamaludin Ancok (2001) menjelaskan bahwa memasuki ekonomi baru yang virtual diperlukan empat modal, yaitu intelektual, modal social, modal spiritual, dan modal kesehatan. Menurutnya, modal spiritual menjadi sangat penting, karena upaya membangun manusia yang cerdas dengan IQ tinggi dan manusia pandai mengelola emosinya dalam berhubungan dengan orang lain tidaklah mengantarkan manusia pada kebermaknaan hidup.
C. Metode Pendidikan Berbasis Pembentukan SQ
Menurut Roger Garaudy (1986: 256-267), dari perspektif syari’ah kesadaran transcendental mempunyai tiga unsur. Pertama, pengakuan tentang ketergantungan manusia kepada Tuhan. Kedua, adanya perbedaan yang mutlah antara Tuhan dan manusia. Ketiga, pengakuan tentang adanya noema-norma mutlak dari Tuhan yang tidak berasal dari manusia.
Bertolak dari pandangan bahwa SQ yang berlandaskan kesadaran transcendental, maka secara teoritis pembentukan SQ yang sejati harus melalui pendidikan agama. Sehubungan dengan pembentukan SQ ini, Ary Ginanjar Agustian (2001) menyarankan perlunya diupayakan empat langkah pokok, yaitu: Melakukan kejernihan emosi (zero mind process) sebagai prasyarat lahirnya alam pikiran yang jernih dan suci (God-Spot/fitrah), yaitu kembali kepada hati dan pikiran yang bersifat meedeka serta bebas dari belenggu. Membangun mental yang berkaitan dengan kesadaran diri, yang dibangun dari alam pikiran dan emosi secara sistematis berdasarkan rukun iman (prinsip: bintang atau ilahi, malaikat, kepemimpinan, pembelajaran, masa depan, keteraturan). Membentuk ketangguhan pribadi, suatu langkah pengasahan hati yang telah terbentuk berdasarkan rukun islam, yang dimulai dari: (a) penetapan misi, (b) pembentukan karakter secara kontinyu dan intensif, dan (c) pelatihan pengendalian diri. Membentuk ketangguhan social, yaitu melakukan aliansi atau sinergi dengan orang lain atau lingkungan social sebagai suatu perwujudan tanggung jawab social seseorang yang telah memiliki ketangguhan pribadi. Hal ini dilakukan dengan dua langkah, yaitu (a) sinergi, dan (b) aplikasi total. Untuk itu diperlukan pemahaman tentang al-asmaul husna. Dengan al-asmaul husna yang merupakan kunci dasar rukuk imam dan rukun Islam, seseorang dapat merasakan dan mendeteksi satu per satu dorongan suara hati terdalam dengan jelas; juga perasaan serta suara hati orang lain yang pada hakekatnya bersuber pada suara hati Allah yang Maha Mulia dan Maha Benar.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Kecerdasan spiritual (SQ) pada hakekatnya adalah kemampuan pribadi yang tertanam dalam struktur mental untuk selalu menjadikan Tuhan sebagai mitra kerja dalam segenap aspek dan setiap langkah-langkah kehidupan. Karakteristik seseorang yang memiliki SQ yang tinggi adalah unggul secara intelektual, kaya dalam amal, serta anggun dalam moral dan kebijaksanaan (wisdom).
Secara substansial raison d’entre bagi perlunya menetapkan penbentukan SQ sebagai etika masa depan pendidikan nasional adalah fakta tentang adanya kebangkrutan moral yang melanda (sebagian) anak bangsa ini, yang pada kenyataannya telah melemahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
B. Saran.
Dalam praksis pendidikan agama Isam, motede yang tepat digunakan dalam proses pembelajaran berbasis pembentukan SQ adalah metode atau pendekatan substansialis beserta dua perangkat strategi pembelajarannya, yaitu strategi meaningful-discovery learning dan strategi values clarification.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin, 1996. “Perspektif ‘Link and Match’ Lembaga Pendidikan Tinggi Tenaga Kependidikan Agama Islam: Rekonstrusi atas Tinjauan Metodologi Pembudayaan Nilai- Nilai Keagamaan”. Jurnal Pendidikan Islam, No. 1 Th.I/Januari 1996.
Agustian, Ary Ginanjar, 2001. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual (ESQ). Jakarta: Arga.
Baswedan, Aliyah Rasyid, 2002. “Pola Asuh yang Mengembangkan Kecerdasan Spiritual”.
Freire, Paulo, 2000. Pendidikan Kaum Tertindas, alih bahasa Oetomo Dananjaya dkk. Jakarta: LP3ES.
Garaudy, Roger, 1986. Mencari Agama Pada Abad XX: Wasiat Filsafat Roger Garaudy, alih bahasa M. Sasjigi. Jakarta: Bulan Bintang.
Joesoef, Daoed, 2001. “Pembaharuan Pendidikan dan Pikiran”, dalam Sularto ( ed .). Masyarakat Warga dan Pergulatan Demokrasi: Antara Cita dan Fakta. Jakarta: Kompas.
Karis, M. Rusli. 1991, “Pendidikan Islam di Indonesia dalam Transformasi Sosial Budaya”, dalam Muslih Usa (ed.). Pendidikan Islam di Indonesia: Antara Cita dan Fakta. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Kuntowijoyo, 2000. “Kesadaran dan Perilaku”, dalam Selo Soemardjan ( ed .). Menuju Tata Indonesia Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sukamadinata, Nana Saodih. 2000. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Suyanto dan Djihan Hisyam, 2000. Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Melenium III. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa
Tasmara, Toto. 2001. Kecerdasan Ruhaniah (Transcendental Intelligence). Jakarta: Gema Insani Press.
Zohar, Donah dan Ian Marshall. 2000. SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual Dalam Berfikir Integralistik dan Holistic Untuk Memaknai Kehidupan. Bandung: Mizan
DIAJUKAN SEBAGAI SALAH SATU SYARAT UNTUK MENGIKUTI UJIAN SEMESTER, PRODI :
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEMESTER VI MATA KULIAH :
PSIKOLOGI AGAMA
DOSEN : Drs. SYAMSUL BAHRI. M.Pd
DISUSUN OLEH :
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MIFTAHUL ULUM
TANJUNGPINANG TAHUN 2011
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam yang telah melimpahkan Taufik Hidayah serta Inayah Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan tugas mata kuliah PIKOLOGI AGAMA, Dengan judul “ETIKA PENDIDIKAN.”
Shalawat beriring salam Penulis kirimkan kepada Junjungan Alam Nabi Besar Muhammad SAW, yang telah membimbing dan menuntun umatnya dari alam kegelapan yang penuh dengan kejahiliaan mengarah ke alam kejayaan dan kemajuan yang penuh dengan pengetahuan.
Tidak lupa kami haturkan terimakasih kami kepada Bapak Dosen pembimbing, yaitu Bapak Drs. SYAMSUL BAHRI. M. Pd, yang mana telah memberikan motivasi kepada kami, baik secara fisik maupun rohani dalam perkuliahan di kampus STAI MIFTAHUL ULUM ini.
Semoga penulisan ini dapat berguna atau bermanfaat bagi kita, amin.
Tanjungpinang, Juni 2011
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…..…………………………...............................................i
DAFTAR ISI………………………………….......................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang………………...………..............................................1
B. Rumusan masalah…….....................………………………………...1
C. Batasan masalah……………………………………………………..2
BAB II ETIKA PENDIDIKAN (PEMBENTUKAN KECERDASAN SPIRITUAL)............................................................................................................3
A. Konsep dan karakteristik kecerdasan spiritual…………………........3
B. Signifikansi pembentukan SQ dalam etika pendidikan......................4
C. Metode pendidikan berbasis pembentukan SQ...................................5
BAB III PENUTUP…………………...……………….…………...…………...…7
A. Kesimpulan….…………………………………………………........7
B. Saran………………………………………………………………....7
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Salah satu di antara sekian banyak tantangan dalam kebijakan dan perkembangan pendidikan di Indonesia, menurut Daoed Joesoef (2001: 197-199), adalah tiadanya atau kurang dihayatinya etika masa depan dalam penalaran dikalangan elit pemimpim bangsa. Etika masa depan timbul dari dan dibentuk oleh kesadaran bahwa semua manusia, sebagai individu maupun kolektif akan menjalani sisa hidupnya di masa depan bersama dengan sesama makhluk hidup lainnya yang ada di muka bumi.
Etika masa depan terkandung keharusan agar manusia berani menjawab tantangan terhadap kemampuan yang khas yang manusiawi untuk mengantisipasi, merumuskan nilai-nilai, dan menetapkan prioritas-prioritas dalam suasana yang tidak pasti agar generasi-generasi mendatang tidak menjadi mangsa dari proses yang menjadi semakin tidak terkendali di zaman mereka di kemudian hari.
Demi pembangunan masa depan yang tetap manusiawi, etika masa depan oleh Karena itu harus menjadi bagian dari etika pendidikan. Dalam konteks etika pendidikan, etika masa depan berkaitan dengan out put pendidikan, yakni tipe manusia ideal masa depan yang hendak di bentuk dalam proses pendidikan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah sebagaimana diurai di atas maka penulis menyusun rumusan masalah yakni sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pengertian kecerdasan spiritual?
2. Bagaimanakah proses pendidikan perlu menekankan pembentukan kecerdasan spiritual ?
3. Bagaimanakah metode pembelajaran dalam pembentukan kecerdasan spiritual?
C. Batasan Masalah
Bertitik tolak pada rumusan masalah di atas maka perumusan tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui pengertian kecerdasan spiritual
2. Mengetahui proses pendidikan perlu menekankan pembentukan kecerdasan spiritual.
3. Mengetahui metode pembelajaran dalam pembentukan kecerdasan spiritual.
BAB II
ETIKA PENDIDIKAN ( PEMBENTUKAN KECERDASAN SPIRITUAL )
A. Konsep dan Karakteristik Kecerdasan Spiritual
Konsep kecerdasan spiritual (spiritual quotient/SQ) pertama kali digagas dan dipopulerkan oleh Donah Zohar dan Ian Marshall (2000). Kedua penulis ini, yang masing-masing berasal dari Harvard University dan Oxford University, melalui riset yang komprehensif membuktikan bahwa sesungguhnya kecerdasan manusia yang paling tinggi terletak pada kecerdasan spiritualnya. Dengan mendasarkan pada hasil penelitian ahli psikologi/saraf, Michael Persinger (awal 1990-an) dan V.S. Ramachandran (1997), Zohar dan Marshall mengatakan bahwa terdapat God-Spot dalam otak manusia. God-Spot tersebut sudah built-in (tertanan mantap) sebagai pusat spiritual diantara jaringan saraf dan otak. Menurut Zohar dan Marshall (2000), ada dua hal yang merupakan unsure fundamental dari SQ, yaitu aspek nilai dan makna.
Berdasarkan identifikasi tentang dua unsur fundamental SQ tersebut, mereka mengatakan bahwa SQ adalah kecerdasan untuk mengahadapi dan memecahkan masalah makna dan nilai, kecerdasan menempatkan perilaku dan hidup manusia dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa jalan hidup seseorang lebih bermakna dibanding orang lain, dan kecerdasan ini tidak hanya untuk mengetahui nilai-nilai yang ada, tetapi juga untuk secara kreatif menemukan nilai-nilai baru.
Penting dikemukakan bahwa Zohar dan Marshall berpendapat SQ itu berbeda dengan agama, karena agama merupakan aturan-aturan yang datang dari luar (etika heteronom); sedangkan SQ adalah kemampuan internal, yaitu sesuatu yang menyentuh dan membimbing manusia dari dalam (etika otonom). Dalam hal ini agama, menurut mereka, adalah salah satu saja di antara banyak nilai yang dapat meningkatkan SQ, tetapi bukan merupakan penentu utama SQ yang tinggi. Sesuai dengan pengertian ini, inti SQ ialah bagaimana mendengarkan suara hati yang terdalam sebai sumber kebenaran yang meupakan karunia Tuhan, yang dari padanya seseorang dapat merasakan adanya sesuatu yang indah atau mulia dalam dirinya. Efektivitas suara hati akan mempengaruhi perilaku individu, sehingga akhirnya akan menghasilkan manusia unggul secara spiritual, yang mampu mengekplorasi dan menginternalisasi kekayaan ruhaniah dan jasmaniah dalam hidupnya.
Menurut Toto Tasmara (2001), dalam perspektif Islam karakteristik SQ adalah: (1) menampilkan sosok diri sebagai professional yang berakhlak, (2) pembawa keselamatan, keteduhan dan kelembutan, (3) terus menerus mengisi kehidupannya dengan cinta, (4) menjadikan hidup penuh arti, (5) bersiap menghadapi kematian, dan (6) merasakan seluruh kehidupannya selalu dimonito oleh kamera ilahiah. Secara singkat, dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa SQ adalah kemampuan “menjadikan” Tuhan sebagai mitra kerja dalam segenap aspek kehidupan. Karakteristiknya ialah unggul secara intelektual, kaya dalam amal, serta anggun dalam moral dan kebijaksanaan.
B. Signifikansi Pembentukan SQ dalam Etika Pendidikan.
Pendidikan adalah suatu proses panjang dalam rangka mengantarkan manusia menjadi seseorang yang kaya spiritual dan intelektual, sehingga dia dapat meningkatkan kualitas hidupnya di segala aspek dan menajalani kehidupan dengan cita-cita dan tujuan yang pasti (Maarif, 1996: 6). Dalam konteks ini Noeng Muhadjir (1987: 20-25) menyebutkan adanya tiga fungsi pendidikan, yaitu: pertama, pendidikan berfungsi menumbuhkan kreativitas peserta didik; kedua, pendidikan berfungsi mewariskan nilai-nilai kepada peserta didik; dan ketiga, pendidikan berfungsi meningkatkan kemampuan kerja produktif peserta didik. Ketiga fungsi pendidikan tersebut pada prinsipnya merupakan suatu kesatuan organic dan, karena itu, harus dilaksanakan secara terpadu dan berimbang. Namun dalam kenyataannya, praktek pendidikan kita yang berjalan selama ini cenderung hanya mengaktualisasikan fungsi pertama dan ketiga, tetapi mengabaikan fungsi kedua. Kenyataan inilah yang dimaksud oleh M. Rusli Karim (1991: 128-129) ketika dia mengatakan bahwa pendidikan kita hanya melakukan transfer og knowledge (alih pengetahuan) dan tidak melakukan transfer of value (alih nilai).
Demikian pula peristiwa-peristiwa kerusuhan dan konflik social yang sebagiannya bermuatan “sara” terus-menerus menjadi tontonan kita sehari-hari di era reformasi ini, suatu tontonan yang menunjukkan betapa parahnya krisis ukhuwah dalam kehidupan kita sebagai umat dan bangsa. Kuntowijoyo (2000:253-244) menyebut gejala ini sebagai kesenjangan antara kesadaran dan perilaku, suatu gejala yang merupakan anomie era ferormasi. Dalam menghadapi kondisi tersebut di atas, jauh dilubuk hati kita terasa kerinduan akan adanya nilai-nilai moral yang luhur yang timbul dari dalam jiwa setiap insan Indonesia, yang pada gilirannya berperan sebagai acuan hubungan social di antara sesama kita. Adanya nilai-nilai moral yang luhur tersebut diharapkan mampu membawa kesejukan bagi kehidupan kita sehari-hari. Dalam konteks inilah kita melihat bahwa pembentukan SQ menjadi sangat penting sebagai etika masa depan pendidikan nasional.Selain itu, semakin menguatnya desakan pemilikan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi untuk hidup bersama dalam pusaran global membuat SQ terasa kian penting peranannya. Djamaludin Ancok (2001) menjelaskan bahwa memasuki ekonomi baru yang virtual diperlukan empat modal, yaitu intelektual, modal social, modal spiritual, dan modal kesehatan. Menurutnya, modal spiritual menjadi sangat penting, karena upaya membangun manusia yang cerdas dengan IQ tinggi dan manusia pandai mengelola emosinya dalam berhubungan dengan orang lain tidaklah mengantarkan manusia pada kebermaknaan hidup.
C. Metode Pendidikan Berbasis Pembentukan SQ
Menurut Roger Garaudy (1986: 256-267), dari perspektif syari’ah kesadaran transcendental mempunyai tiga unsur. Pertama, pengakuan tentang ketergantungan manusia kepada Tuhan. Kedua, adanya perbedaan yang mutlah antara Tuhan dan manusia. Ketiga, pengakuan tentang adanya noema-norma mutlak dari Tuhan yang tidak berasal dari manusia.
Bertolak dari pandangan bahwa SQ yang berlandaskan kesadaran transcendental, maka secara teoritis pembentukan SQ yang sejati harus melalui pendidikan agama. Sehubungan dengan pembentukan SQ ini, Ary Ginanjar Agustian (2001) menyarankan perlunya diupayakan empat langkah pokok, yaitu: Melakukan kejernihan emosi (zero mind process) sebagai prasyarat lahirnya alam pikiran yang jernih dan suci (God-Spot/fitrah), yaitu kembali kepada hati dan pikiran yang bersifat meedeka serta bebas dari belenggu. Membangun mental yang berkaitan dengan kesadaran diri, yang dibangun dari alam pikiran dan emosi secara sistematis berdasarkan rukun iman (prinsip: bintang atau ilahi, malaikat, kepemimpinan, pembelajaran, masa depan, keteraturan). Membentuk ketangguhan pribadi, suatu langkah pengasahan hati yang telah terbentuk berdasarkan rukun islam, yang dimulai dari: (a) penetapan misi, (b) pembentukan karakter secara kontinyu dan intensif, dan (c) pelatihan pengendalian diri. Membentuk ketangguhan social, yaitu melakukan aliansi atau sinergi dengan orang lain atau lingkungan social sebagai suatu perwujudan tanggung jawab social seseorang yang telah memiliki ketangguhan pribadi. Hal ini dilakukan dengan dua langkah, yaitu (a) sinergi, dan (b) aplikasi total. Untuk itu diperlukan pemahaman tentang al-asmaul husna. Dengan al-asmaul husna yang merupakan kunci dasar rukuk imam dan rukun Islam, seseorang dapat merasakan dan mendeteksi satu per satu dorongan suara hati terdalam dengan jelas; juga perasaan serta suara hati orang lain yang pada hakekatnya bersuber pada suara hati Allah yang Maha Mulia dan Maha Benar.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Kecerdasan spiritual (SQ) pada hakekatnya adalah kemampuan pribadi yang tertanam dalam struktur mental untuk selalu menjadikan Tuhan sebagai mitra kerja dalam segenap aspek dan setiap langkah-langkah kehidupan. Karakteristik seseorang yang memiliki SQ yang tinggi adalah unggul secara intelektual, kaya dalam amal, serta anggun dalam moral dan kebijaksanaan (wisdom).
Secara substansial raison d’entre bagi perlunya menetapkan penbentukan SQ sebagai etika masa depan pendidikan nasional adalah fakta tentang adanya kebangkrutan moral yang melanda (sebagian) anak bangsa ini, yang pada kenyataannya telah melemahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
B. Saran.
Dalam praksis pendidikan agama Isam, motede yang tepat digunakan dalam proses pembelajaran berbasis pembentukan SQ adalah metode atau pendekatan substansialis beserta dua perangkat strategi pembelajarannya, yaitu strategi meaningful-discovery learning dan strategi values clarification.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin, 1996. “Perspektif ‘Link and Match’ Lembaga Pendidikan Tinggi Tenaga Kependidikan Agama Islam: Rekonstrusi atas Tinjauan Metodologi Pembudayaan Nilai- Nilai Keagamaan”. Jurnal Pendidikan Islam, No. 1 Th.I/Januari 1996.
Agustian, Ary Ginanjar, 2001. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual (ESQ). Jakarta: Arga.
Baswedan, Aliyah Rasyid, 2002. “Pola Asuh yang Mengembangkan Kecerdasan Spiritual”.
Freire, Paulo, 2000. Pendidikan Kaum Tertindas, alih bahasa Oetomo Dananjaya dkk. Jakarta: LP3ES.
Garaudy, Roger, 1986. Mencari Agama Pada Abad XX: Wasiat Filsafat Roger Garaudy, alih bahasa M. Sasjigi. Jakarta: Bulan Bintang.
Joesoef, Daoed, 2001. “Pembaharuan Pendidikan dan Pikiran”, dalam Sularto ( ed .). Masyarakat Warga dan Pergulatan Demokrasi: Antara Cita dan Fakta. Jakarta: Kompas.
Karis, M. Rusli. 1991, “Pendidikan Islam di Indonesia dalam Transformasi Sosial Budaya”, dalam Muslih Usa (ed.). Pendidikan Islam di Indonesia: Antara Cita dan Fakta. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Kuntowijoyo, 2000. “Kesadaran dan Perilaku”, dalam Selo Soemardjan ( ed .). Menuju Tata Indonesia Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sukamadinata, Nana Saodih. 2000. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Suyanto dan Djihan Hisyam, 2000. Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Melenium III. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa
Tasmara, Toto. 2001. Kecerdasan Ruhaniah (Transcendental Intelligence). Jakarta: Gema Insani Press.
Zohar, Donah dan Ian Marshall. 2000. SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual Dalam Berfikir Integralistik dan Holistic Untuk Memaknai Kehidupan. Bandung: Mizan
KEMATANGAN BERAGAMA (PSIKOLOGI AGAMA)
KEMATANGAN BERAGAMA
DIAJUKAN SEBAGAI SALAH SATU SYARAT UNTUK MENGIKUTI UJIAN SEMESTER, PRODI :
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEMESTER VI MATA KULIAH :
PSIKOLOGI AGAMA
DOSEN : Drs. SYAMSUL BAHRI. M.Pd
DISUSUN OLEH :
INNA KURNIASIH
1204.08.2905 / 1.08.3137
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MIFTAHUL ULUM
TANJUNGPINANG TAHUN 2011
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam yang telah melimpahkan Taufik Hidayah serta Inayah Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan tugas mata kuliah PIKOLOGI AGAMA, Dengan judul “KEMATANGAN BERAGAMA.”
Shalawat beriring salam Penulis kirimkan kepada Junjungan Alam Nabi Besar Muhammad SAW, yang telah membimbing dan menuntun umatnya dari alam kegelapan yang penuh dengan kejahiliaan mengarah ke alam kejayaan dan kemajuan yang penuh dengan pengetahuan.
Tidak lupa kami haturkan terimakasih kami kepada Bapak Dosen pembimbing, yaitu Bapak Drs. SYAMSUL BAHRI. M. Pd, yang mana telah memberikan motivasi kepada kami, baik secara fisik maupun rohani dalam perkuliahan di kampus STAI MIFTAHUL ULUM ini.
Semoga penulisan ini dapat berguna atau bermanfaat bagi kita, amin.
Tanjungpinang, Juni 2011
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…..…………………………...............................................i
DAFTAR ISI………………………………….......................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang………………...………..............................................1
B. Rumusan masalah…….....................………………………………...1
C. Batasan masalah……………………………………………………..2
BAB II KEMATANGAN BERAGAMA...............................................................3
A. Pengertian Kematangan beragama......................................................3
B. Faktor yang mempengaruhi perkembangan kepribadian manusia......3
C. Mistisisme dan psikologi agama.........................................................5
BAB III PENUTUP…………………...……………….…………...…………...…6
A. Kesimpulan….…………………………………………………........6
B. Saran………………………………………………………………....6
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagaimana diketahui dalam perkembangan manusia, manusia mengalami dua macam perkembangan yaitu perkembangan jasmani dan perkembangan rohani. Perkembangan jasmani diukur berdasarkan umur kronologis, puncak perkembangan jasmani yang dicapai manusia disebut kedewasaan. Sebaliknya perkembangan rohani diukur berdasarkan tingkat kemampuan (Abilitas), pencapaian tingkat abilitas tertentu bagi perkembangan rohani disebut istilah kematangan (Maturity).
Dalam makalah ini kami mencoba untuk memaparkan criteria orang yang matang beragama yang erat kaitannya dengan perkembangan manusia yang semua itu kami jelaskan dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah sebagaimana diurai di atas maka penulis menyusun rumusan masalah yakni sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pengertian dari kematangan beragama ?
2. Bagaimanakah Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Kepribadian Manusia ?
3. Bagaimanakah pengertian dari Mistisisme Dan Psikologi Agama?
C. Batasan Masalah
Bertitik tolak pada rumusan masalah di atas maka perumusan tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui pengertian dari kematangan beragama.
2. Mengetahui Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Kepribadian Manusia.
3. Mengetahui pengertian dari Mistisisme Dan Psikologi Agama.
BAB II
KEMATANGAN BERAGAMA
A. Pengertian Kematangan Beragama
Manusia mengalami dua macam perkembangan yaitu perkembangan jasmani dan rohani. Perkembangan jasmani diukur berdasarkan umur kronologis. Puncak perkembangan jasmani yang dicapai manusia disebut kedewasaan, sebaliknya perkembangan rohani diukur berdasarkan tingkat kemampuan (Abilitas). Pencapaian tingkat abilitas tertentu bagi perkembangan rohani disebut istilah kematangan (Maturity).
Kemampuan seseorang untuk mengenali atau memahami nilai agama yang terletak pada nilai-nilai luhurnya serta menjadikan nilai-nilai dalam bersikap dan bertingkah laku merupakan ciri dari kematanan beragama, jadi kematangan beragama terlihat dari kemampuan seseorang untuk memahami, menghayati serta mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari. Ia menganut suatu agama karena menurut keyakinannya agama tersebutlah yang terbaik. Karena itu ia berusaha menjadi penganut yang baik, keyakinan itu ditampilkannya dalam sikap dan tingkah laku keagamaan yang mencerminkan ketaatan terhadap agamanya.
B. Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Kepribadian Manusia.
Seperti halnya yang telah dijelaskan diatas dalam tingkat perkembangan yang dicapai diusia anak-anak, maka kedewasaan jasmani belum tentu berkembang setara dengan perkembangan rohani. Secara normal memang seorang yang sudah mencapai tingkat kedewasaan akan memiliki pola kematangan rohani seperti kematangan berpikir, kematangan pribadi maupun kematangan emosi. Tetapi perimbangan antara kedewasaan jasmani dan kematangan rohani ini ada kalanya tidak berjalan sejajar. Secara fisik (jasmani) seseorang mungkin sudah dewasa, tetapi secara rohani ia ternyata belum matang.
Keterlambatan pencapaian kematangan rohani ini menurut ahli psikokogi pendidikan sebagai keterlambatan dalam perkembangan kepribadian. Factor-faktor ini menurut Dr.Singgih D. Gunarsa dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu: factor yang terdapat pada diri anak dan factor yang berasal dari lingkungan.
Adapun factor intern anak itu yang dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian adalah: konstitusi tubuh, struktur dan keadaan fisik, koordinasi motorik, kemampuan mental dan bakat khusus (intelegensi tinggi, hambatan mental, bakat khusus), emosionalitas. Semua factor intern ini ikut mempengaruhi terlambat tidaknya perkembangan kepribadian seseorang.
Selanjutnya yang termasuk pengaruh factor lingkungan adalah: keluarga, sekolah (Singgih D.Gunarta: 88-96). Selain itu ada factor lain yang juga mempengaruhi perkembangan kepribadian seseorang yaitu kebudayaan tempat dimana seseorang itu dibesarkan. Kebudayaan turut mempengaruhi pembentukan pola tingkah laku serta berperan dalam pembentukan kepribadian. Kebudayaan yang menekankan pada norma yang didasarkan kepada nilai-nilai luhur seperti kejujuran, loyalitas, kerja sama bagaimanapun akan memberi pengaruh dalam pembentukan pola dan sikap yang merupakan unsur dalam kepribadian seseorang. Demikian pula halnya dengan kematangan beragama.
Dalam kehidupan tak jarang dijumpai mereka yang taat beragama itu dilatar belakangi oleh berbagai pengalaman agama serta type kepribadian masing-masing. Kondisi seperti ini menurut temuan psikologi agama mempengaruhi sikap keagamaan seseorang. Dengan demikian pengaruh tersebut secara umum memberi ciri-ciri tersendiri dalam sikap keberagamaan masing-masing.
C. Mistisisme Dan Psikologi Agama
Menurut Prof. Harun Nasution dalam tulisan Orientalis Barat, mistisisme yang dalam islam adalah tasyawuf disebut sufisme, sebutan ini tidak dikenal dalam agama-agama lain, melainkan khusus untuk sebutan mistisisme islam (Harun Nasution: 56). Sebagaimana halnya mistisisme, tasyawuf atau sufisme mempunyai tujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada dihadirat Tuhan. Intisarinya adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Tuhan dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi (Harun Nasution: 56). Kesadaran berada dekat Tuhan itu dapat mengambil bentuk ijtihad, bersatu dengan Tuhan.
Ciri khas Mistisisme yang pertama kali menarik para ahli psikologi agama adalah kenyataan bahwa pengalaman-pengalaman mistik atau perubahan-perubahan kesadaran yang mencapai puncaknya dalam kondisi yang digambarkannya sebagai kemanunggalan. Kondisi ini digambarkan oleh mereka yang mengalami hal itu dirasakan sebagai pengalaman menyatu dengan Tuhan.
Mistisisme dalam kajian psikologi agama dilihat dari hubungan sikap dan perilaku agama dengan gejala kejiwaan yang melatar belakanginya. Jadi bukan dilihat dari absah tidaknya mistisisme itu berdasarkan pandangan agama masing-masing. Dengan demikian mistisisme menurut pandangan psikologi agama hanya terbatas pada upaya untuk mempelajari gejala-gejala kejiwaan tertentu yang terdapat pada tokoh-tokoh mistik, tanpa harus mempermasalahkan agama yang mereka anut.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Berasarkan pembahasan pada uraian diatas maka dapat diambil suatu kesimpulan tentang criteria orang yang matang beragama, dalam hal ini akan terjawab masalah tersebut dengan terlebih dahulu memahami: pengertian matang beragama, factor yang mempengaruhi perkembangan kepribadian manusia, ciri-ciri dan sikap keberagamaan, mistisisme dan agama.
Keyakinan itu ditampilkan dalam sikap dan tingkah laku keagamaan yang mencerminkan ketaatan terhadap agamanya. Secara normal memang seorang yang sudah mencapai tingkat kedewasaan akan memiliki pola kematangan rohani seperti kematangan berfikir, kematangan kepribadian maupun kematangan emosi, tetapi perimbangan antara kedewasaan jasmani dan kematangan rohani ini ada kalanya tidak berjalan sejajar, secara fisik (jasmani) seseorang mungkin sudah dewasa, tetapi secara rohani ternyata ia belum matang.
B. Saran.
Kematangan beragama akan terlihat dari kemampuan seseorang dalam memahami, menghayati, serta mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang menganut suatu agama karena menurut keyakinannya agama tersebutlah yang terbaik, karena itu ia berusaha menjadi penganut yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
H. Jalaludin, Prof. Dr, Psikologi Agama Edisi Refisi 2002, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.
H. Ramayulis, Prof. Dr, Pengantar Psikologi Agama, Kalam Mulia, Jakarta, 2002.
Nasution Harun, Filsafat Mistisisme Dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973.
Tafsir Ahmad, Prof. Dr, Filsafat Ilmu, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2006
DIAJUKAN SEBAGAI SALAH SATU SYARAT UNTUK MENGIKUTI UJIAN SEMESTER, PRODI :
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEMESTER VI MATA KULIAH :
PSIKOLOGI AGAMA
DOSEN : Drs. SYAMSUL BAHRI. M.Pd
DISUSUN OLEH :
INNA KURNIASIH
1204.08.2905 / 1.08.3137
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MIFTAHUL ULUM
TANJUNGPINANG TAHUN 2011
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam yang telah melimpahkan Taufik Hidayah serta Inayah Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan tugas mata kuliah PIKOLOGI AGAMA, Dengan judul “KEMATANGAN BERAGAMA.”
Shalawat beriring salam Penulis kirimkan kepada Junjungan Alam Nabi Besar Muhammad SAW, yang telah membimbing dan menuntun umatnya dari alam kegelapan yang penuh dengan kejahiliaan mengarah ke alam kejayaan dan kemajuan yang penuh dengan pengetahuan.
Tidak lupa kami haturkan terimakasih kami kepada Bapak Dosen pembimbing, yaitu Bapak Drs. SYAMSUL BAHRI. M. Pd, yang mana telah memberikan motivasi kepada kami, baik secara fisik maupun rohani dalam perkuliahan di kampus STAI MIFTAHUL ULUM ini.
Semoga penulisan ini dapat berguna atau bermanfaat bagi kita, amin.
Tanjungpinang, Juni 2011
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…..…………………………...............................................i
DAFTAR ISI………………………………….......................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang………………...………..............................................1
B. Rumusan masalah…….....................………………………………...1
C. Batasan masalah……………………………………………………..2
BAB II KEMATANGAN BERAGAMA...............................................................3
A. Pengertian Kematangan beragama......................................................3
B. Faktor yang mempengaruhi perkembangan kepribadian manusia......3
C. Mistisisme dan psikologi agama.........................................................5
BAB III PENUTUP…………………...……………….…………...…………...…6
A. Kesimpulan….…………………………………………………........6
B. Saran………………………………………………………………....6
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagaimana diketahui dalam perkembangan manusia, manusia mengalami dua macam perkembangan yaitu perkembangan jasmani dan perkembangan rohani. Perkembangan jasmani diukur berdasarkan umur kronologis, puncak perkembangan jasmani yang dicapai manusia disebut kedewasaan. Sebaliknya perkembangan rohani diukur berdasarkan tingkat kemampuan (Abilitas), pencapaian tingkat abilitas tertentu bagi perkembangan rohani disebut istilah kematangan (Maturity).
Dalam makalah ini kami mencoba untuk memaparkan criteria orang yang matang beragama yang erat kaitannya dengan perkembangan manusia yang semua itu kami jelaskan dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah sebagaimana diurai di atas maka penulis menyusun rumusan masalah yakni sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pengertian dari kematangan beragama ?
2. Bagaimanakah Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Kepribadian Manusia ?
3. Bagaimanakah pengertian dari Mistisisme Dan Psikologi Agama?
C. Batasan Masalah
Bertitik tolak pada rumusan masalah di atas maka perumusan tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui pengertian dari kematangan beragama.
2. Mengetahui Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Kepribadian Manusia.
3. Mengetahui pengertian dari Mistisisme Dan Psikologi Agama.
BAB II
KEMATANGAN BERAGAMA
A. Pengertian Kematangan Beragama
Manusia mengalami dua macam perkembangan yaitu perkembangan jasmani dan rohani. Perkembangan jasmani diukur berdasarkan umur kronologis. Puncak perkembangan jasmani yang dicapai manusia disebut kedewasaan, sebaliknya perkembangan rohani diukur berdasarkan tingkat kemampuan (Abilitas). Pencapaian tingkat abilitas tertentu bagi perkembangan rohani disebut istilah kematangan (Maturity).
Kemampuan seseorang untuk mengenali atau memahami nilai agama yang terletak pada nilai-nilai luhurnya serta menjadikan nilai-nilai dalam bersikap dan bertingkah laku merupakan ciri dari kematanan beragama, jadi kematangan beragama terlihat dari kemampuan seseorang untuk memahami, menghayati serta mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari. Ia menganut suatu agama karena menurut keyakinannya agama tersebutlah yang terbaik. Karena itu ia berusaha menjadi penganut yang baik, keyakinan itu ditampilkannya dalam sikap dan tingkah laku keagamaan yang mencerminkan ketaatan terhadap agamanya.
B. Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Kepribadian Manusia.
Seperti halnya yang telah dijelaskan diatas dalam tingkat perkembangan yang dicapai diusia anak-anak, maka kedewasaan jasmani belum tentu berkembang setara dengan perkembangan rohani. Secara normal memang seorang yang sudah mencapai tingkat kedewasaan akan memiliki pola kematangan rohani seperti kematangan berpikir, kematangan pribadi maupun kematangan emosi. Tetapi perimbangan antara kedewasaan jasmani dan kematangan rohani ini ada kalanya tidak berjalan sejajar. Secara fisik (jasmani) seseorang mungkin sudah dewasa, tetapi secara rohani ia ternyata belum matang.
Keterlambatan pencapaian kematangan rohani ini menurut ahli psikokogi pendidikan sebagai keterlambatan dalam perkembangan kepribadian. Factor-faktor ini menurut Dr.Singgih D. Gunarsa dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu: factor yang terdapat pada diri anak dan factor yang berasal dari lingkungan.
Adapun factor intern anak itu yang dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian adalah: konstitusi tubuh, struktur dan keadaan fisik, koordinasi motorik, kemampuan mental dan bakat khusus (intelegensi tinggi, hambatan mental, bakat khusus), emosionalitas. Semua factor intern ini ikut mempengaruhi terlambat tidaknya perkembangan kepribadian seseorang.
Selanjutnya yang termasuk pengaruh factor lingkungan adalah: keluarga, sekolah (Singgih D.Gunarta: 88-96). Selain itu ada factor lain yang juga mempengaruhi perkembangan kepribadian seseorang yaitu kebudayaan tempat dimana seseorang itu dibesarkan. Kebudayaan turut mempengaruhi pembentukan pola tingkah laku serta berperan dalam pembentukan kepribadian. Kebudayaan yang menekankan pada norma yang didasarkan kepada nilai-nilai luhur seperti kejujuran, loyalitas, kerja sama bagaimanapun akan memberi pengaruh dalam pembentukan pola dan sikap yang merupakan unsur dalam kepribadian seseorang. Demikian pula halnya dengan kematangan beragama.
Dalam kehidupan tak jarang dijumpai mereka yang taat beragama itu dilatar belakangi oleh berbagai pengalaman agama serta type kepribadian masing-masing. Kondisi seperti ini menurut temuan psikologi agama mempengaruhi sikap keagamaan seseorang. Dengan demikian pengaruh tersebut secara umum memberi ciri-ciri tersendiri dalam sikap keberagamaan masing-masing.
C. Mistisisme Dan Psikologi Agama
Menurut Prof. Harun Nasution dalam tulisan Orientalis Barat, mistisisme yang dalam islam adalah tasyawuf disebut sufisme, sebutan ini tidak dikenal dalam agama-agama lain, melainkan khusus untuk sebutan mistisisme islam (Harun Nasution: 56). Sebagaimana halnya mistisisme, tasyawuf atau sufisme mempunyai tujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada dihadirat Tuhan. Intisarinya adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Tuhan dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi (Harun Nasution: 56). Kesadaran berada dekat Tuhan itu dapat mengambil bentuk ijtihad, bersatu dengan Tuhan.
Ciri khas Mistisisme yang pertama kali menarik para ahli psikologi agama adalah kenyataan bahwa pengalaman-pengalaman mistik atau perubahan-perubahan kesadaran yang mencapai puncaknya dalam kondisi yang digambarkannya sebagai kemanunggalan. Kondisi ini digambarkan oleh mereka yang mengalami hal itu dirasakan sebagai pengalaman menyatu dengan Tuhan.
Mistisisme dalam kajian psikologi agama dilihat dari hubungan sikap dan perilaku agama dengan gejala kejiwaan yang melatar belakanginya. Jadi bukan dilihat dari absah tidaknya mistisisme itu berdasarkan pandangan agama masing-masing. Dengan demikian mistisisme menurut pandangan psikologi agama hanya terbatas pada upaya untuk mempelajari gejala-gejala kejiwaan tertentu yang terdapat pada tokoh-tokoh mistik, tanpa harus mempermasalahkan agama yang mereka anut.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Berasarkan pembahasan pada uraian diatas maka dapat diambil suatu kesimpulan tentang criteria orang yang matang beragama, dalam hal ini akan terjawab masalah tersebut dengan terlebih dahulu memahami: pengertian matang beragama, factor yang mempengaruhi perkembangan kepribadian manusia, ciri-ciri dan sikap keberagamaan, mistisisme dan agama.
Keyakinan itu ditampilkan dalam sikap dan tingkah laku keagamaan yang mencerminkan ketaatan terhadap agamanya. Secara normal memang seorang yang sudah mencapai tingkat kedewasaan akan memiliki pola kematangan rohani seperti kematangan berfikir, kematangan kepribadian maupun kematangan emosi, tetapi perimbangan antara kedewasaan jasmani dan kematangan rohani ini ada kalanya tidak berjalan sejajar, secara fisik (jasmani) seseorang mungkin sudah dewasa, tetapi secara rohani ternyata ia belum matang.
B. Saran.
Kematangan beragama akan terlihat dari kemampuan seseorang dalam memahami, menghayati, serta mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang menganut suatu agama karena menurut keyakinannya agama tersebutlah yang terbaik, karena itu ia berusaha menjadi penganut yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
H. Jalaludin, Prof. Dr, Psikologi Agama Edisi Refisi 2002, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.
H. Ramayulis, Prof. Dr, Pengantar Psikologi Agama, Kalam Mulia, Jakarta, 2002.
Nasution Harun, Filsafat Mistisisme Dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973.
Tafsir Ahmad, Prof. Dr, Filsafat Ilmu, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2006
Sabtu, 25 Juni 2011
JIWA AGAMA PADA MASA DEWASA
JIWA AGAMA PADA MASA DEWASA
DIAJUKAN SEBAGAI SALAH SATU SYARAT UNTUK MENGIKUTI UJIAN SEMESTER, PRODI :
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEMESTER VI MATA KULIAH :
PSIKOLOGI AGAMA
DOSEN: Drs.SYAMSUL BAHRI. M. Pd
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK III
INNA KURNIASIH
SUGENG JATMICKO
SUSI ZULIMERIATY
MARTINAH
MARIANI
MUHAMMAD NUR FIRDAUS
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MIFTAHUL ULUM
TANJUNGPINANG TAHUN 2011
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam yang telah melimpahkan Taufik Hidayah serta Inayah Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan tugas mata kuliah PSIKOLOGI AGAMA , Dengan judul “JIWA AGAMA PADA MASA DEWASA.”
Shalawat beriring salam Penulis kirimkan kepada Junjungan Alam Nabi Besar Muhammad SAW, yang telah membimbing dan menuntun umatnya dari alam kegelapan yang penuh dengan kejahiliaan mengarah ke alam kejayaan dan kemajuan yang penuh dengan pengetahuan.
Tidak lupa kami haturkan terimakasih kami kepada Bapak Dosen pembimbing, yaitu Bapak Drs. Syamsul Bahri. M. Pd, yang mana telah memberikan motivasi kepada kami, baik secara fisik maupun rohani dalam perkuliahan di kampus STAI MIFTAHUL ULUM ini.
Semoga penulisan ini dapat berguna atau bermanfaat bagi kita, amin.
Tanjungpinang, Juni 2011
Kelompok III
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…..…………………………..............................................i
DAFTAR ISI…………………………………......................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang.....................................................................................1
B. Rumusan masalah…………………………………………………....2
C. Batasan masalah………………………………………………..……2
BAB II JIWA AGAMA PADA MASA DEWASA................................................4
A. Pengertian dan ciri kedewasaan.........................................................4
B. Karakteristik sikap keberagaman pada masa dewasa..........................5
C. Criteria orang yang matang dalam beragama......................................6
D. Masalah-masalah keberagmaan pada masa dewasa............................8
E. Manusia usia lanjut dan agama………………………………...……9
F. Perlakuan terhadap usia lanjut menurut Islam..................................10
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.......................................................................................12
B. Saran..................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah mahluk sosial yang eksploratif dan potensial. Dikatakan makhluk eksploratif , karena manusia memiliki kemampuan untuk
mengembangkan diri baik secara fisik maupun psikis. Manusia sebagai makhluk potensial karena pada diri manusia tersimpan sejumlah kemampuan bawaan yang dapat dikembangkan secara nyata.
Selanjutnya manusia juga disebut sebagai makhluk yang memiliki prinsip tanpa daya, karena untuk tumbuh dan berkembang secara normal manusia memerlukan bantuan dari luar dirinya.Bantuan yang dimaksud antara lain dalam bentuk bimbingan dan pengarahan dari lingkungannya. Bimbingan dan pengarahan yang diberikan dalam dalam membantu perkembangan tersebut pada hakekatnya diharapkan sejalan dengan kebutuhan manusia itu sendiri,yang sudah tersimpan seagai potensi bawaannya. Karena itu bimbingan yang tidak searah dengan potensi yang dimiliki akan berdampak negatif bagi perkembangan manusia.
Dalam diri kita selain mempelajari tentang perkembangan jiwa keduniaan ,kita juga mempelajari jiwa keagamaan karena kita harus melihat kebutuhan-kebutuhan manusia secara menyeluruh sebab kebutuhan manusia yang kurang seimbang antara kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohani akan menyebabkan timbul ketimpangan dalam perkembangan.
Jiwa keagamaan termasuk aspek rohani (psikis) akan sangat tergantung pada aspek fisik,dan dengan demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu sering dikatakan kesehatan fisik akan sangat berpengaruh pada kesehatan mental . Selain itu perkembangan juga ditentukan oleh tingkat usia .
Secara garis besar periode perkembangan itu dibagi menjadi 7 masa yaitu :
1 . Masa Pre-natal
2 . Masa Bayi
3 . Masa Kanak-kanak
4 . Masa Pre-pubertas
5 . Masa Pubertas
6 . Masa Dewasa
7 . Masa Usia Lanjut
Setiap masa perkembangan memiliki ciri-ciri sendiri ,termasuk jiwa keagamaan. Sehubungan dengan kebutuhan manusia dan periode perkembangan tersebut, maka dalam kaitannya dengan perkembangan jiwa keagamaan akan dilihat sebagaimana pengaruh timbal-balik antara keduanya. Dengan demikian perkembangan jiwa keagamaan juga akan dilihat dari tingkat usia dewasa dan usia lanjut.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah sebagaimana diurai di atas maka penulis menyusun rumusan masalah yakni sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pengertian dewasa dan ciri kedewasaan ?
2. Bagaimanakah karakteristik sikap keberagamaan pada masa dewasa ?
3. Bagaimanakah masalah-masalah keberagamaan pada masa dewasa ?
4. Bagaimanakah manusia usia lanjut dan agama ?
5. Bagaimanakah perlakuan terhadap usia lanjut menurut islam ?
C. Batasan Masalah
Bertitik tolak pada rumusan masalah di atas maka perumusan tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui bagaimanakah pengertian dewasa dan ciri kedewasaan
2. Mengetahui karakteristik sikap keberagamaan pada masa dewasa
3. Mengetahui masalah-masalah keberagamaan pada masa dewasa
4. Mengetahui manusia usia lanjut dan agama
5. Mengetahui perlakuan terhadap usia lanjut menurut islam
BAB II
ILMU JIWA AGAMA PADA MASA DEWASA
A. Pengertian dan Ciri Kedewasaan
Saat telah menginjak usia dewasa terlihat adanya kematangan jiwa mereka; “Saya hidup dan saya tahu untuk apa,” menggambarkan bahwa di usia dewasa orang sudah memiliki tanggung jawab serta sudah menyadari makna hidup. Dengan kata lain, orang dewasa nilai-nilai yang yang dipilihnya dan berusaha untuk mempertahankan nilai-nilai yang dipilihnya.
Elizabeth B. Hurlock membagi masa dewasa menjadi tiga bagian:
a. Masa dewasa awal (masa dewasa dini/young adult)
Masa dewasa awal adalah masa pencaharian kemantapan dan masa reproduktif yaitu suatu masa yang penuh dengan masalah dan ketegangan emosional, periode isolasi sosial, periode komitmen dan masa ketergantungan, perubahan nilai-nilai, kreativitas dan penyesuaian diri pada pola hidup yang baru.Kisaran umurnya antara 21 tahun sampai 40 tahun.
b. Masa dewasa madya (middle adulthood)
Masa dewasa madya ini berlangsung dari umur empat puluh sampai enam puluh tahun. Ciri-ciri yang menyangkut pribadi dan sosial antara lain masa dewasa madya merupakan masa transisi, dimana pria dan wanita meninggalkan ciri-ciri jasmani dan perilaku masa dewasanya dan memasuki suatu priode dalam kehidupan dengan ciri-ciri jasmani dan prilaku yang baru. Perhatian terhadap agama lebih besar dibandingkan dengan masa sebelumnya, dan kadang-kadang minat dan perhatiannya terhadap agama ini dilandasi kebutuhan pribadi dan sosial.
c. Masa usia lanjut (masa tua/older adult)
Usia lanjut adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang. Masa ini dimulai dari umur enam puluh tahun sampai mati, yang ditandai dengan adanya perubahan yang bersifat fisik dan psikologis yang semakin menurun.Adapun ciri-ciri yang berkaitan dengan penyesuaian pribadi dan sosialnya adalah sebagai berikut perubahan yang menyangkut kemampuan motorik, peruban kekuatan fisik, perubahan dalam fungsi psikologis, perubahan dalam sistem syaraf, perubahan penampilan.
B. Karakteristik Sikap Keberagamaan pada Masa Dewasa
Sejalan dengan tingkat perkembangan usianya, maka sikap keberagamaan pada orang dewasa antara lain memiliki ciri sebagai berikut:
1. Menerima kebenaran agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang matang, bukan sekedar ikut-ikutan.
2. Cenderung bersifat realitas, sehinggga norma-norma agama lebih banyak diaplikasikan dalam sikap dan tingkah laku.
3. Bersikap positif terhadap ajaran dan norma-norma agama, dan berusaha untuk mempelajari dan memperdalam pemahaman keagamaan.
4. Tingkat ketaatan beragama didasarkan atas pertimbangan dan tanggung jawab diri hingga sikap keberagamaan merupakan realisasi dari sikap hidup.
5. Bersikap lebih terbuka dan wawasan yang lebih luas.
6. Bersikap lebih kritis terhadap materi ajaran agama sehingga kemantapan beragama selain didasarkan atas pertimbangan pikiran, juga didasarkan atas pertimbangan hati nurani.
7. Sikap keberagamaan cenderung mengarah kepada tipe-tipe kepribadian masing-masing, sehingga terlihat adanya pengaruh kepribadian dalam menerima, memahami serta melaksanakan ajaran agama yang diyakininya.
8. Terlihat adanya hubungan antar sikap keberagamaan dengan kehidupan sosial, sehingga perhatian terhadap kepentingan organisasi sosial keagamaan sudah berkembang.
C. Kriteria Orang yang Matang dalam Beragama.
Kemampuan seseorang untuk mengenali atau memahami nilai agama yang terletak pada nilai-nilai luhurnya serta menjadikan nilai-nilai dalam bersikap dan bertingkah laku merupakan ciri dari kematangan beragama.Jadi, kematangan beragama terlihat dari kemampuan seseorang untuk memahami, menghayati serta serta mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam bukunya The Varieties Of Religious Experience William James menilai secara garis besar sikap dan prilaku keagamaan itu dapat dikelompokkan menjadi dua tipe, yaitu:
1. Tipe Orang yang Sakit Jiwa (The Sick Soul)
Menurut William James,sikap keberagamaan orang yang sakit jiwa ini ditemui pada mereka yang pernah mengalami latar belakang kehidupan keagamaan yang terganggu. Maksudnya orang tersebut meyakini suatu agama dan melaksanakan ajaran agama tidak didasarkan atas kematangan beragama yang berkembang secara bertahap sejak usia kanak-kanak hingga menginjak usia dewasa seperti lazimnya yang terjadi pada perkembangan secara normal. Mereka meyakini suatu agama dikarenakan oleh adanya penderitaan batin antara lain mungkin diakibatkan oleh musibah, konflik batin ataupun sebab lainnya yang sulit diungkapkan secara ilmiah.
Adapun ciri-ciri tindak keagamaan mereka yang mengalami kelainan kejiwaan itu umumnya cenderung menampilkan sikap:
- Pesimis
Dalam mengamalkan ajaran agama mereka cenderung bersikap pasrah diri kepada nasib yang telah mereka terima.
- Intovert
Sifat pesimis membawa mereka untuk bersikap objektif.Segala marabahaya dan penderitaan selalu dihubungkannya dengan kesalahan diri dan dosa yang telah diperbuat.
- Menyenangi paham yang ortodoks.
Sebagai pengaruh sifat pesimis dan introvert kehidupan jiwanya menjadi pasif. Hal ini lebih mendorong mereka untuk menyenangi paham keagamaan yang lebih konservatif dan ortodoks.
2. Tipe Orang yang Sehat Jiwa (Healthy-Minded-Ness)
Ciri dan sifat agama pada orang yang sehat jiwa menurut W. Starbuck yang dikemukakan oleh W. Houston Clark dalm bukunya Religion Psychology adalah:
- Optimis dan gembira
Orang yang sehat jiwa menghayati segala bentuk ajaran agama dengan perasaan optimis.Pahala menurut pandangannya adalah sebagai hasil jerih payah yang diberikan Tuhan.Sebaliknya, segala bentuk musibah dan penderitaan yang dianggap sebagai keteledoran dan kesalahan yang dibuatnya dan tidak beranggapan sebagai peringatan Tuhan terhadap dosa manusia.
- Ektrovet dan tak mendalam
Sikap optimis dan terbuka yang dimiliki orang yang sehat jasmani ini menyebabkan mereka mudah melupakankesan-kesan buruk dan luka hati yang tergores sebagai ekses agamis tindakannya.
- Menyenangi ajaran ketauhidan yang liberal
Sebagai pengaruh kepribadaian yang ekstrovet maka mereka cenderung:
1) Menyenangi teologi yang luwes dan tidak kakuk
2) Menunjukkan tingkah laku keagamaan yang lebih bebas
3) Mempelopori pembelaan terhadap kepentingan agama secara sosial.
D. Masalah-Masalah Keberagamaan pada Masa Dewasa
Seorang ahli psikologi Lewis Sherril, membagi masalah-masalah keberagamaan pada masa dewasa sebagai berikut :
a. Masa dewasa awal, masalah yang dihadapi adalah memilih arah hidup yang akan diambil dengan menghadapi godaan berbagai kemungkinan pilihan.
b. Masa dewasa tengah, masalah sentaral pada masa ini adalah mencapai pandangan hidup yang matang dan utuh yang dapat menjadi dasar dalam membuat keputusan secara konsisten.
c. Masa dewasa akhir, ciri utamanya adalah ‘pasrah’. Pada masa ini, minat dan kegiatan kurang beragama.Hidup menjadi kurang rumit dan lebih berpusat pada hal-hal yang sungguh-sungguh berarti. Kesederhanaan lebih sangat menonjol pada usia tua.
E. Manusia Usia Lanjut dan Agama
Pada tahap kedewasaan awal terlihat krisis psikologi yang dialami oleh karena adanya pertentangan antara kecenderungan untuk mengetatkan hubungan dengan kecenderungan untuk mengisolasi diri. Terlihat kecenderungan untuk berbagi perasaan bertukar pikiran dan memecahkan berbagai problema kehidupan dengan orang lain ( Rit Atkinson,1983 : 97).
Mereka yang menginjak usia ini (sekitar 25-40 Th) memiliki kecenderungan besar untuk berumah tangga, kehidupan sosial yang lebih luas serta memikirkan masalah-masalah agama yang sejalan denganlatar belakang kehidupannya .
Selanjutnya pada tingkat kedewasaan menengah (40-65 th) manusia mencapai puncak periode usia yang paling produktif . Tetapi dalam hubungannya dengan kejiwaan, maka pada usia ini terjadi krisis akibat pertentangan batin antara keinginan untuk bangkit dengan kemunduran diri. Karena itu umumnya pemikiran mereka tertuju pada upaya untuk kepentingan keluarga, masyarakat dan generasi mendatang.
Adapun di usia selanjutnya yaitu setelah usia di atas 65 tahun manusia akan menghadapi sejumlah permasalahan. Permasalahan pertama adalah penurunan kemampuan fisik hingga kekuatan fisik berkurang, aktifitas menurun, sering mengalami gangguan kesehatan yang menyebabkan mereka kehilangan semangat.
Adapun sikap keberagamaan pada usia lanjut justru mengalami peningkatan dan untuk proses seksual justru mengalami penurunan .
Berbagai latar belakang yang menjadi penyebab kecenderungan sikap keagamaan pada manusia usia lanjut, secara garis besar ciri-ciri keberagamaan di usia lanjut adalah :
1. Kehidupan keagamaan pada usia lanjut sudah mencapai tingkat kemantapan .
2. Meningkatnya kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan.
3. Mulai muncul pengakuan terhadap realitas tentang kehidupan akhirat secara lebih sungguh-sungguh.
4. Sikap keagamaan cenderung mengarah kepada kebutuhan saling cinta antar sesama manusia, serta sifat-sifat luhur.
5. Timbul rasa takut kepada kematian yang meningkat sejalan dengan usia yang bertambah lanjut .
F. Perlakuan terhadap Usia Lanjut Menurut Islam
Menurut Lita L . Atkinson, sebagian besar orang-orang yang berusia lanjut (usia 70-79 th) menyatakan tidak merasa dalam keterasingan dan masih menunjukkan aktifitas yang positif. Tetapi perasaan itu muncul setelah mereka memperoleh bimbingan semacam teraphi psikologi.
Kajian psikologi berhasil mengungkapkan bahwa di usia melewati setengah baya, arah perhatian mereka mengalami perubahan yang mendasar. Bila sebelumnya perhatian diarahkan pada kenikmatan materi dan duniawi, maka pada peralihan ke usia tua ini, perhatian mereka lebih tertuju kepada upaya menemukan ketenangan batin. Sejalan dengan perubahan itu, maka masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan akhirat mulai menarik perhatian mereka.
Perubahan orientasi ini diantarnya disebabkan oleh pengaruh psikologis. Di satu pihak kemampuan fisik pada usia tersebut sedah mengalami penurunan. Sebaliknya di pihak lain, memiliki khasanah pengalaman yang kaya. Kejayaan mereka di masa lalu yang pernah diperoleh sedah tidak lagi memperoleh perhatian karena secara fisik mereka dinilai sudah lemah.Kesenjangan ini menimbulkan gejolak dan kegelisahan-kegelisahan batin.
Apabila gejolak-gejolak batin tidak dapat di bendung lagi, maka muncul gangguan kejiwaan seperti stress, putus asa, ataupun pengasingan diri dari pergaulan sebagai wujud rasa rendah diri (inferiority).Dalam kasus-kasus seperti ini, umumnya agama dapat difungsikan dan diperankan sebagai penyelamat. Sebab melalui ajaran pengamalan agama, manusia usia lanjut merasa memperoleh tempat bergantung. Fenomena adanya para pejabat pensiunan seperti ini sudah jamak terlihat di masyarakat akhir-akhir ini .
Sebagai dalam memberi perlakuan yang baik kepada kedua orang tua ,Allah menyatakan :
Jika salah seorang di antara keduanya atau keduanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu , maka jangan sekali-kali kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan jangan kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia .(Qs 17 : 23)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Masa dewasa madya ini berlangsung dari umur empat puluh sampai enam puluh tahun.Usia lanjut adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang. Masa ini dimulai dari umur enam puluh tahun sampai mati, yang ditandai dengan adanya perubahan yang bersifat fisik dan psikologis yang semakin menurun.
Seorang ahli psikologi Lewis Sherril membagi masalah-masalah keberagamaan pada masa dewasa yaitu masa dewasa awal, masalah yang dihadapi adalah memilih arah hidup yang akan diambil dengan menghadapi godaan berbagai kemungkinan pilihan. Masa dewasa tengah, masalah sentral pada masa ini adalah mencapai pandangan hidup yang matang dan utuh yang dapat menjadi dasar dalam membuat keputusan secara konsisten.Masa dewasa akhir, ciri utamanya adalah ‘pasrah’.Pada masa ini, minat dan kegiatan kurang beragama.Hidup menjadi kurang rumit dan lebih berpusat pada hal-hal yang sungguh-sungguh berarti. Kesederhanaan lebih sangat menonjol pada usia tua.
Menurut Lita L . Atkinson, sebagian besar orang-orang yang berusia lanjut (usia 70-79 th) menyatakan tidak merasa dalam keterasingan dan masih menunjukkan aktifitas yang positif. Tetapi perasaan itu muncul setelah mereka memperoleh bimbingan semacam terapi psikologi.
B. Saran
Masa dewasa merupakan masa kematangan, yang mana terdapat pengambilan keputusan. Diharapkan pada masa ini seseorang yang telah dewasa mampu mengambil sikap adil dan bijaksana dalam urusan dunia dan akhirat. Kajian psikologi berhasil mengungkapkan bahwa di usia melewati setengah baya, arah perhatian mereka mengalami perubahan yang mendasar. Bila sebelumnya perhatian diarahkan pada kenikmatan materi dan duniawi, maka pada masa usia lanjut akan melangkah kepada, lebih tertuju kepada upaya menemukan ketenangan batin. Sejalan dengan perubahan itu, maka masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan akhirat mulai menarik perhatian mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. H. Jalaludin. Psikologi Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007
Sururin, M.Ag. Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004
http://sidrotul.multiply.com/journal/item/3/Perkembangan_Jiwa_Beragama_Pada_ Masa_Dewasa
http://aksay.multiply.com/journal/item/13/kebutuhan_keberagamaan_pada_usia dewasa_dan_lanjut_usia
DIAJUKAN SEBAGAI SALAH SATU SYARAT UNTUK MENGIKUTI UJIAN SEMESTER, PRODI :
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEMESTER VI MATA KULIAH :
PSIKOLOGI AGAMA
DOSEN: Drs.SYAMSUL BAHRI. M. Pd
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK III
INNA KURNIASIH
SUGENG JATMICKO
SUSI ZULIMERIATY
MARTINAH
MARIANI
MUHAMMAD NUR FIRDAUS
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MIFTAHUL ULUM
TANJUNGPINANG TAHUN 2011
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam yang telah melimpahkan Taufik Hidayah serta Inayah Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan tugas mata kuliah PSIKOLOGI AGAMA , Dengan judul “JIWA AGAMA PADA MASA DEWASA.”
Shalawat beriring salam Penulis kirimkan kepada Junjungan Alam Nabi Besar Muhammad SAW, yang telah membimbing dan menuntun umatnya dari alam kegelapan yang penuh dengan kejahiliaan mengarah ke alam kejayaan dan kemajuan yang penuh dengan pengetahuan.
Tidak lupa kami haturkan terimakasih kami kepada Bapak Dosen pembimbing, yaitu Bapak Drs. Syamsul Bahri. M. Pd, yang mana telah memberikan motivasi kepada kami, baik secara fisik maupun rohani dalam perkuliahan di kampus STAI MIFTAHUL ULUM ini.
Semoga penulisan ini dapat berguna atau bermanfaat bagi kita, amin.
Tanjungpinang, Juni 2011
Kelompok III
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…..…………………………..............................................i
DAFTAR ISI…………………………………......................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang.....................................................................................1
B. Rumusan masalah…………………………………………………....2
C. Batasan masalah………………………………………………..……2
BAB II JIWA AGAMA PADA MASA DEWASA................................................4
A. Pengertian dan ciri kedewasaan.........................................................4
B. Karakteristik sikap keberagaman pada masa dewasa..........................5
C. Criteria orang yang matang dalam beragama......................................6
D. Masalah-masalah keberagmaan pada masa dewasa............................8
E. Manusia usia lanjut dan agama………………………………...……9
F. Perlakuan terhadap usia lanjut menurut Islam..................................10
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.......................................................................................12
B. Saran..................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah mahluk sosial yang eksploratif dan potensial. Dikatakan makhluk eksploratif , karena manusia memiliki kemampuan untuk
mengembangkan diri baik secara fisik maupun psikis. Manusia sebagai makhluk potensial karena pada diri manusia tersimpan sejumlah kemampuan bawaan yang dapat dikembangkan secara nyata.
Selanjutnya manusia juga disebut sebagai makhluk yang memiliki prinsip tanpa daya, karena untuk tumbuh dan berkembang secara normal manusia memerlukan bantuan dari luar dirinya.Bantuan yang dimaksud antara lain dalam bentuk bimbingan dan pengarahan dari lingkungannya. Bimbingan dan pengarahan yang diberikan dalam dalam membantu perkembangan tersebut pada hakekatnya diharapkan sejalan dengan kebutuhan manusia itu sendiri,yang sudah tersimpan seagai potensi bawaannya. Karena itu bimbingan yang tidak searah dengan potensi yang dimiliki akan berdampak negatif bagi perkembangan manusia.
Dalam diri kita selain mempelajari tentang perkembangan jiwa keduniaan ,kita juga mempelajari jiwa keagamaan karena kita harus melihat kebutuhan-kebutuhan manusia secara menyeluruh sebab kebutuhan manusia yang kurang seimbang antara kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohani akan menyebabkan timbul ketimpangan dalam perkembangan.
Jiwa keagamaan termasuk aspek rohani (psikis) akan sangat tergantung pada aspek fisik,dan dengan demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu sering dikatakan kesehatan fisik akan sangat berpengaruh pada kesehatan mental . Selain itu perkembangan juga ditentukan oleh tingkat usia .
Secara garis besar periode perkembangan itu dibagi menjadi 7 masa yaitu :
1 . Masa Pre-natal
2 . Masa Bayi
3 . Masa Kanak-kanak
4 . Masa Pre-pubertas
5 . Masa Pubertas
6 . Masa Dewasa
7 . Masa Usia Lanjut
Setiap masa perkembangan memiliki ciri-ciri sendiri ,termasuk jiwa keagamaan. Sehubungan dengan kebutuhan manusia dan periode perkembangan tersebut, maka dalam kaitannya dengan perkembangan jiwa keagamaan akan dilihat sebagaimana pengaruh timbal-balik antara keduanya. Dengan demikian perkembangan jiwa keagamaan juga akan dilihat dari tingkat usia dewasa dan usia lanjut.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah sebagaimana diurai di atas maka penulis menyusun rumusan masalah yakni sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pengertian dewasa dan ciri kedewasaan ?
2. Bagaimanakah karakteristik sikap keberagamaan pada masa dewasa ?
3. Bagaimanakah masalah-masalah keberagamaan pada masa dewasa ?
4. Bagaimanakah manusia usia lanjut dan agama ?
5. Bagaimanakah perlakuan terhadap usia lanjut menurut islam ?
C. Batasan Masalah
Bertitik tolak pada rumusan masalah di atas maka perumusan tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui bagaimanakah pengertian dewasa dan ciri kedewasaan
2. Mengetahui karakteristik sikap keberagamaan pada masa dewasa
3. Mengetahui masalah-masalah keberagamaan pada masa dewasa
4. Mengetahui manusia usia lanjut dan agama
5. Mengetahui perlakuan terhadap usia lanjut menurut islam
BAB II
ILMU JIWA AGAMA PADA MASA DEWASA
A. Pengertian dan Ciri Kedewasaan
Saat telah menginjak usia dewasa terlihat adanya kematangan jiwa mereka; “Saya hidup dan saya tahu untuk apa,” menggambarkan bahwa di usia dewasa orang sudah memiliki tanggung jawab serta sudah menyadari makna hidup. Dengan kata lain, orang dewasa nilai-nilai yang yang dipilihnya dan berusaha untuk mempertahankan nilai-nilai yang dipilihnya.
Elizabeth B. Hurlock membagi masa dewasa menjadi tiga bagian:
a. Masa dewasa awal (masa dewasa dini/young adult)
Masa dewasa awal adalah masa pencaharian kemantapan dan masa reproduktif yaitu suatu masa yang penuh dengan masalah dan ketegangan emosional, periode isolasi sosial, periode komitmen dan masa ketergantungan, perubahan nilai-nilai, kreativitas dan penyesuaian diri pada pola hidup yang baru.Kisaran umurnya antara 21 tahun sampai 40 tahun.
b. Masa dewasa madya (middle adulthood)
Masa dewasa madya ini berlangsung dari umur empat puluh sampai enam puluh tahun. Ciri-ciri yang menyangkut pribadi dan sosial antara lain masa dewasa madya merupakan masa transisi, dimana pria dan wanita meninggalkan ciri-ciri jasmani dan perilaku masa dewasanya dan memasuki suatu priode dalam kehidupan dengan ciri-ciri jasmani dan prilaku yang baru. Perhatian terhadap agama lebih besar dibandingkan dengan masa sebelumnya, dan kadang-kadang minat dan perhatiannya terhadap agama ini dilandasi kebutuhan pribadi dan sosial.
c. Masa usia lanjut (masa tua/older adult)
Usia lanjut adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang. Masa ini dimulai dari umur enam puluh tahun sampai mati, yang ditandai dengan adanya perubahan yang bersifat fisik dan psikologis yang semakin menurun.Adapun ciri-ciri yang berkaitan dengan penyesuaian pribadi dan sosialnya adalah sebagai berikut perubahan yang menyangkut kemampuan motorik, peruban kekuatan fisik, perubahan dalam fungsi psikologis, perubahan dalam sistem syaraf, perubahan penampilan.
B. Karakteristik Sikap Keberagamaan pada Masa Dewasa
Sejalan dengan tingkat perkembangan usianya, maka sikap keberagamaan pada orang dewasa antara lain memiliki ciri sebagai berikut:
1. Menerima kebenaran agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang matang, bukan sekedar ikut-ikutan.
2. Cenderung bersifat realitas, sehinggga norma-norma agama lebih banyak diaplikasikan dalam sikap dan tingkah laku.
3. Bersikap positif terhadap ajaran dan norma-norma agama, dan berusaha untuk mempelajari dan memperdalam pemahaman keagamaan.
4. Tingkat ketaatan beragama didasarkan atas pertimbangan dan tanggung jawab diri hingga sikap keberagamaan merupakan realisasi dari sikap hidup.
5. Bersikap lebih terbuka dan wawasan yang lebih luas.
6. Bersikap lebih kritis terhadap materi ajaran agama sehingga kemantapan beragama selain didasarkan atas pertimbangan pikiran, juga didasarkan atas pertimbangan hati nurani.
7. Sikap keberagamaan cenderung mengarah kepada tipe-tipe kepribadian masing-masing, sehingga terlihat adanya pengaruh kepribadian dalam menerima, memahami serta melaksanakan ajaran agama yang diyakininya.
8. Terlihat adanya hubungan antar sikap keberagamaan dengan kehidupan sosial, sehingga perhatian terhadap kepentingan organisasi sosial keagamaan sudah berkembang.
C. Kriteria Orang yang Matang dalam Beragama.
Kemampuan seseorang untuk mengenali atau memahami nilai agama yang terletak pada nilai-nilai luhurnya serta menjadikan nilai-nilai dalam bersikap dan bertingkah laku merupakan ciri dari kematangan beragama.Jadi, kematangan beragama terlihat dari kemampuan seseorang untuk memahami, menghayati serta serta mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam bukunya The Varieties Of Religious Experience William James menilai secara garis besar sikap dan prilaku keagamaan itu dapat dikelompokkan menjadi dua tipe, yaitu:
1. Tipe Orang yang Sakit Jiwa (The Sick Soul)
Menurut William James,sikap keberagamaan orang yang sakit jiwa ini ditemui pada mereka yang pernah mengalami latar belakang kehidupan keagamaan yang terganggu. Maksudnya orang tersebut meyakini suatu agama dan melaksanakan ajaran agama tidak didasarkan atas kematangan beragama yang berkembang secara bertahap sejak usia kanak-kanak hingga menginjak usia dewasa seperti lazimnya yang terjadi pada perkembangan secara normal. Mereka meyakini suatu agama dikarenakan oleh adanya penderitaan batin antara lain mungkin diakibatkan oleh musibah, konflik batin ataupun sebab lainnya yang sulit diungkapkan secara ilmiah.
Adapun ciri-ciri tindak keagamaan mereka yang mengalami kelainan kejiwaan itu umumnya cenderung menampilkan sikap:
- Pesimis
Dalam mengamalkan ajaran agama mereka cenderung bersikap pasrah diri kepada nasib yang telah mereka terima.
- Intovert
Sifat pesimis membawa mereka untuk bersikap objektif.Segala marabahaya dan penderitaan selalu dihubungkannya dengan kesalahan diri dan dosa yang telah diperbuat.
- Menyenangi paham yang ortodoks.
Sebagai pengaruh sifat pesimis dan introvert kehidupan jiwanya menjadi pasif. Hal ini lebih mendorong mereka untuk menyenangi paham keagamaan yang lebih konservatif dan ortodoks.
2. Tipe Orang yang Sehat Jiwa (Healthy-Minded-Ness)
Ciri dan sifat agama pada orang yang sehat jiwa menurut W. Starbuck yang dikemukakan oleh W. Houston Clark dalm bukunya Religion Psychology adalah:
- Optimis dan gembira
Orang yang sehat jiwa menghayati segala bentuk ajaran agama dengan perasaan optimis.Pahala menurut pandangannya adalah sebagai hasil jerih payah yang diberikan Tuhan.Sebaliknya, segala bentuk musibah dan penderitaan yang dianggap sebagai keteledoran dan kesalahan yang dibuatnya dan tidak beranggapan sebagai peringatan Tuhan terhadap dosa manusia.
- Ektrovet dan tak mendalam
Sikap optimis dan terbuka yang dimiliki orang yang sehat jasmani ini menyebabkan mereka mudah melupakankesan-kesan buruk dan luka hati yang tergores sebagai ekses agamis tindakannya.
- Menyenangi ajaran ketauhidan yang liberal
Sebagai pengaruh kepribadaian yang ekstrovet maka mereka cenderung:
1) Menyenangi teologi yang luwes dan tidak kakuk
2) Menunjukkan tingkah laku keagamaan yang lebih bebas
3) Mempelopori pembelaan terhadap kepentingan agama secara sosial.
D. Masalah-Masalah Keberagamaan pada Masa Dewasa
Seorang ahli psikologi Lewis Sherril, membagi masalah-masalah keberagamaan pada masa dewasa sebagai berikut :
a. Masa dewasa awal, masalah yang dihadapi adalah memilih arah hidup yang akan diambil dengan menghadapi godaan berbagai kemungkinan pilihan.
b. Masa dewasa tengah, masalah sentaral pada masa ini adalah mencapai pandangan hidup yang matang dan utuh yang dapat menjadi dasar dalam membuat keputusan secara konsisten.
c. Masa dewasa akhir, ciri utamanya adalah ‘pasrah’. Pada masa ini, minat dan kegiatan kurang beragama.Hidup menjadi kurang rumit dan lebih berpusat pada hal-hal yang sungguh-sungguh berarti. Kesederhanaan lebih sangat menonjol pada usia tua.
E. Manusia Usia Lanjut dan Agama
Pada tahap kedewasaan awal terlihat krisis psikologi yang dialami oleh karena adanya pertentangan antara kecenderungan untuk mengetatkan hubungan dengan kecenderungan untuk mengisolasi diri. Terlihat kecenderungan untuk berbagi perasaan bertukar pikiran dan memecahkan berbagai problema kehidupan dengan orang lain ( Rit Atkinson,1983 : 97).
Mereka yang menginjak usia ini (sekitar 25-40 Th) memiliki kecenderungan besar untuk berumah tangga, kehidupan sosial yang lebih luas serta memikirkan masalah-masalah agama yang sejalan denganlatar belakang kehidupannya .
Selanjutnya pada tingkat kedewasaan menengah (40-65 th) manusia mencapai puncak periode usia yang paling produktif . Tetapi dalam hubungannya dengan kejiwaan, maka pada usia ini terjadi krisis akibat pertentangan batin antara keinginan untuk bangkit dengan kemunduran diri. Karena itu umumnya pemikiran mereka tertuju pada upaya untuk kepentingan keluarga, masyarakat dan generasi mendatang.
Adapun di usia selanjutnya yaitu setelah usia di atas 65 tahun manusia akan menghadapi sejumlah permasalahan. Permasalahan pertama adalah penurunan kemampuan fisik hingga kekuatan fisik berkurang, aktifitas menurun, sering mengalami gangguan kesehatan yang menyebabkan mereka kehilangan semangat.
Adapun sikap keberagamaan pada usia lanjut justru mengalami peningkatan dan untuk proses seksual justru mengalami penurunan .
Berbagai latar belakang yang menjadi penyebab kecenderungan sikap keagamaan pada manusia usia lanjut, secara garis besar ciri-ciri keberagamaan di usia lanjut adalah :
1. Kehidupan keagamaan pada usia lanjut sudah mencapai tingkat kemantapan .
2. Meningkatnya kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan.
3. Mulai muncul pengakuan terhadap realitas tentang kehidupan akhirat secara lebih sungguh-sungguh.
4. Sikap keagamaan cenderung mengarah kepada kebutuhan saling cinta antar sesama manusia, serta sifat-sifat luhur.
5. Timbul rasa takut kepada kematian yang meningkat sejalan dengan usia yang bertambah lanjut .
F. Perlakuan terhadap Usia Lanjut Menurut Islam
Menurut Lita L . Atkinson, sebagian besar orang-orang yang berusia lanjut (usia 70-79 th) menyatakan tidak merasa dalam keterasingan dan masih menunjukkan aktifitas yang positif. Tetapi perasaan itu muncul setelah mereka memperoleh bimbingan semacam teraphi psikologi.
Kajian psikologi berhasil mengungkapkan bahwa di usia melewati setengah baya, arah perhatian mereka mengalami perubahan yang mendasar. Bila sebelumnya perhatian diarahkan pada kenikmatan materi dan duniawi, maka pada peralihan ke usia tua ini, perhatian mereka lebih tertuju kepada upaya menemukan ketenangan batin. Sejalan dengan perubahan itu, maka masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan akhirat mulai menarik perhatian mereka.
Perubahan orientasi ini diantarnya disebabkan oleh pengaruh psikologis. Di satu pihak kemampuan fisik pada usia tersebut sedah mengalami penurunan. Sebaliknya di pihak lain, memiliki khasanah pengalaman yang kaya. Kejayaan mereka di masa lalu yang pernah diperoleh sedah tidak lagi memperoleh perhatian karena secara fisik mereka dinilai sudah lemah.Kesenjangan ini menimbulkan gejolak dan kegelisahan-kegelisahan batin.
Apabila gejolak-gejolak batin tidak dapat di bendung lagi, maka muncul gangguan kejiwaan seperti stress, putus asa, ataupun pengasingan diri dari pergaulan sebagai wujud rasa rendah diri (inferiority).Dalam kasus-kasus seperti ini, umumnya agama dapat difungsikan dan diperankan sebagai penyelamat. Sebab melalui ajaran pengamalan agama, manusia usia lanjut merasa memperoleh tempat bergantung. Fenomena adanya para pejabat pensiunan seperti ini sudah jamak terlihat di masyarakat akhir-akhir ini .
Sebagai dalam memberi perlakuan yang baik kepada kedua orang tua ,Allah menyatakan :
Jika salah seorang di antara keduanya atau keduanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu , maka jangan sekali-kali kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan jangan kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia .(Qs 17 : 23)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Masa dewasa madya ini berlangsung dari umur empat puluh sampai enam puluh tahun.Usia lanjut adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang. Masa ini dimulai dari umur enam puluh tahun sampai mati, yang ditandai dengan adanya perubahan yang bersifat fisik dan psikologis yang semakin menurun.
Seorang ahli psikologi Lewis Sherril membagi masalah-masalah keberagamaan pada masa dewasa yaitu masa dewasa awal, masalah yang dihadapi adalah memilih arah hidup yang akan diambil dengan menghadapi godaan berbagai kemungkinan pilihan. Masa dewasa tengah, masalah sentral pada masa ini adalah mencapai pandangan hidup yang matang dan utuh yang dapat menjadi dasar dalam membuat keputusan secara konsisten.Masa dewasa akhir, ciri utamanya adalah ‘pasrah’.Pada masa ini, minat dan kegiatan kurang beragama.Hidup menjadi kurang rumit dan lebih berpusat pada hal-hal yang sungguh-sungguh berarti. Kesederhanaan lebih sangat menonjol pada usia tua.
Menurut Lita L . Atkinson, sebagian besar orang-orang yang berusia lanjut (usia 70-79 th) menyatakan tidak merasa dalam keterasingan dan masih menunjukkan aktifitas yang positif. Tetapi perasaan itu muncul setelah mereka memperoleh bimbingan semacam terapi psikologi.
B. Saran
Masa dewasa merupakan masa kematangan, yang mana terdapat pengambilan keputusan. Diharapkan pada masa ini seseorang yang telah dewasa mampu mengambil sikap adil dan bijaksana dalam urusan dunia dan akhirat. Kajian psikologi berhasil mengungkapkan bahwa di usia melewati setengah baya, arah perhatian mereka mengalami perubahan yang mendasar. Bila sebelumnya perhatian diarahkan pada kenikmatan materi dan duniawi, maka pada masa usia lanjut akan melangkah kepada, lebih tertuju kepada upaya menemukan ketenangan batin. Sejalan dengan perubahan itu, maka masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan akhirat mulai menarik perhatian mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. H. Jalaludin. Psikologi Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007
Sururin, M.Ag. Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004
http://sidrotul.multiply.com/journal/item/3/Perkembangan_Jiwa_Beragama_Pada_ Masa_Dewasa
http://aksay.multiply.com/journal/item/13/kebutuhan_keberagamaan_pada_usia dewasa_dan_lanjut_usia
Selasa, 07 Juni 2011
percakapan di hotel
MAKE A ROOM RESERVATION
A = Reservation staff
B = Mrs Yulis Samoa [Guest]
A : Good morning Reservation [of Shine Hotel], how may I asist you?
B : I want to book a room [make a room reservation].
A : When would you like to stay with us?
B : Around the end of this [the] year.
A : All right Mam. We have 3 types of room, standard, deluxe, and suite. The price of the standard room is $ 100 [one hundred dollars] per night, deluxe room is $ 200 [two hundred dollars] per night, and the suite is $ 400 [four hundred dollars] per night. What [which] type of room would you like to book?
B : I want to book a deluxe room for me and my husband.
A : Please wait a moment. I will check if the deluxe room is still available for the end of the year.
A : All right Mam, we still have deluxe room available for the end of the year. May we know your arrival and departure date?
B : I will arrive on 27th December and depart on January 03rd.
A : All right Mam, I will make a room reservation for you. Could I have [know] your name please?
B : Yulis Samoa
A : Could you spell it for me please?
B : Y for Yankee, U for Uniform, L for Lima, I for Indian, S for Sierra, S for Sierra, A for Alpha, M for Mike, O for Oscar, A for Alpha.
A : All right Mrs. Samoa. I have made a room reservation for you. You will check in on December 27 and check out on January 03, total 7 [seven] nights. I will send the confirmation by fax. Could I have your fax number?
B : I am sorry I don’t have fax.
A : How about email?
B : Yes, this is my email address : yulissamoa@yahoo.com
A : Thank you. I will send the confirmation by email.
B : Thank you very much.
Source : http://www.yulissamoa.com/contoh-percakapan-dalam-bahasa-inggris
Terjemahannya adalah :
A = Staff Reservasi
B = Ibu Yulis Samoa [Tamu]
A : Selamat pagi Reservation [Shine Hotel], bagaimana saya bisa [boleh] membantu Anda?
B : Selamat pagi. Saya mau memesan kamar.
A : Kapan Anda ingin tinggal bersama kita?
B : Sekitar akhir tahun ini.
A : Baiklah Ibu. Kami mempunyai tiga jenis kamar, yaitu standar, deluxe dan suite. Harga kamar standar $ 100 per malam, kamar deluxe $ 200 per malam, dan suite $ 400 per malam. Kamar jenis mana yang ingin Ibu pesan?
B : Saya ingin memesan deluxe room untuk saya dan suami saya.
A : Mohon tunggu sebentar. Saya akan mengecek apakah kamar deluxe masih tersedia untuk akhir tahun ini.
A : Baik Ibu, kami masih punya kamar deluxe untuk akhir tahun. Boleh kami tahu kapan tanggal kedatangan dan keberangkatan Anda?
B : Saya akan datang tanggal 27 Desember dan berangkat tanggal 3 Januari.
A : Baik Ibu, saya akan membuatkan pemesanan kamar untuk Anda. Bisa saya tahu nama Ibu?
B : Yulis Samoa.
A : Bisakah Ibu mengejanya untuk saya?
B : Y untuk Yankee, U untuk Uniform, L untuk Lima, I untuk Indian, S untuk Sierra, S untuk Sierra, A untuk Alpha, M untuk Mike, O untuk Oscar, A untuk Alpha.
A : Terima kasih Ibu Samoa. Saya sudah membuat reservasi untuk Anda. Anda akan check in tanggal 27 Desember dan check out tanggal 3 Januari. Semuanya 7 malam. Kami akan mengirimkan konfirmasi lewat fax. Bisakah kami minta nomor fax Anda?
B : Maaf saya tidak punya fax.
A : Bagaimana dengan email?
B : Ya, ini alamat email saya : yulissamoa@yahoo.com
A : Terima kasih. Saya akan kirimkan konfirmasinya lewat email.
B : Terima kasih.
http://www.yulissamoa.com/contoh-percakapan-dalam-bahasa-inggris
A = Reservation staff
B = Mrs Yulis Samoa [Guest]
A : Good morning Reservation [of Shine Hotel], how may I asist you?
B : I want to book a room [make a room reservation].
A : When would you like to stay with us?
B : Around the end of this [the] year.
A : All right Mam. We have 3 types of room, standard, deluxe, and suite. The price of the standard room is $ 100 [one hundred dollars] per night, deluxe room is $ 200 [two hundred dollars] per night, and the suite is $ 400 [four hundred dollars] per night. What [which] type of room would you like to book?
B : I want to book a deluxe room for me and my husband.
A : Please wait a moment. I will check if the deluxe room is still available for the end of the year.
A : All right Mam, we still have deluxe room available for the end of the year. May we know your arrival and departure date?
B : I will arrive on 27th December and depart on January 03rd.
A : All right Mam, I will make a room reservation for you. Could I have [know] your name please?
B : Yulis Samoa
A : Could you spell it for me please?
B : Y for Yankee, U for Uniform, L for Lima, I for Indian, S for Sierra, S for Sierra, A for Alpha, M for Mike, O for Oscar, A for Alpha.
A : All right Mrs. Samoa. I have made a room reservation for you. You will check in on December 27 and check out on January 03, total 7 [seven] nights. I will send the confirmation by fax. Could I have your fax number?
B : I am sorry I don’t have fax.
A : How about email?
B : Yes, this is my email address : yulissamoa@yahoo.com
A : Thank you. I will send the confirmation by email.
B : Thank you very much.
Source : http://www.yulissamoa.com/contoh-percakapan-dalam-bahasa-inggris
Terjemahannya adalah :
A = Staff Reservasi
B = Ibu Yulis Samoa [Tamu]
A : Selamat pagi Reservation [Shine Hotel], bagaimana saya bisa [boleh] membantu Anda?
B : Selamat pagi. Saya mau memesan kamar.
A : Kapan Anda ingin tinggal bersama kita?
B : Sekitar akhir tahun ini.
A : Baiklah Ibu. Kami mempunyai tiga jenis kamar, yaitu standar, deluxe dan suite. Harga kamar standar $ 100 per malam, kamar deluxe $ 200 per malam, dan suite $ 400 per malam. Kamar jenis mana yang ingin Ibu pesan?
B : Saya ingin memesan deluxe room untuk saya dan suami saya.
A : Mohon tunggu sebentar. Saya akan mengecek apakah kamar deluxe masih tersedia untuk akhir tahun ini.
A : Baik Ibu, kami masih punya kamar deluxe untuk akhir tahun. Boleh kami tahu kapan tanggal kedatangan dan keberangkatan Anda?
B : Saya akan datang tanggal 27 Desember dan berangkat tanggal 3 Januari.
A : Baik Ibu, saya akan membuatkan pemesanan kamar untuk Anda. Bisa saya tahu nama Ibu?
B : Yulis Samoa.
A : Bisakah Ibu mengejanya untuk saya?
B : Y untuk Yankee, U untuk Uniform, L untuk Lima, I untuk Indian, S untuk Sierra, S untuk Sierra, A untuk Alpha, M untuk Mike, O untuk Oscar, A untuk Alpha.
A : Terima kasih Ibu Samoa. Saya sudah membuat reservasi untuk Anda. Anda akan check in tanggal 27 Desember dan check out tanggal 3 Januari. Semuanya 7 malam. Kami akan mengirimkan konfirmasi lewat fax. Bisakah kami minta nomor fax Anda?
B : Maaf saya tidak punya fax.
A : Bagaimana dengan email?
B : Ya, ini alamat email saya : yulissamoa@yahoo.com
A : Terima kasih. Saya akan kirimkan konfirmasinya lewat email.
B : Terima kasih.
http://www.yulissamoa.com/contoh-percakapan-dalam-bahasa-inggris
percakapan di hotel
MAKE A ROOM RESERVATION
A = Reservation staff
B = Mrs Yulis Samoa [Guest]
A : Good morning Reservation [of Shine Hotel], how may I asist you?
B : I want to book a room [make a room reservation].
A : When would you like to stay with us?
B : Around the end of this [the] year.
A : All right Mam. We have 3 types of room, standard, deluxe, and suite. The price of the standard room is $ 100 [one hundred dollars] per night, deluxe room is $ 200 [two hundred dollars] per night, and the suite is $ 400 [four hundred dollars] per night. What [which] type of room would you like to book?
B : I want to book a deluxe room for me and my husband.
A : Please wait a moment. I will check if the deluxe room is still available for the end of the year.
A : All right Mam, we still have deluxe room available for the end of the year. May we know your arrival and departure date?
B : I will arrive on 27th December and depart on January 03rd.
A : All right Mam, I will make a room reservation for you. Could I have [know] your name please?
B : Yulis Samoa
A : Could you spell it for me please?
B : Y for Yankee, U for Uniform, L for Lima, I for Indian, S for Sierra, S for Sierra, A for Alpha, M for Mike, O for Oscar, A for Alpha.
A : All right Mrs. Samoa. I have made a room reservation for you. You will check in on December 27 and check out on January 03, total 7 [seven] nights. I will send the confirmation by fax. Could I have your fax number?
B : I am sorry I don’t have fax.
A : How about email?
B : Yes, this is my email address : yulissamoa@yahoo.com
A : Thank you. I will send the confirmation by email.
B : Thank you very much.
Source : http://www.yulissamoa.com/contoh-percakapan-dalam-bahasa-inggris
Terjemahannya adalah :
A = Staff Reservasi
B = Ibu Yulis Samoa [Tamu]
A : Selamat pagi Reservation [Shine Hotel], bagaimana saya bisa [boleh] membantu Anda?
B : Selamat pagi. Saya mau memesan kamar.
A : Kapan Anda ingin tinggal bersama kita?
B : Sekitar akhir tahun ini.
A : Baiklah Ibu. Kami mempunyai tiga jenis kamar, yaitu standar, deluxe dan suite. Harga kamar standar $ 100 per malam, kamar deluxe $ 200 per malam, dan suite $ 400 per malam. Kamar jenis mana yang ingin Ibu pesan?
B : Saya ingin memesan deluxe room untuk saya dan suami saya.
A : Mohon tunggu sebentar. Saya akan mengecek apakah kamar deluxe masih tersedia untuk akhir tahun ini.
A : Baik Ibu, kami masih punya kamar deluxe untuk akhir tahun. Boleh kami tahu kapan tanggal kedatangan dan keberangkatan Anda?
B : Saya akan datang tanggal 27 Desember dan berangkat tanggal 3 Januari.
A : Baik Ibu, saya akan membuatkan pemesanan kamar untuk Anda. Bisa saya tahu nama Ibu?
B : Yulis Samoa.
A : Bisakah Ibu mengejanya untuk saya?
B : Y untuk Yankee, U untuk Uniform, L untuk Lima, I untuk Indian, S untuk Sierra, S untuk Sierra, A untuk Alpha, M untuk Mike, O untuk Oscar, A untuk Alpha.
A : Terima kasih Ibu Samoa. Saya sudah membuat reservasi untuk Anda. Anda akan check in tanggal 27 Desember dan check out tanggal 3 Januari. Semuanya 7 malam. Kami akan mengirimkan konfirmasi lewat fax. Bisakah kami minta nomor fax Anda?
B : Maaf saya tidak punya fax.
A : Bagaimana dengan email?
B : Ya, ini alamat email saya : yulissamoa@yahoo.com
A : Terima kasih. Saya akan kirimkan konfirmasinya lewat email.
B : Terima kasih.
http://www.yulissamoa.com/contoh-percakapan-dalam-bahasa-inggris
A = Reservation staff
B = Mrs Yulis Samoa [Guest]
A : Good morning Reservation [of Shine Hotel], how may I asist you?
B : I want to book a room [make a room reservation].
A : When would you like to stay with us?
B : Around the end of this [the] year.
A : All right Mam. We have 3 types of room, standard, deluxe, and suite. The price of the standard room is $ 100 [one hundred dollars] per night, deluxe room is $ 200 [two hundred dollars] per night, and the suite is $ 400 [four hundred dollars] per night. What [which] type of room would you like to book?
B : I want to book a deluxe room for me and my husband.
A : Please wait a moment. I will check if the deluxe room is still available for the end of the year.
A : All right Mam, we still have deluxe room available for the end of the year. May we know your arrival and departure date?
B : I will arrive on 27th December and depart on January 03rd.
A : All right Mam, I will make a room reservation for you. Could I have [know] your name please?
B : Yulis Samoa
A : Could you spell it for me please?
B : Y for Yankee, U for Uniform, L for Lima, I for Indian, S for Sierra, S for Sierra, A for Alpha, M for Mike, O for Oscar, A for Alpha.
A : All right Mrs. Samoa. I have made a room reservation for you. You will check in on December 27 and check out on January 03, total 7 [seven] nights. I will send the confirmation by fax. Could I have your fax number?
B : I am sorry I don’t have fax.
A : How about email?
B : Yes, this is my email address : yulissamoa@yahoo.com
A : Thank you. I will send the confirmation by email.
B : Thank you very much.
Source : http://www.yulissamoa.com/contoh-percakapan-dalam-bahasa-inggris
Terjemahannya adalah :
A = Staff Reservasi
B = Ibu Yulis Samoa [Tamu]
A : Selamat pagi Reservation [Shine Hotel], bagaimana saya bisa [boleh] membantu Anda?
B : Selamat pagi. Saya mau memesan kamar.
A : Kapan Anda ingin tinggal bersama kita?
B : Sekitar akhir tahun ini.
A : Baiklah Ibu. Kami mempunyai tiga jenis kamar, yaitu standar, deluxe dan suite. Harga kamar standar $ 100 per malam, kamar deluxe $ 200 per malam, dan suite $ 400 per malam. Kamar jenis mana yang ingin Ibu pesan?
B : Saya ingin memesan deluxe room untuk saya dan suami saya.
A : Mohon tunggu sebentar. Saya akan mengecek apakah kamar deluxe masih tersedia untuk akhir tahun ini.
A : Baik Ibu, kami masih punya kamar deluxe untuk akhir tahun. Boleh kami tahu kapan tanggal kedatangan dan keberangkatan Anda?
B : Saya akan datang tanggal 27 Desember dan berangkat tanggal 3 Januari.
A : Baik Ibu, saya akan membuatkan pemesanan kamar untuk Anda. Bisa saya tahu nama Ibu?
B : Yulis Samoa.
A : Bisakah Ibu mengejanya untuk saya?
B : Y untuk Yankee, U untuk Uniform, L untuk Lima, I untuk Indian, S untuk Sierra, S untuk Sierra, A untuk Alpha, M untuk Mike, O untuk Oscar, A untuk Alpha.
A : Terima kasih Ibu Samoa. Saya sudah membuat reservasi untuk Anda. Anda akan check in tanggal 27 Desember dan check out tanggal 3 Januari. Semuanya 7 malam. Kami akan mengirimkan konfirmasi lewat fax. Bisakah kami minta nomor fax Anda?
B : Maaf saya tidak punya fax.
A : Bagaimana dengan email?
B : Ya, ini alamat email saya : yulissamoa@yahoo.com
A : Terima kasih. Saya akan kirimkan konfirmasinya lewat email.
B : Terima kasih.
http://www.yulissamoa.com/contoh-percakapan-dalam-bahasa-inggris
Senin, 06 Juni 2011
AGAMA NASRANI (ILMU PERBANDINGAN AGAMA)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Agama Samawi ada 3, yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam. Ketiga agama ini mempunyai beberapa kesamaan seperti percaya Adam adalah manusia pertama dan nenek moyang seluruh manusia, Ibrahim adalah seorang Nabi, dan kitab suci Taurat sebagai wahyu Allah. Meski demikian ada juga perbedaan yang beberapa di antaranya sangat mendasar.
Agama Kristen memiliki tiga sekte utama : Katholik, Protestan, dan Orthodoks. Awalnya, sekte Katholik dan Orthodoks adalah satu karena sama-sama berkiblat ke Gereja Roma. Akan tetapi, karena perselisihan maka Kristen Roma tersebut pecah menjadi dua : Katholik dan Orthodoks. Kristen Katholik banyak dianut di negara-negara Barat, sedangkan Kristen Orthodoks banyak dianut di negara-negara Timur Tengah. Adapun Kristen Protestan muncul dari gerakan protes atas kekuasaan Gereja yang sewenang-wenang dan dianggap sudah menyimpang dari Injil. Diantara tokoh gerakan protes tersebut adalah Martin Luther dan John Calvin.
B. Permasalahan.
1. Apakah prinsip-prinsip ketuhanan agama nasrani?
2. Apakah kitab, nabi, tempat ibadah serta penganut nasrani didunia?
C. Batasan masalah.
1. Tentang prinsip-prinsip ketuhanan nasrani.
2. Tentang kitab, nabi, tempat ibadah maupun para pengikut nasrani didunia.
BAB II
NASRANI
A. Pengertian Nasrani dan Prinsip Ketuhanan.
Nasrani atau al-Nashraniyah, menurut beberapa kalangan diambil dari kata al-Naashiruun (yang berarti orang-orang yang menolong, yakni menolong Nabi Isa [al-hawaariyuun]) dan menurut beberapa kalangan yang lain berasal dari nama kota : Nazaret. Kristen (al-Masiihiyah, al-Nashraniyah) merupakan agama yang awalnya dibawa oleh Nabi Isa as. Nama Kristen diambil dari kata Christ (nama lain Jesus [Isa], dalam bahasa Arab : Al-Masiih). Tetapi, agama Kristen yang sekarang ini bukanlah agama Kristen yang ada pada zaman Nabi Isa. Agama Kristen yang ada saat ini sebetulnya lebih tepat jika disebut sebagai Agama Paulus, karena Paulus adalah orang yang mendirikan agama ini. Sebelum mendirikan agama Kristen, Paulus merupakan seorang Yahudi.
Umat Kristen percaya bahwa Jesus (Isa) telah mati disalib. Mereka meyakini Ketuhanan Trinitas (yang terdiri atas Tiga Oknum : Tuhan Ayah, Tuhan Anak, dan Ruh Kudus). Bagi mereka, Nabi Isa adalah manusia sekaligus Tuhan (Tuhan Anak).
Huston Smith (Agama-Agama Manusia, 2004: 379) mengatakan jika Yesus adalah kepala dari tubuh ini dan roh kudus adalah jiwanya, maka orang Kristen secara perseorangan adalah selnya. Sel-sel dari suatu badan jasmani tidak hidup terpisah satu sama lain; suatu kehidupan saling menunjang secara menyeluruh dengan setiap sel yang merupakan bagiannya. Demikian juga dengan roh kudus mengalir melalui setiap orang Kristen dan memberinya hidup, yang secara keseluruhan merupakan bentuk lahiriah dari gereja.
Sebelum Konsili (Konferensi) Nicea, ditengah-tengah Kristen masih terdapat sekte yang menganut monotheisme, yaitu sekte Ariusme. Tetapi pada konferensi itu mereka kalah dan dihancurkan, sehingga tinggallah sekte-sekte yang menganut Trinitas. Pada awalnya, hari suci umat Kristen adalah hari Sabtu (Hari Sabat) tetapi kemudian dipindah menjadi Hari Minggu.
B. Katholik Roma.
Katholik berasal dari bahasa yunani yaitu katholikos yang berarti “am” atau universal, karena ajarannya tersebar dan diterima diseluruh dunia. Agama katholik merupakan suatu nama agama yang dipergunakan untuk menyebut agama Kristen yang mempunyai organisasi atau ajaran yang berpusat di Vatikan, Roma. (T.H. Thalhas, 2006: 99).
Paulus menjadi guru untuk agama ini. Salah satu dari khotbahnya adalah “saya memberitahukan kepada anda skalian bahwa injil yang saya beritakan itu tidaklah menurut kaji manusia biasa sebab saya tidak menerimanya dari manusia, tetapi saya mendapat ilham langsung dari yesus kristus”. Menurut pengakuannya paulus mempunyai hubungan langsung dengan yesus, maka tidak ada hak bagi siapapun untuk menentangnya mengenai ajaran-ajaran yang dikataknnya. Demikianlah maka paulus telah menjadi salah seorang Pembina, pelukis, dan pengubah ajaran agama masehi dari agama untuk Bani Israel menjadi agama untuk semua bangsa-bangsa dipermukaan bumi ini.
Paulus merupakan kunci soal untuk mengetahui agama Kristen. Nama asalnya adalah saul yang kemudian berubah menjadi paulus, seperti dikatakan oleh Dr. Berry; “bahwa paulus lah yang sebenarnya pendiri agama Kristen”. (T.H. Thalhas, 2006: 107).
Pokok-pokok Ajaran Katholik Roma:
1. Ajaran mengenai ketuhanan.
2. Pengorbanan yesus untuk menebus dosa manusia.
3. Status yesus dan peranannya sebagai putra tuhan.
4. Kepercayaan terhadap hari kiamat dan surga.
5. Keyakinan tentang kekalnya jiwa sesudah manusia mati.
6. Kepercayaan terhadap kesucian gereja.
Hari-hari besar umat katholik:
1. 25 desember, hari natal, hari kelahiran yesus kristus.
2. 31 maret, hari wafatnya yesus kristus.
3. 2-3 april, hari raya paskah kedua.
4. 11 mei, hari mi’rajnya yesus kristus ke langit sesudah 40 hari bangun dari kubur.
5. Pantekosta, hari raya kelima puluh sesudah hari raya paskah kedua.
6. 15 agustus, hari raya santa maria.
C. Kristen Protestan.
T. H. Thalhas (ilmu perbandingan agama, 2006: 123) mengatakan nama protestan berasal dari kata protes yang dilontarkan oleh pangeran dan raja jerman yang mendukung gerakan reformasi melawan keputusan paus yang beragama romawi katholik pada waktu sidang dewan kekaisaran (dewan Negara) kedua di kota speyer (1529). Para raja menentang tekanan yang kuat dari penguasa yang beragama roma katholik, dari protes mereka pada siding diatas maka lahirlah kelompok mereka yang bernama protestan.
Kelahiran agama Kristen protestan banyak dipengaruhi oleh latar belakang perkembangan masyarakat Eropa barat pada abad menjelang kelahirannya yaitu pada abad ke-16.
Prinsip ajaran protestan:
1. Pimpinan gereja tidak tunduk kepada paus di Vatikan.
2. Pimpinan agama boleh kawin.
3. Perjamuan roti dan anggur hanya merupakan symbol saja.
4. Hak kaum pendeta dan kaum awam sama saja.
5. Gereja tidak berhak mengampuni dosa-dosa manusia.
Pokok-pokok ajaran agama Kristen protestan:
1. Pengakuan imam rasuli.
2. Kepercayaan tentang tuhan.
3. Yesus kristus sebagai tuhan dan manusia.
4. Roh kudus adalah pribadi tuhan.
5. Eskatologi.
6. Ajaran tentang alam dan manusia.
7. Etika Kristen dari al kitab baik secara falsafi maupun natural.
8. Sakramen sebagai pusat ibadah.
D. Kitab Suci.
Kitab suci agama Nasrani disebut Bibel. Dalam bahasa Inggris disebut The Holy Bible. Di Indonesia disebut Alkitab. Terdiri dari dua kitab, yaitu Perjanjian Lama (Old Testament) dan Perjanjian Baru (New Testament). Perjanjian Lama tidak lain adalah Taurat, yang juga kitab suci umat Yahudi.
Kitab perjanjian baru yang ada sekarang ini disusun, ditetapkan dan dipakai sejak konfrensi dewan gereja sedunia I (konsili Nicea tahun 325 M). Terdiri dari empat, yang namanya diambil dari nama-nama para penginjilnya (Masing-masing ditulis oleh Markus, Mathius, Lukas, dan Yohanes.). Penulisan dilakukan sekitar tahun 70 hingga 100 Masehi sekitar 40 tahun setelah Yesus wafat (diperkirakan tahun 29 M).
Gambaran Singkat Empat Injil yang Diakui Gereja:
Berikut adalah gambaran singkat mengenai empat Injil yang diakui oleh gereja sejak Konsili Nicea tersebut:
1. Injil Matta (Matius).
Umat Nasrani sepakat mengatakan bahwa Matius menulis dengan bahasa Ibrani atau Suryani setelah kepergian Yesus dari muka bumi. Kumpulan Injil Matius tertua yang pernah ditemukan, ditulis dalam bahasa Yunani. Itu pun telah hilang tidak diketahui di mana rimbanya.
Beberapa sarjana teologi Kristen mengatakan bahwa Matius yang menulis Injil Matius itu bukanlah Matius si pemungut pajak yang termasuk dalam 12 murid utama Yesus, tetapi orang keturunan Yahudi yang tidak dikenal asal-usulnya. Dalam hal ini, K. Riedel mengatakan,
“Menurut pendapat kami, pengarang Injil Matius bukannya seorang dari keduabelas rasul, melainkan seorang Kristen berbangsa Yahudi yang tidak dikenal.” (Tafsiran Injil Matius, BPK Jakarta, hlm. 14)
J. B. Phillips mengatakan,
“Early tradition ascribed this gospel to apostle Matthew, but scholars nowadays almost all reject this view. The author, whom we still can conveniently call Matthew…He was used Mark’s Gospel freely, though he has rearranged the order of events and has in several instances used different words for what is plainly in the same story.” (The Gospel Translated into Modern English).
(Tradisi kuno menganggap bahwa Injil ini berasal dari rasul Matius, tetapi hampir semua ilmuwan menolak pendapat ini. Pengarangnya, yang masih kita sebut Matius…telah mencontek secara bebas Injil Markus, meskipun dia telah merubah urutan kejadian dan dalam beberapa kesempatan menggunakan kata yang berbeda untuk cerita yang sama).
Para professor pakar Tafsir Alkitab menyatakan,
“Jelas sekali bahwa Matius mencakup hampir seluruh Injil Markus, kendati dia meringkas cerita-cerita Markus tentang mukjizat untuk menyediakan tempat bagi banyak bahan yang tidak dilaporkan oleh Markus.” (The New Bible Dictionary, edisi Indonesia: Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II, cet. 3, 1997, hlm. 38).
2. Injil Markus.
Umat Nasrani sepakat mengatakan bahwa kitab ini ditulis dalam bahasa Yunani sekitar 23 tahun setelah pengangkatan Yesus. Namun terdapat perbedaan pendapat mengenai siapa penulis sebenarnya. Sebagian mengatakan Petrus, dan sebagian lagi mengatakan Markus yang menulis setelah wafatnya Petrus dan Paulus. Tetapi yang jelas, ada keraguan tentang siapa yang membukukan Injil Markus. Di sisi lain, mereka sepakat bahwa bukan Yesus yang mendiktekannya secara langsung, karena Markus bukanlah murid utama Yesus atau bukan termasuk 12 apostles.
Sedangkan yang termasuk 12 apostles itu adalah:
“Simon (yang juga disebut Petrus) dengan saudaranya yaitu Andreas, Yakobus bin Zebedeus dan saudaranya yaitu Yohanes bin Zebedeus, kemudian Filipus, Bartolomeus, Thomas, Matius si penagih pajak, Yakobus bin Alfeus, Tadeus, Simon si Patriot, dan Yudas Iskariot yang mengkhianati Yesus.” (Matius 10: 2-4)
3. Injil Lukas.
Lukas adalah murid kesayangan dan pendamping setia Paulus. Sebagian sejarawan dunia menyebutkan bahwa ia lahir di Anttiokia, dan sebagian lagi menyebutkan bahwa ia berasal dari Rumania, lahir di Italia dan dikenal sebagai pelukis. Namun mereka semua sepakat bahwa Lukas bukan murid Yesus dan bukan pula murid dari muridnya Yesus.
Yang pasti adalah bahwa ia murid Paulus. Sedangkan, Paulus sendiri tidak pernah bertemu Yesus dan tidak pernah mendengar secara langsung dari Yesus. Artinya, Paulus sendiri bukan murid langsung dari Yesus (bukan 12 murid utama Yesus atau bukan salah satu dari 12 Apostles).
Paulus berperan penting dalam mengubah ajaran agama Nasrani dan bertanggung-jawab penuh atas praktek penyimpangan dari kebenaran. Ia adalah seorang Yahudi keturunan Persia yang lahir di Tarsus atau Rumania. Sejarawan Masehi menyebutkan bahwa Paulus telah melakukan berbagai penindasan, penyiksaan, dan pembunuhan terhadap penganut agama Masehi, sebelum ia secara tiba-tiba memeluk agama Masehi.
Murid Paulus yang bernama Lukas, pada akhir kisah perjalanan gurunya mengatakan, “Ketika ia (Paulus) berkhutbah dan memberi nasehat, ia menyebutkan bahwa Isa Almasih adalah putra Allah.” Padahal, pemikiran seperti itu belum pernah dikenal dalam ajaran Masehi sebelumnya.
Yang disepakati oleh seluruh sejarawan Masehi, adalah bahwa Lukas menuliskan kitabnya dalam bahasa Yunani sekitar 20 tahun setelah pengangkatan Yesus, dan bukan Yesus yang mendiktekannya secara langsung.
4. Injil Yohanes.
Kalangan sejarawan Masehi berbeda pendapat tentang masa penulisan kitab ini. Ada yang mengatakan tahun 65 M, dan ada yang mengatakan tahun 98 M atau 32 tahun setelah pengangkatan Yesus. Mayoritas dari pemuka agama Nasrani dan para peneliti di kalangan mereka menolak penisbatan kitab ini kepada Yohanes bin Zebedeus. Bahkan Sadlyn, mengatakan bahwa seluruh Injil Yohanes adalah buatan murid sekolah di Aleksandria. Pada awal abad 2 M, mereka mengingkari injil ini berikut semua yang dinisbatkan kepada Yohanes.
Ensiklopedia Brittanica, yang ditulis oleh lebih dari 500 ilmuwan dan cendikiawan Nasrani menyebutkan, “Injil Yohanes tidak diragukan lagi merupakan kitab palsu. Penulis palsu ini mendakwa bahwa dia adalah Yohanes anggota Hawariyyin, lalu mencantumkan namanya dalam kitab ini. Sungguh, kita merasa kasihan kepada mereka yang berjuang keras mengaitkan penulis kitab itu (filosof abad ke-2 M) dengan Yohanes sang Nelayan yang mulia itu. Sesungguhnya segala jerih payahnya akan sia-sia.”
Penulis inilah yang mencantumkan ketuhanan Yesus dalam Injil, yang kemudian disahkan oleh gereja. Sementara yang disepakati oleh seluruh cendikiawan Nasrani adalah, Injil Yohanes ditulis bukan dari hasil pendiktean secara langsung dari Yesus.
Injil Barnabas yang Tidak diakui Gereja
Selain empat Injil yang telah disebutkan, ada sebuah Injil yang tidak diakui keabsahannya oleh gereja, yaitu Injil Barnabas. Berikut adalah kisah tentang Injil Barnabas:
1. Tulisan Bishop Irenaeus (120 – 202 M), seorang dari Smyrna yang kemudian menjabat bishop di kota Lyon pada tahun 177 M, ada menyebut-nyebut Injil Barnabas (Gospel of Barnabas). Beberapa fragmen dari tulisan Bishop Irenaeus yang ditemukan itu berjudul Adverse Haereses.
2. Sejarawan Nasrani bernama Dr. Sa’ada (seorang Kristen) menyebutkan bahwa Paus St. Gelasius I yang menduduki kursi kepausan pada tahun 492 – 496 M mengeluarkan larangan terhadap sejumlah kitab, di antaranya adalah Injil Barnabas. Maka sejak itu, Injil Barnabas tersembunyi (sampai tahun 1709 M). Dari sini jelas bahwa pada masa dulu Injil Barnabas itu memang ada.
3. Suatu ketika, seorang pendeta bernama Framino (Ferramino) menemukan Surat-surat Larianus yang isinya berupa bantahan terhadap tulisan Paulus yang ada di dalam Injil. Terdorong rasa ingin tahu yang kuat, pendeta ini berhasil mendekati orang kepercayaan Paus Sectus V (Paus Sixtus V, naik tahta 1885-1890 M) sehingga bisa mendapatkan (meminjam) Injil Barnabas untuk menelitinya secara mendalam dan sembunyi-sembunyi. Setelah selesai, ternyata dia memutuskan masuk Islam.
4. Pada abad ke 16 M, ditemukan sebuah naskah kuno, yaitu Injil Barnabas dalam bahasa Itali. Naskah kuno tersebut ditemukan oleh seorang Father dalam Vatican Library. Ia lalu menyelundupkannya keluar.
5. Pada tahun 1709 M, naskah paling kuno tentang Injil Barnabas (yang ditulis dalam bahasa Italia itu ) dipinjam oleh Kreamer (Kremer/Craemer), salah seorang penasehat Raja Prusia (Jerman), dari salah seorang bangsawan tua yang dihormati di Amsterdam (Belanda). Kemudian orang tersebut menghadiahkan naskah tersebut kepada Prince Iyougen Safway (Prince Jugen Savoy) pada tahun 1713 M. Lalu pada tahun 1738 M, naskah tersebut berpindah dari perpustakaan Prince Iyougen ke perpustakaan kerajaan di Fienna (Wina). Di sini naskah itu kemudian disalin oleh seorang sarjana Inggris ke dalam bahasa Inggris.
Belakangan ditemukan naskah Injil Barnabas dalam bahasa Spanyol, lalu dipinjam oleh Dr. Holm, seorang Orientalis dari Hardley di Hampshire, dan naskah itu kemudian pindah tangan kepada Dr. Minkhauss, seorang anggota (peneliti) King’s College di Oxford yang lalu menyalinnya ke dalam bahasa Inggris.
6. Pada tahun 1784 M, naskah Injil Barnabas berbahasa Spanyol dan salinannya yang dalam bahasa Inggris diserahkan kepada Dr. White. Kemudian Dr. White membandingkannya dengan salinan Injil Barnabas bahasa Inggris yang disalin dari Injil Barnabas berbahasa Italia. Ternyata tidak dijumpai perbedaan isi di antara kedua salinan tersebut. Kedua Injil tersebut menyatakan bahwa Yesus Kristus tidak disalib, karena yang tertangkap dan disalibkan itu adalah Judas Iskariot. Di dalamnya juga tidak disebut-sebut tentang ilahiat Yesus Kristus.
7. Kitab Injil Barnabas diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Doktor Khalil Sa’ada.
Berikut adalah pernyataan Alkitab tentang Barnabas:
“Barnabas ini orang yang baik hati dan dikuasai Roh Allah serta sangat percaya kepada Tuhan sehingga banyak orang mengikuti Tuhan.” (Kisah Rasul-rasul 11: 24)
“Maka Paulus dan Barnabas bertengkar keras sehingga mereka berpisah…” (Kisah Rasul-rasul 15: 39)
Kitab Injil Barnabas mengungkapkan sejarah perjalanan hidup Yesus dengan susunan kalimat yang sangat indah dan terperinci. Dalam Injil yang dinisbatkan kepadanya ini, disebutkan bahwa ia adalah salah seorang dari 12 Hawariyyin (12 Apostles atau 12 murid utama Yesus). Lingkup penjelasannya sangat luas dan jauh berbeda dengan keempat Injil lain yang diakui oleh gereja. Di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Yesus adalah hamba Allah dan rasul utusan Allah. Ditegaskan bahwa ia bukan Tuhan dan juga mengingkari sebagai anak Tuhan.
2. Adz-Dzabiih’ yang diperintahkan Allah untuk disembelih oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalam adalah Nabi Ismail ‘alaihissalam.
3. Akan datang Muhammad (disebutkan namanya dengan jelas) dan terdapat pembenaran tentang bakal didatangkan-Nya Al-Qur’an (padahal saat itu Muhammad dan Al-Qur’an belum ada).
4. Yang disalib bukan Yesus, tetapi Yahudza al-Askharyuti (Judas Iskariot) sang penghianat yang wajahnya diserupakan oleh Allah dengan wajah Yesus.
5. Menetapkan pokok-pokok keyakinan yang tidak terjamah oleh tangan-tangan jahil yang gemar mengubah-ubah.
Meskipun demikian, gereja tetap menolak untuk mengakui Injil Barnabas, hanya karena isinya tidak sejalan dengan akidah yang telah ditambah, dikurangi ataupun dirobah, yang telah (terlanjur) diterima oleh seluruh dewan gereja di dunia
E. Tempat Ibadah.
Gereja adalah tempat ibadah umat Kristen. Gereja (bahasa Portugis: igreja, bahasa Yunani: ekklêsia yang berarti dipanggil keluar (ek=keluar; klesia dari kata kaleo=memanggil); kumpulan orang yang dipanggil ke luar dari dunia ) memiliki beberapa arti:
1. Arti pertama ialah 'umat' atau lebih tepat persekutuan orang Kristen. Arti ini diterima sebagai arti pertama bagi orang Kristen. Jadi, gereja pertama-tama bukanlah sebuah gedung.
2. Arti kedua adalah sebuah perhimpunan atau pertemuan ibadah umat Kristen. Bisa bertempat di rumah kediaman, lapangan, ruangan di hotel, maupun tempat rekreasi.
3. Arti ketiga ialah mazhab (aliran) atau denominasi dalam agama Kristen. Gereja Katolik, Gereja Protestan, dll.
4. Arti keempat ialah lembaga (administratif) daripada sebuah mazhab Kristen. Contoh kalimat “Gereja menentang perang Irak”.
5. Arti terakhir dan juga arti umum adalah sebuah “rumah ibadah” umat Kristen, di mana umat bisa berdoa atau bersembahyang.
Gereja (untuk arti yang pertama) terbentuk 50 hari setelah kebangkitan Yesus Kristus pada hari raya Pentakosta, yaitu ketika Roh Kudus yang dijanjikan Allah diberikan kepada semua yang percaya pada Yesus Kristus.
F. Nama-nama Nabi.
1 . ADAM /ADAM in Christian 13.ZULKIFLI/ EZEKIEL in Christian
2 . IDRIS / ENOCH in Christian 14.SU'AIB / JETHRO in Christian
3 . NUH / NOAH in Christian 15.YUNUS / JONAH in Christian
4 . HUUD / HEBER in Christian 16.MUSA / MOSES in Christian
5 . SHALEH / SHELAH in Christian 17.HARUN / AARON in Christian
6 . IBRAHIM/ABRAHAM in Christian 18.ILYAS / ELIJAH in Christian
7 . LUTH / LOT in Christian 19.ILYASIN / ELISHA in Christian
8 . ISMAIL /ISHMAEL in Christian 20.DAUD / DAVID in Christian
9 . ISHAQ / ISAAC in Christian 21.SULAIMAN /SOLOMON in Christian
10. YAKUB / YACOB in Christian 22.ZAKARIA/ZECHARIAH in Christian
11. YUUSUF / YOSEPH in Christian 23.YAHYA/JOHN the baptist
12. AYUB / JOB in Christian 24.ISA / YESUS in Christian
G. JUMLAH PENGIKUT DIDUNIA.
Hasil survei memperlihatkan agama Kristen menguasai 33 persen masyarakat dunia namun mereka mengalami perpecahan yang lebih besar dan lebih prinsipal dibanding agama-agama lainnya. Jumlah penduduk dunia adalah 6.671 M. Pemeluk nasrani: Kristen 1.6 M - 1.9 M.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Agama ini memiliki prinsip ketuhanan Trinitas (yang terdiri atas Tiga Oknum : Tuhan Ayah, Tuhan Anak, dan Ruh Kudus). Dan Nabi Isa adalah manusia sekaligus Tuhan (Tuhan Anak). Kitab mereka adalah Injil / al Kitab, yang terdiri dari kitab perjanjian lama dan kitab perjanjian baru.
Kitab perjanjian baru yang ada sekarang ini disusun, ditetapkan dan dipakai sejak konfrensi dewan gereja sedunia I (konsili Nicea tahun 325 M). Terdiri dari empat, yang namanya diambil dari nama-nama para penginjilnya (Masing-masing ditulis oleh Markus, Mathius, Lukas, dan Yohanes.). Penulisan dilakukan sekitar tahun 70 hingga 100 Masehi sekitar 40 tahun setelah Yesus wafat (diperkirakan tahun 29 M).
Injil Barnabas tidak diakui keabsahannya oleh dewan Gereja didunia. Pemeluk umat nasrani: Kristen 1.6 M - 1.9 M didunia, sekitar 33 %.
B. Saran.
Penulis mengharapkan kritik dan saran terhadap makalah ini, yang mana mungkin terdapat kesalahan. Kemudian harapan penulis setelah mempelajari makalah ini, hendaknya kita semakin menguatkan keyakinan kita terhadap kebenaran Islam dan kebathilan agama-agama yang lain. Untuk bisa menggagas dialog antar agama, dalam rangka dakwah dan kemaslahatan bersama.
DAFTAR PUSTAKA
T. H. Thalhas, Pengantar study ilmu perbandingan agama, Galura Pase Jakarta Selatan, 2006.cet I.
Huston Smith, Agama-Agama Manusia, (judul asli: The Religions of Man, perennial Library, London). Terjemahan oleh yayasan obor Jakarta Indonesia, penerbit yayasan obor Indonesia, 2001.
http://iman-ansori.blogspot.com/2010/11/konsep-ketuhanan-tiga-agama- besar-dunia.html
http://forum.dudung.net/index.php?topic=14185.0
http://indrawijaja.wordpress.com/2009/06/27/pegangan ahli kitab dan kotroversinya
http://www.opensubscriber.com/message/zamanku@yahoogroups.com/79 65074.html
http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_religious_populations
http://id.wikipedia.org/wiki/Gereja
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Agama Samawi ada 3, yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam. Ketiga agama ini mempunyai beberapa kesamaan seperti percaya Adam adalah manusia pertama dan nenek moyang seluruh manusia, Ibrahim adalah seorang Nabi, dan kitab suci Taurat sebagai wahyu Allah. Meski demikian ada juga perbedaan yang beberapa di antaranya sangat mendasar.
Agama Kristen memiliki tiga sekte utama : Katholik, Protestan, dan Orthodoks. Awalnya, sekte Katholik dan Orthodoks adalah satu karena sama-sama berkiblat ke Gereja Roma. Akan tetapi, karena perselisihan maka Kristen Roma tersebut pecah menjadi dua : Katholik dan Orthodoks. Kristen Katholik banyak dianut di negara-negara Barat, sedangkan Kristen Orthodoks banyak dianut di negara-negara Timur Tengah. Adapun Kristen Protestan muncul dari gerakan protes atas kekuasaan Gereja yang sewenang-wenang dan dianggap sudah menyimpang dari Injil. Diantara tokoh gerakan protes tersebut adalah Martin Luther dan John Calvin.
B. Permasalahan.
1. Apakah prinsip-prinsip ketuhanan agama nasrani?
2. Apakah kitab, nabi, tempat ibadah serta penganut nasrani didunia?
C. Batasan masalah.
1. Tentang prinsip-prinsip ketuhanan nasrani.
2. Tentang kitab, nabi, tempat ibadah maupun para pengikut nasrani didunia.
BAB II
NASRANI
A. Pengertian Nasrani dan Prinsip Ketuhanan.
Nasrani atau al-Nashraniyah, menurut beberapa kalangan diambil dari kata al-Naashiruun (yang berarti orang-orang yang menolong, yakni menolong Nabi Isa [al-hawaariyuun]) dan menurut beberapa kalangan yang lain berasal dari nama kota : Nazaret. Kristen (al-Masiihiyah, al-Nashraniyah) merupakan agama yang awalnya dibawa oleh Nabi Isa as. Nama Kristen diambil dari kata Christ (nama lain Jesus [Isa], dalam bahasa Arab : Al-Masiih). Tetapi, agama Kristen yang sekarang ini bukanlah agama Kristen yang ada pada zaman Nabi Isa. Agama Kristen yang ada saat ini sebetulnya lebih tepat jika disebut sebagai Agama Paulus, karena Paulus adalah orang yang mendirikan agama ini. Sebelum mendirikan agama Kristen, Paulus merupakan seorang Yahudi.
Umat Kristen percaya bahwa Jesus (Isa) telah mati disalib. Mereka meyakini Ketuhanan Trinitas (yang terdiri atas Tiga Oknum : Tuhan Ayah, Tuhan Anak, dan Ruh Kudus). Bagi mereka, Nabi Isa adalah manusia sekaligus Tuhan (Tuhan Anak).
Huston Smith (Agama-Agama Manusia, 2004: 379) mengatakan jika Yesus adalah kepala dari tubuh ini dan roh kudus adalah jiwanya, maka orang Kristen secara perseorangan adalah selnya. Sel-sel dari suatu badan jasmani tidak hidup terpisah satu sama lain; suatu kehidupan saling menunjang secara menyeluruh dengan setiap sel yang merupakan bagiannya. Demikian juga dengan roh kudus mengalir melalui setiap orang Kristen dan memberinya hidup, yang secara keseluruhan merupakan bentuk lahiriah dari gereja.
Sebelum Konsili (Konferensi) Nicea, ditengah-tengah Kristen masih terdapat sekte yang menganut monotheisme, yaitu sekte Ariusme. Tetapi pada konferensi itu mereka kalah dan dihancurkan, sehingga tinggallah sekte-sekte yang menganut Trinitas. Pada awalnya, hari suci umat Kristen adalah hari Sabtu (Hari Sabat) tetapi kemudian dipindah menjadi Hari Minggu.
B. Katholik Roma.
Katholik berasal dari bahasa yunani yaitu katholikos yang berarti “am” atau universal, karena ajarannya tersebar dan diterima diseluruh dunia. Agama katholik merupakan suatu nama agama yang dipergunakan untuk menyebut agama Kristen yang mempunyai organisasi atau ajaran yang berpusat di Vatikan, Roma. (T.H. Thalhas, 2006: 99).
Paulus menjadi guru untuk agama ini. Salah satu dari khotbahnya adalah “saya memberitahukan kepada anda skalian bahwa injil yang saya beritakan itu tidaklah menurut kaji manusia biasa sebab saya tidak menerimanya dari manusia, tetapi saya mendapat ilham langsung dari yesus kristus”. Menurut pengakuannya paulus mempunyai hubungan langsung dengan yesus, maka tidak ada hak bagi siapapun untuk menentangnya mengenai ajaran-ajaran yang dikataknnya. Demikianlah maka paulus telah menjadi salah seorang Pembina, pelukis, dan pengubah ajaran agama masehi dari agama untuk Bani Israel menjadi agama untuk semua bangsa-bangsa dipermukaan bumi ini.
Paulus merupakan kunci soal untuk mengetahui agama Kristen. Nama asalnya adalah saul yang kemudian berubah menjadi paulus, seperti dikatakan oleh Dr. Berry; “bahwa paulus lah yang sebenarnya pendiri agama Kristen”. (T.H. Thalhas, 2006: 107).
Pokok-pokok Ajaran Katholik Roma:
1. Ajaran mengenai ketuhanan.
2. Pengorbanan yesus untuk menebus dosa manusia.
3. Status yesus dan peranannya sebagai putra tuhan.
4. Kepercayaan terhadap hari kiamat dan surga.
5. Keyakinan tentang kekalnya jiwa sesudah manusia mati.
6. Kepercayaan terhadap kesucian gereja.
Hari-hari besar umat katholik:
1. 25 desember, hari natal, hari kelahiran yesus kristus.
2. 31 maret, hari wafatnya yesus kristus.
3. 2-3 april, hari raya paskah kedua.
4. 11 mei, hari mi’rajnya yesus kristus ke langit sesudah 40 hari bangun dari kubur.
5. Pantekosta, hari raya kelima puluh sesudah hari raya paskah kedua.
6. 15 agustus, hari raya santa maria.
C. Kristen Protestan.
T. H. Thalhas (ilmu perbandingan agama, 2006: 123) mengatakan nama protestan berasal dari kata protes yang dilontarkan oleh pangeran dan raja jerman yang mendukung gerakan reformasi melawan keputusan paus yang beragama romawi katholik pada waktu sidang dewan kekaisaran (dewan Negara) kedua di kota speyer (1529). Para raja menentang tekanan yang kuat dari penguasa yang beragama roma katholik, dari protes mereka pada siding diatas maka lahirlah kelompok mereka yang bernama protestan.
Kelahiran agama Kristen protestan banyak dipengaruhi oleh latar belakang perkembangan masyarakat Eropa barat pada abad menjelang kelahirannya yaitu pada abad ke-16.
Prinsip ajaran protestan:
1. Pimpinan gereja tidak tunduk kepada paus di Vatikan.
2. Pimpinan agama boleh kawin.
3. Perjamuan roti dan anggur hanya merupakan symbol saja.
4. Hak kaum pendeta dan kaum awam sama saja.
5. Gereja tidak berhak mengampuni dosa-dosa manusia.
Pokok-pokok ajaran agama Kristen protestan:
1. Pengakuan imam rasuli.
2. Kepercayaan tentang tuhan.
3. Yesus kristus sebagai tuhan dan manusia.
4. Roh kudus adalah pribadi tuhan.
5. Eskatologi.
6. Ajaran tentang alam dan manusia.
7. Etika Kristen dari al kitab baik secara falsafi maupun natural.
8. Sakramen sebagai pusat ibadah.
D. Kitab Suci.
Kitab suci agama Nasrani disebut Bibel. Dalam bahasa Inggris disebut The Holy Bible. Di Indonesia disebut Alkitab. Terdiri dari dua kitab, yaitu Perjanjian Lama (Old Testament) dan Perjanjian Baru (New Testament). Perjanjian Lama tidak lain adalah Taurat, yang juga kitab suci umat Yahudi.
Kitab perjanjian baru yang ada sekarang ini disusun, ditetapkan dan dipakai sejak konfrensi dewan gereja sedunia I (konsili Nicea tahun 325 M). Terdiri dari empat, yang namanya diambil dari nama-nama para penginjilnya (Masing-masing ditulis oleh Markus, Mathius, Lukas, dan Yohanes.). Penulisan dilakukan sekitar tahun 70 hingga 100 Masehi sekitar 40 tahun setelah Yesus wafat (diperkirakan tahun 29 M).
Gambaran Singkat Empat Injil yang Diakui Gereja:
Berikut adalah gambaran singkat mengenai empat Injil yang diakui oleh gereja sejak Konsili Nicea tersebut:
1. Injil Matta (Matius).
Umat Nasrani sepakat mengatakan bahwa Matius menulis dengan bahasa Ibrani atau Suryani setelah kepergian Yesus dari muka bumi. Kumpulan Injil Matius tertua yang pernah ditemukan, ditulis dalam bahasa Yunani. Itu pun telah hilang tidak diketahui di mana rimbanya.
Beberapa sarjana teologi Kristen mengatakan bahwa Matius yang menulis Injil Matius itu bukanlah Matius si pemungut pajak yang termasuk dalam 12 murid utama Yesus, tetapi orang keturunan Yahudi yang tidak dikenal asal-usulnya. Dalam hal ini, K. Riedel mengatakan,
“Menurut pendapat kami, pengarang Injil Matius bukannya seorang dari keduabelas rasul, melainkan seorang Kristen berbangsa Yahudi yang tidak dikenal.” (Tafsiran Injil Matius, BPK Jakarta, hlm. 14)
J. B. Phillips mengatakan,
“Early tradition ascribed this gospel to apostle Matthew, but scholars nowadays almost all reject this view. The author, whom we still can conveniently call Matthew…He was used Mark’s Gospel freely, though he has rearranged the order of events and has in several instances used different words for what is plainly in the same story.” (The Gospel Translated into Modern English).
(Tradisi kuno menganggap bahwa Injil ini berasal dari rasul Matius, tetapi hampir semua ilmuwan menolak pendapat ini. Pengarangnya, yang masih kita sebut Matius…telah mencontek secara bebas Injil Markus, meskipun dia telah merubah urutan kejadian dan dalam beberapa kesempatan menggunakan kata yang berbeda untuk cerita yang sama).
Para professor pakar Tafsir Alkitab menyatakan,
“Jelas sekali bahwa Matius mencakup hampir seluruh Injil Markus, kendati dia meringkas cerita-cerita Markus tentang mukjizat untuk menyediakan tempat bagi banyak bahan yang tidak dilaporkan oleh Markus.” (The New Bible Dictionary, edisi Indonesia: Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II, cet. 3, 1997, hlm. 38).
2. Injil Markus.
Umat Nasrani sepakat mengatakan bahwa kitab ini ditulis dalam bahasa Yunani sekitar 23 tahun setelah pengangkatan Yesus. Namun terdapat perbedaan pendapat mengenai siapa penulis sebenarnya. Sebagian mengatakan Petrus, dan sebagian lagi mengatakan Markus yang menulis setelah wafatnya Petrus dan Paulus. Tetapi yang jelas, ada keraguan tentang siapa yang membukukan Injil Markus. Di sisi lain, mereka sepakat bahwa bukan Yesus yang mendiktekannya secara langsung, karena Markus bukanlah murid utama Yesus atau bukan termasuk 12 apostles.
Sedangkan yang termasuk 12 apostles itu adalah:
“Simon (yang juga disebut Petrus) dengan saudaranya yaitu Andreas, Yakobus bin Zebedeus dan saudaranya yaitu Yohanes bin Zebedeus, kemudian Filipus, Bartolomeus, Thomas, Matius si penagih pajak, Yakobus bin Alfeus, Tadeus, Simon si Patriot, dan Yudas Iskariot yang mengkhianati Yesus.” (Matius 10: 2-4)
3. Injil Lukas.
Lukas adalah murid kesayangan dan pendamping setia Paulus. Sebagian sejarawan dunia menyebutkan bahwa ia lahir di Anttiokia, dan sebagian lagi menyebutkan bahwa ia berasal dari Rumania, lahir di Italia dan dikenal sebagai pelukis. Namun mereka semua sepakat bahwa Lukas bukan murid Yesus dan bukan pula murid dari muridnya Yesus.
Yang pasti adalah bahwa ia murid Paulus. Sedangkan, Paulus sendiri tidak pernah bertemu Yesus dan tidak pernah mendengar secara langsung dari Yesus. Artinya, Paulus sendiri bukan murid langsung dari Yesus (bukan 12 murid utama Yesus atau bukan salah satu dari 12 Apostles).
Paulus berperan penting dalam mengubah ajaran agama Nasrani dan bertanggung-jawab penuh atas praktek penyimpangan dari kebenaran. Ia adalah seorang Yahudi keturunan Persia yang lahir di Tarsus atau Rumania. Sejarawan Masehi menyebutkan bahwa Paulus telah melakukan berbagai penindasan, penyiksaan, dan pembunuhan terhadap penganut agama Masehi, sebelum ia secara tiba-tiba memeluk agama Masehi.
Murid Paulus yang bernama Lukas, pada akhir kisah perjalanan gurunya mengatakan, “Ketika ia (Paulus) berkhutbah dan memberi nasehat, ia menyebutkan bahwa Isa Almasih adalah putra Allah.” Padahal, pemikiran seperti itu belum pernah dikenal dalam ajaran Masehi sebelumnya.
Yang disepakati oleh seluruh sejarawan Masehi, adalah bahwa Lukas menuliskan kitabnya dalam bahasa Yunani sekitar 20 tahun setelah pengangkatan Yesus, dan bukan Yesus yang mendiktekannya secara langsung.
4. Injil Yohanes.
Kalangan sejarawan Masehi berbeda pendapat tentang masa penulisan kitab ini. Ada yang mengatakan tahun 65 M, dan ada yang mengatakan tahun 98 M atau 32 tahun setelah pengangkatan Yesus. Mayoritas dari pemuka agama Nasrani dan para peneliti di kalangan mereka menolak penisbatan kitab ini kepada Yohanes bin Zebedeus. Bahkan Sadlyn, mengatakan bahwa seluruh Injil Yohanes adalah buatan murid sekolah di Aleksandria. Pada awal abad 2 M, mereka mengingkari injil ini berikut semua yang dinisbatkan kepada Yohanes.
Ensiklopedia Brittanica, yang ditulis oleh lebih dari 500 ilmuwan dan cendikiawan Nasrani menyebutkan, “Injil Yohanes tidak diragukan lagi merupakan kitab palsu. Penulis palsu ini mendakwa bahwa dia adalah Yohanes anggota Hawariyyin, lalu mencantumkan namanya dalam kitab ini. Sungguh, kita merasa kasihan kepada mereka yang berjuang keras mengaitkan penulis kitab itu (filosof abad ke-2 M) dengan Yohanes sang Nelayan yang mulia itu. Sesungguhnya segala jerih payahnya akan sia-sia.”
Penulis inilah yang mencantumkan ketuhanan Yesus dalam Injil, yang kemudian disahkan oleh gereja. Sementara yang disepakati oleh seluruh cendikiawan Nasrani adalah, Injil Yohanes ditulis bukan dari hasil pendiktean secara langsung dari Yesus.
Injil Barnabas yang Tidak diakui Gereja
Selain empat Injil yang telah disebutkan, ada sebuah Injil yang tidak diakui keabsahannya oleh gereja, yaitu Injil Barnabas. Berikut adalah kisah tentang Injil Barnabas:
1. Tulisan Bishop Irenaeus (120 – 202 M), seorang dari Smyrna yang kemudian menjabat bishop di kota Lyon pada tahun 177 M, ada menyebut-nyebut Injil Barnabas (Gospel of Barnabas). Beberapa fragmen dari tulisan Bishop Irenaeus yang ditemukan itu berjudul Adverse Haereses.
2. Sejarawan Nasrani bernama Dr. Sa’ada (seorang Kristen) menyebutkan bahwa Paus St. Gelasius I yang menduduki kursi kepausan pada tahun 492 – 496 M mengeluarkan larangan terhadap sejumlah kitab, di antaranya adalah Injil Barnabas. Maka sejak itu, Injil Barnabas tersembunyi (sampai tahun 1709 M). Dari sini jelas bahwa pada masa dulu Injil Barnabas itu memang ada.
3. Suatu ketika, seorang pendeta bernama Framino (Ferramino) menemukan Surat-surat Larianus yang isinya berupa bantahan terhadap tulisan Paulus yang ada di dalam Injil. Terdorong rasa ingin tahu yang kuat, pendeta ini berhasil mendekati orang kepercayaan Paus Sectus V (Paus Sixtus V, naik tahta 1885-1890 M) sehingga bisa mendapatkan (meminjam) Injil Barnabas untuk menelitinya secara mendalam dan sembunyi-sembunyi. Setelah selesai, ternyata dia memutuskan masuk Islam.
4. Pada abad ke 16 M, ditemukan sebuah naskah kuno, yaitu Injil Barnabas dalam bahasa Itali. Naskah kuno tersebut ditemukan oleh seorang Father dalam Vatican Library. Ia lalu menyelundupkannya keluar.
5. Pada tahun 1709 M, naskah paling kuno tentang Injil Barnabas (yang ditulis dalam bahasa Italia itu ) dipinjam oleh Kreamer (Kremer/Craemer), salah seorang penasehat Raja Prusia (Jerman), dari salah seorang bangsawan tua yang dihormati di Amsterdam (Belanda). Kemudian orang tersebut menghadiahkan naskah tersebut kepada Prince Iyougen Safway (Prince Jugen Savoy) pada tahun 1713 M. Lalu pada tahun 1738 M, naskah tersebut berpindah dari perpustakaan Prince Iyougen ke perpustakaan kerajaan di Fienna (Wina). Di sini naskah itu kemudian disalin oleh seorang sarjana Inggris ke dalam bahasa Inggris.
Belakangan ditemukan naskah Injil Barnabas dalam bahasa Spanyol, lalu dipinjam oleh Dr. Holm, seorang Orientalis dari Hardley di Hampshire, dan naskah itu kemudian pindah tangan kepada Dr. Minkhauss, seorang anggota (peneliti) King’s College di Oxford yang lalu menyalinnya ke dalam bahasa Inggris.
6. Pada tahun 1784 M, naskah Injil Barnabas berbahasa Spanyol dan salinannya yang dalam bahasa Inggris diserahkan kepada Dr. White. Kemudian Dr. White membandingkannya dengan salinan Injil Barnabas bahasa Inggris yang disalin dari Injil Barnabas berbahasa Italia. Ternyata tidak dijumpai perbedaan isi di antara kedua salinan tersebut. Kedua Injil tersebut menyatakan bahwa Yesus Kristus tidak disalib, karena yang tertangkap dan disalibkan itu adalah Judas Iskariot. Di dalamnya juga tidak disebut-sebut tentang ilahiat Yesus Kristus.
7. Kitab Injil Barnabas diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Doktor Khalil Sa’ada.
Berikut adalah pernyataan Alkitab tentang Barnabas:
“Barnabas ini orang yang baik hati dan dikuasai Roh Allah serta sangat percaya kepada Tuhan sehingga banyak orang mengikuti Tuhan.” (Kisah Rasul-rasul 11: 24)
“Maka Paulus dan Barnabas bertengkar keras sehingga mereka berpisah…” (Kisah Rasul-rasul 15: 39)
Kitab Injil Barnabas mengungkapkan sejarah perjalanan hidup Yesus dengan susunan kalimat yang sangat indah dan terperinci. Dalam Injil yang dinisbatkan kepadanya ini, disebutkan bahwa ia adalah salah seorang dari 12 Hawariyyin (12 Apostles atau 12 murid utama Yesus). Lingkup penjelasannya sangat luas dan jauh berbeda dengan keempat Injil lain yang diakui oleh gereja. Di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Yesus adalah hamba Allah dan rasul utusan Allah. Ditegaskan bahwa ia bukan Tuhan dan juga mengingkari sebagai anak Tuhan.
2. Adz-Dzabiih’ yang diperintahkan Allah untuk disembelih oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalam adalah Nabi Ismail ‘alaihissalam.
3. Akan datang Muhammad (disebutkan namanya dengan jelas) dan terdapat pembenaran tentang bakal didatangkan-Nya Al-Qur’an (padahal saat itu Muhammad dan Al-Qur’an belum ada).
4. Yang disalib bukan Yesus, tetapi Yahudza al-Askharyuti (Judas Iskariot) sang penghianat yang wajahnya diserupakan oleh Allah dengan wajah Yesus.
5. Menetapkan pokok-pokok keyakinan yang tidak terjamah oleh tangan-tangan jahil yang gemar mengubah-ubah.
Meskipun demikian, gereja tetap menolak untuk mengakui Injil Barnabas, hanya karena isinya tidak sejalan dengan akidah yang telah ditambah, dikurangi ataupun dirobah, yang telah (terlanjur) diterima oleh seluruh dewan gereja di dunia
E. Tempat Ibadah.
Gereja adalah tempat ibadah umat Kristen. Gereja (bahasa Portugis: igreja, bahasa Yunani: ekklêsia yang berarti dipanggil keluar (ek=keluar; klesia dari kata kaleo=memanggil); kumpulan orang yang dipanggil ke luar dari dunia ) memiliki beberapa arti:
1. Arti pertama ialah 'umat' atau lebih tepat persekutuan orang Kristen. Arti ini diterima sebagai arti pertama bagi orang Kristen. Jadi, gereja pertama-tama bukanlah sebuah gedung.
2. Arti kedua adalah sebuah perhimpunan atau pertemuan ibadah umat Kristen. Bisa bertempat di rumah kediaman, lapangan, ruangan di hotel, maupun tempat rekreasi.
3. Arti ketiga ialah mazhab (aliran) atau denominasi dalam agama Kristen. Gereja Katolik, Gereja Protestan, dll.
4. Arti keempat ialah lembaga (administratif) daripada sebuah mazhab Kristen. Contoh kalimat “Gereja menentang perang Irak”.
5. Arti terakhir dan juga arti umum adalah sebuah “rumah ibadah” umat Kristen, di mana umat bisa berdoa atau bersembahyang.
Gereja (untuk arti yang pertama) terbentuk 50 hari setelah kebangkitan Yesus Kristus pada hari raya Pentakosta, yaitu ketika Roh Kudus yang dijanjikan Allah diberikan kepada semua yang percaya pada Yesus Kristus.
F. Nama-nama Nabi.
1 . ADAM /ADAM in Christian 13.ZULKIFLI/ EZEKIEL in Christian
2 . IDRIS / ENOCH in Christian 14.SU'AIB / JETHRO in Christian
3 . NUH / NOAH in Christian 15.YUNUS / JONAH in Christian
4 . HUUD / HEBER in Christian 16.MUSA / MOSES in Christian
5 . SHALEH / SHELAH in Christian 17.HARUN / AARON in Christian
6 . IBRAHIM/ABRAHAM in Christian 18.ILYAS / ELIJAH in Christian
7 . LUTH / LOT in Christian 19.ILYASIN / ELISHA in Christian
8 . ISMAIL /ISHMAEL in Christian 20.DAUD / DAVID in Christian
9 . ISHAQ / ISAAC in Christian 21.SULAIMAN /SOLOMON in Christian
10. YAKUB / YACOB in Christian 22.ZAKARIA/ZECHARIAH in Christian
11. YUUSUF / YOSEPH in Christian 23.YAHYA/JOHN the baptist
12. AYUB / JOB in Christian 24.ISA / YESUS in Christian
G. JUMLAH PENGIKUT DIDUNIA.
Hasil survei memperlihatkan agama Kristen menguasai 33 persen masyarakat dunia namun mereka mengalami perpecahan yang lebih besar dan lebih prinsipal dibanding agama-agama lainnya. Jumlah penduduk dunia adalah 6.671 M. Pemeluk nasrani: Kristen 1.6 M - 1.9 M.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Agama ini memiliki prinsip ketuhanan Trinitas (yang terdiri atas Tiga Oknum : Tuhan Ayah, Tuhan Anak, dan Ruh Kudus). Dan Nabi Isa adalah manusia sekaligus Tuhan (Tuhan Anak). Kitab mereka adalah Injil / al Kitab, yang terdiri dari kitab perjanjian lama dan kitab perjanjian baru.
Kitab perjanjian baru yang ada sekarang ini disusun, ditetapkan dan dipakai sejak konfrensi dewan gereja sedunia I (konsili Nicea tahun 325 M). Terdiri dari empat, yang namanya diambil dari nama-nama para penginjilnya (Masing-masing ditulis oleh Markus, Mathius, Lukas, dan Yohanes.). Penulisan dilakukan sekitar tahun 70 hingga 100 Masehi sekitar 40 tahun setelah Yesus wafat (diperkirakan tahun 29 M).
Injil Barnabas tidak diakui keabsahannya oleh dewan Gereja didunia. Pemeluk umat nasrani: Kristen 1.6 M - 1.9 M didunia, sekitar 33 %.
B. Saran.
Penulis mengharapkan kritik dan saran terhadap makalah ini, yang mana mungkin terdapat kesalahan. Kemudian harapan penulis setelah mempelajari makalah ini, hendaknya kita semakin menguatkan keyakinan kita terhadap kebenaran Islam dan kebathilan agama-agama yang lain. Untuk bisa menggagas dialog antar agama, dalam rangka dakwah dan kemaslahatan bersama.
DAFTAR PUSTAKA
T. H. Thalhas, Pengantar study ilmu perbandingan agama, Galura Pase Jakarta Selatan, 2006.cet I.
Huston Smith, Agama-Agama Manusia, (judul asli: The Religions of Man, perennial Library, London). Terjemahan oleh yayasan obor Jakarta Indonesia, penerbit yayasan obor Indonesia, 2001.
http://iman-ansori.blogspot.com/2010/11/konsep-ketuhanan-tiga-agama- besar-dunia.html
http://forum.dudung.net/index.php?topic=14185.0
http://indrawijaja.wordpress.com/2009/06/27/pegangan ahli kitab dan kotroversinya
http://www.opensubscriber.com/message/zamanku@yahoogroups.com/79 65074.html
http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_religious_populations
http://id.wikipedia.org/wiki/Gereja
Kamis, 03 Februari 2011
KONSEP CINTA (MAHABBAH) DALAM TASAWUF
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ajaran cinta kasih ternyata tidak hanya milik agama Kristen saja. Nabi Muhammad sendiri –yang notabene pembawa agama Islam– diutus oleh Allah untuk membawa misi sebagai kasih sayang bagi alam semesta (rahmah lil ‘alamin). Lebih jauh lagi, tasawuf sebagai salah satu bentuk pemahaman dalam Islam telah memperkenalkan betapa ajaran cinta (mahabbah) menempati kedudukan yang tinggi. Hal itu terlihat dari bagaimana para ulama sufi, seperti al-Ghazali, menempatkan mahabbah sebagai salah satu tingkatan puncak yang harus dilalui para sufi.
Wajah sejuk dan teduh tasawuf yang mendedahkan cinta, dari dulu sejak zaman Rabi’ah al-Adawiyah hingga di zaman modern sekarang, tak pelak menarik orang-orang yang tertarik dengan pencarian kebahagiaan dan kebenaran hakiki. Apalagi di zaman modern sekarang ketika alienasi sosial begitu banyak terjadi, terutama di masyarakat Barat. Alienasi tersebut terjadi di antaranya karena kemajuan material ternyata banyak mengorbankan penderitaan spiritual. Kemudahan-kemudahan hidup yang dihasilkan oleh kemajuan teknologi modern membuat banyak orang jadi mengabaikan ruang rohani dalam dirinya.
BAB II
KONSEP CINTA (MAHABBAH) DALAM TASAWUF
A. DASAR-DASAR AJARAN MAHABBAH
1. Dasar Syara’
Ajaran mahabbah memiliki dasar dan landasan, baik di dalam Alquran maupun Sunah Nabi SAW. Hal ini juga menunjukkan bahwa ajaran tentang cinta khususnya dan tasawuf umumnya, dalam Islam tidaklah mengadopsi dari unsur-unsur kebudayaan asing atau agama lain seperti yang sering ditudingkan oleh kalangan orientalis.
a. Dalil-dalil dalam al-Qur’an, misalnya sebagai berikut:
1) QS. Al-Baqarah ayat 165
•• ¬ • •
Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman, sangat besar cinta mereka kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).
2) QS. Al-Maidah ayat 54
•
Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.
3) QS. Ali Imran ayat 31
•
Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
b. Dalil-dalil dalam hadis Nabi Muhammad SAW, misalnya sebagai berikut:
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ اْلإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ ِللهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
Tiga hal yang barang siapa mampu melakukannya, maka ia akan merasakan manisnya iman, yaitu: pertama Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya; kedua: tidak mencintai seseorang kecuali hanya karena Allah; ketiga benci kembali kepada kekafiran sebagaimana ia benci dilemparkan ke neraka.
….. وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا …
….Tidaklah seorang hamba-Ku senantiasa mendekati-Ku dengan ibadah-ibadah sunah kecuali Aku akan mencintainya. Jika Aku mencintainya, maka Aku pun menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar; menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat; menjadi tangannya yang ia gunakan untuk memukul; dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. …
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِين
Tidak beriman seseorang dari kalian sehingga aku lebih dicintainya daripada anaknya, orang tuanya, dan seluruh manusia.
2. Dasar Filosofis
Dalam mengelaborasi dasar-dasar filosofis ajaran tentang cinta (mahabbah) ini, al-Ghazali merupakan ulama tasawuf yang pernah melakukannya dengan cukup bagus. Menurut beliau, ada tiga hal yang mendasari tumbuhnya cinta dan bagaimana kualitasnya, yaitu sebagai berikut:
a. Cinta tidak akan terjadi tanpa proses pengenalan (ma’rifat) dan pengetahuan (idrak)
Manusia hanya akan mencintai sesuatu atau seseorang yang telah ia kenal. Karena itulah, benda mati tidak memiliki rasa cinta. Dengan kata lain, cinta merupakan salah satu keistimewaan makhluk hidup. Jika sesuatu atau seseorang telah dikenal dan diketahui dengan jelas oleh seorang manusia, lantas sesuatu itu menimbulkan kenikmatan dan kebahagiaan bagi dirinya, maka akhirnya akan timbul rasa cinta. Jika sebaliknya, sesuatu atau seseorang itu menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan, maka tentu ia akan dibenci oleh manusia.
b. Cinta terwujud sesuai dengan tingkat pengenalan dan pengetahuan
Semakin intens pengenalan dan semakin dalam pengetahuan seseorang terhadap suatu obyek, maka semakin besar peluang obyek itu untuk dicintai. Selanjutnya, jika semakin besar kenikmatan dan kebahagiaan yang diperoleh dari obyek yang dicintai, maka semakin besar pula cinta terhadap obyek yang dicintai tersebut.
Kenikmatan dan kebahagiaan itu bisa dirasakan manusia melalui pancaindranya. Kenikmatan dan kebahagiaan seperti ini juga dirasakan oleh binatang. Namun ada lagi kenikmatan dan kebahagiaan yang dirasakan bukan melalui pancaindra, namun melalui mata hati. Kenikmatan rohaniah seperti inilah yang jauh lebih kuat daripada kenikmatan lahiriah yang dirasakan oleh pancaindra. Dalam konteks inilah, cinta terhadap Tuhan terwujud.
c. Manusia tentu mencintai dirinya
Hal pertama yang dicintai oleh makhluk hidup adalah dirinya sendiri dan eksistensi dirinya. Cinta kepada diri sendiri berarti kecenderungan jiwa untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan menghindari hal-hal yang bisa menghancurkan dan membinasakan kelangsungan hidupnya.
Selanjutnya al-Ghazali juga menguraikan lebih jauh tentang hal-hal yang menyebabkan tumbuhnya cinta. Pada gilirannya, sebab-sebab tersebut akan mengantarkan seseorang kepada cinta sejati, yaitu cinta kepada Tuhan Yang Maha Mencintai. Sebab-sebab itu adalah sebagai berikut:
a. Cinta kepada diri sendiri, kekekalan, kesempurnaan, dan keberlangsungan hidup
Orang yang mengenal diri dan Tuhannya tentu ia pun mengenal bahwa sesungguhnya ia tidak memiliki diri pribadinya. Eksistensi dan kesempurnaan dirinya adalah tergantung kepada Tuhan yang menciptakannya. Jika seseorang mencintai dirinya dan kelangsungan hidupnya, kemudian menyadari bahwa diri dan hidupnya dihasilkan oleh pihak lain, maka tak pelak ia pun akan mencintai pihak lain tersebut. Saat ia mengenal bahwa pihak lain itu adalah Tuhan Yang Maha Pencipta, maka cinta kepada Tuhan pun akan tumbuh. Semakin dalam ia mengenal Tuhannya, maka semakin dalam pula cintanya kepada Tuhan.
b. Cinta kepada orang yang berbuat baik
Pada galibnya, setiap orang yang berbuat tentu akan disukai oleh orang lain. Hal ini merupakan watak alamiah manusia untuk menyukai kebaikan dan membenci kejahatan. Namun pada dataran manusia dan makhluk umumnya, pada hakikatnya kebaikan adalah sesuatu yang nisbi. Karena sesungguhnya, setiap kebaikan yang dilaksanakan oleh seseorang hanyalah sekedar menggerakkan motif tertentu, baik motif duniawi maupun motif ukhrawi.
Untuk motif duniawi, hal itu adalah jelas bahwa kebaikan yang dilakukan tidaklah ikhlas. Namun untuk motif ukhrawi, maka kebaikan yang dilakukan juga tidak ikhlas, karena masih mengharapkan pahala, surga, dan seterusnya. Pada hakikatnya, ketika seseorang memiliki motif ukhrawi atau agama, maka hal itu juga akan mengantarkan kepada pemahaman bahwa Allah jugalah yang berkuasa menanamkan ketaatan dan pengertian dalam diri dan hatinya untuk melakukan kebaikan sebagaimana yang Allah perintahkan. Dengan kata lain, orang yang berbuat baik tersebut pada hakikatnya juga terpaksa, bukan betul-betul mandiri, karena masih berdasarkan perintah Allah.
Ketika kesadaran bahwa semua kebaikan berujung kepada Allah, maka cinta kepada kebaikan pun berujung kepada Allah. Hanya Allah yang memberikan kebaikan kepada makhluk-Nya tanpa pamrih apapun. Allah berbuat baik kepada makhluk-Nya bukan agar Ia disembah. Allah Maha Kuasa dan Maha Suci dari berbagai pamrih. Bahkan meskipun seluruh makhluk menentang-Nya, kebaikan Allah kepada para makhluk tetap diberikan. Kebaikan-kebaikan Allah kepada makhluk-Nya itu sangat banyak dan tidak akan mampu oleh siapa pun. Karena itulah, pada gilirannya bagi orang yang betul-betul arif, akan timbul cinta kepada Allah sebagai Dzat Yang Maha Baik, yang memberikan berbagai kebaikan dan kenikmatan yang tak terhitung jumlahnya.
c. Mencintai diri orang yang berbuat baik meskipun kebaikannya tidak dirasakan
Mencintai kebaikan juga merupakan watak dasar manusia. Ketika seseorang mengetahui bahwa ada orang yang berbuat baik, maka ia pun akan menyukai orang yang berbuat baik tersebut, meskipun kebaikannya tidak dirasakannya langsung. Seorang penguasa yang baik dan adil, tentu akan disukai rakyatnya, meskipun si rakyat jelata tidak pernah menerima langsung kebaikan sang penguasa. Sebaiknya, seorang pejabat yang lalim dan korup, tentu akan dibenci oleh rakyat, meski sang rakyat tidak mengalami langsung kelaliman dan korupsi sang pejabat.
Hal ini pun pada gilirannya akan mengantar kepada cinta terhadap Allah. Karena bagaimanapun, hanya karena kebaikan Allah tercipta alam semesta ini. Meski seseorang mungkin tidak langsung merasakannya, kebaikan Allah yang menciptakan seluruh alam semesta ini menunjukkan bahwa Allah memang pantas untuk dicintai.
d. Cinta kepada setiap keindahan
Segala yang indah tentu disukai, baik yang bersifat lahiriah maupun batiniah. Lagu yang indah dirasakan oleh telinga. Wajah yang cantik diserap oleh mata. Namun keindahan sifat dan perilaku serta kedalaman ilmu, juga membuat seorang Imam Syafi’i, misalnya, dicintai oleh banyak orang. Meskipun mereka tidak tahu apakah wajah dan penampilan Imam Syafi’i betul-betul menarik atau tidak. Keindahan yang terakhir inilah yang merupakan keindahan batiniah. Keindahan yang bersifat batiniah inilah yang lebih kuat daripada keindahan yang bersifat lahiriah. Keindahan fisik dan lahiriah bisa rusak dan sirna, namun keindahan batiniah relatif lebih kekal.
Pada gilirannya, segala keindahan itu pun akan berujung pada keindahan Tuhan yang sempurna. Namun keindahan Tuhan adalah keindahan rohaniah yang hanya dapat dirasakan oleh mata hati dan cahaya batin. Orang yang betul-betul menyadari betapa Tuhan Maha Mengetahui, Maha Kuasa, dan segala sifat kesempurnaan melekat dalam Zat-Nya, maka tak ayal ia pun akan menyadari betapa indahnya Tuhan, sehingga sangat pantas Tuhan untuk dicintai.
e. Kesesuaian dan keserasian
Jika sesuatu menyerupai sesuatu yang lain, maka akan timbul ketertarikan antara keduanya. Seorang anak kecil cenderung lebih bisa akrab bergaul dengan sesama anak kecil. Seorang dosen tentu akan mudah berteman dengan sesama dosen daripada dengan seorang tukang becak. Ketika dua orang sudah saling mengenal dengan baik, maka tentu terdapat kesesuaian antara keduanya. Berangkat dari kesesuaian dan keserasian inilah akhirnya muncul cinta. Sebaliknya, jika dua orang tidak saling mengenal, kemungkinan besar karena memang terdapat perbedaan dan ketidakcocokan antara keduanya. Karena ketidakcocokan dan perbedaan pula akan muncul tidak suka atau bahkan benci.
Dalam konteks kesesuaian dan keserasian inilah, cinta kepada Tuhan akan muncul. Meski demikian, kesesuaian yang dimaksud ini bukanlah bersifat lahiriah seperti yang diuraikan di atas, namun kesesuaian batiniah. Sebagian hal tentang kesesuaian batiniah ini merupakan misteri dalam dunia tasawuf yang menurut al-Ghazali tidak boleh diungkapkan secara terbuka. Sedangkan sebagian lagi boleh diungkapkan, seperti bahwa seorang hamba boleh mendekatkan diri kepada Tuhan dengan meniru sifat-sifat Tuhan yang mulia, misalnya ilmu, kebenaran, kebaikan, dan lain-lain.
Terkait dengan sebab keserasian dan kecocokan ini, satu hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa Allah tidak akan pernah ada yang mampu menandingi atau menyerupainya. Keserasian yang terdapat dalam jiwa orang-orang tertentu yang dipilih oleh Allah, sehingga ia mampu mencintai Allah dengan sepenuh hati, hanyalah dalam arti metaforis (majazi). Keserasian tersebut adalah wilayah misteri yang hanya diketahui oleh orang-orang yang betul-betul mengalami cinta ilahiah.
B. DOKTRIN-DOKTRIN MAHABBAH
1. Makna Cinta di Kalangan Sufi
Dalam tasawuf, konsep cinta (mahabbah) lebih dimaksudkan sebagai bentuk cinta kepada Tuhan. Meski demikian, cinta kepada Tuhan juga akan melahirkan bentuk kasih sayang kepada sesama, bahkan kepada seluruh alam semesta. Hal ini bisa dilacak pada dalil-dalil syara’, baik dalam Alquran maupun hadis yang menunjukkan tentang persoalan cinta. Sebagian dalil tersebut telah disebutkan pada bagian sebelumnya dalam makalah ini.
Secara terminologis, sebagaimana dikatakan al-Ghazali, cinta adalah suatu kecenderungan terhadap sesuatu yang memberikan manfaat. Apabila kecenderungan itu mendalam dan menguat, maka ia dinamakan rindu. Sedangkan sebaliknya, benci adalah kecenderungan untuk menghindari sesuatu yang menyakiti. Apabila kecenderungan untuk menghindari itu mendalam dan menguat, maka ia dinamakan dendam.
Menurut Abu Yazid al-Busthami mengatakan bahwa cinta adalah menganggap sedikit milikmu yang sedikit dan menganggap banyak milik Dzat yang kau cintai. Sementara Sahl bin Abdullah al-Tustari menyatakan bahwa cinta adalah melakukan tindak-tanduk ketaatan dan menghindari tindak-tanduk kedurhakaan. Bagi al-Junaid, cinta adalah kecenderungan hati. Artinya, kecenderungan hati seseorang kepada Allah dan segala milik-Nya tanpa rasa beban.
2. Cinta Sejati adalah Cinta kepada Allah
Bagi al-Ghazali, orang yang mencintai selain Allah, tapi cintanya tidak disandarkan kepada Allah, maka hal itu karena kebodohan dan kepicikan orang tersebut dalam mengenal Allah. Cinta kepada Rasulullah SAW, misalnya, adalah sesuatu yang terpuji karena cinta tersebut merupakan manifestasi cinta kepada Allah. Hal itu karena Rasulullah adalah orang yang dicintai Allah. Dengan demikian, mencintai orang yang dicintai oleh Allah, berarti juga mencintai Allah itu sendiri. Begitu pula semua bentuk cinta yang ada. Semuanya berpulang kepada cinta terhadap Allah.
Jika sudah dipahami dan disadari dengan baik lima sebab timbulnya cinta yang telah diuraikan al-Ghazali sebelumnya, maka juga bisa disadari bahwa hanya Allah yang mampu mengumpulkan sekaligus kelima faktor penyebab cinta tersebut. Kelima faktor penyebab tersebut terjadi pada diri manusia hanyalah bersifat metaforis (majazi), dan bukanlah hakiki. Hanya Allah Yang Maha Sempurna. Ia tidak bergantung kepada apapun dan siapa pun. Kesempurnaan itulah yang akan mengantarkan seseorang kepada cinta sejati, yaitu cinta terhadap Allah.
3. Mahabbah: antara Maqam dan Hal
Sebagaimana diketahui, dalam terminologi tasawuf ada istilah maqam (tingkatan) dan hal (keadaan, kondisi kejiwaan). Menurut as-Sarraj ath-Thusi dalam kitabnya al-Luma’, maqam merujuk kepada tingkatan seorang hamba di depan Tuhan pada suatu tingkat yang ia ditempatkan di dalamnya, berupa ibadah, mujahadah, riyadhah, dan keterputusan (inqitha’) kepada Allah. Sedangkan hal adalah apa yang terdapat di dalam jiwa atau sesuatu keadaan yang ditempati oleh hati. Sementara menurut al-Junaid, hal adalah suatu “tempat” yang berada di dalam jiwa dan tidak statis.
Menurut al-Ghazali, cinta kepada Allah (mahabbah) merupakan tingkatan (maqam) puncak dari rangkaian tingkatan dalam tasawuf. Tak ada lagi tingkatan setelah mahabbah selain hanya sekedar efek sampingnya saja, seperti rindu (syauq), mesra (uns), rela (ridla), dan sifat-sifat lain yang serupa. Di samping itu, tidak ada satu tingkatan pun sebelum mahabbah selain hanya sekedar pendahuluan atau pengantar menuju ke arah mahabbah, seperti taubat, sabar, zuhud, dan lain-lain. Cinta sebagai maqam ini juga diamini oleh Ibn Arabi. Menurutnya, cinta merupakan maqam ilahi.
Berbeda dengan al-Ghazali, menurut al-Qusyairi, mahabbah merupakan termasuk hal. Bagi al-Qusyairi, cinta kepada Tuhan (mahabbah) merupakan suatu keadaan yang mulia saat Tuhan bersaksi untuk sang hamba atas keadaannya tersebut. Tuhan memberitahukan tentang cinta-Nya kepada sang hamba. Dengan demikian, Tuhan disifati sebagai yang mencintai sang hamba. Selanjutnya, sang hamba pun disifati sebagai yang mencintai Tuhan.
4. Tingkatan Cinta
Dilihat dari segi orangnya, menurut Abu Nashr ath-Thusi, cinta kepada Tuhan terbagi menjadi tiga macam cinta. Pertama, cinta orang-orang awam. Cina seperti ini muncul karena kebaikan dan kasih sayang Tuhan kepada mereka. Ciri-ciri cinta ini adalah ketulusan dan keteringatan (zikir) yang terus-menerus. Karena jika orang mencintai sesuatu, maka ia pun akan sering mengingat dan menyebutnya.
Kedua, cinta orang-orang yang shadiq dan mutahaqqiq. Cinta mereka ini timbul karena penglihatan mata hati mereka terhadap kekayaan, keagungan, kebesaran, pengetahuan dan kekuasaan Tuhan. Ciri-ciri cinta ini adalah “terkoyaknya tabir” dan “tersingkapnya rahasia” Tuhan. Selain itu, ciri lain adalah lenyapnya kehendak serta hilangnya semua sifat (kemanusiaan dan keinginan duniawi).
Ketiga, cinta orang-orang shiddiq dan arif. Cinta macam ini timbul dari penglihatan dan pengenalan mereka terhadap ke-qadim-an Cinta Tuhan tanpa sebab (illat) apapun. Menurut Zunnun al-Mishri, sifat cinta ini adalah terputusnya cinta dari hati dan tubuh sehingga cinta tidak lagi bersemayam di dalamnya, namun yang bersemayam hanyalah segala sesuatu dengan dan untuk Allah. Sedangkan menurut Abu Ya’qub as-Susi, cirinya alah berpaling dari cinta menuju kepada Yang Dicintai. Sementara al-Junaid menambahkan bahwa ciri cinta macam ini adalah meleburnya sifat-sifat Yang Dicintai kepada yang mencintai sebagai pengganti sifat-sifatnya.
C. PENGARUH DOKTRIN MAHABBAH
Semenjak Rabi’ah al-Adawiyah mengungkapkan corak tasawuf melalui puisi, prosa, atau dialognya, ajaran cinta ilahi (mahabbah) pun mulai menjadi tema menarik di kalangan tasawuf. Gambaran tentang Tuhan pun tidak lagi begitu menakutkan seperti sebelumnya. Tuhan seolah menjadi lebih dekat dan lebih “manusiawi”.
Pada perkembangan tasawuf selanjutnya, mahabbah selalu menjadi tema yang mendapat pembahasan secara khusus. Para sufi pun banyak yang membahas lebih mendalam tentang tema ini dalam karya-karya mereka, seperti al-Hujwairi dengan Kasyf al-Mahjub, ath-Thusi dengan al-Luma’, al-Qusyairi dengan ar-Risalah al-Qusyairiyyah, al-Ghazali dengan Ihya Ulumiddin, Ibnu Arabi dalam al-Futuhat al-Makkiyah, dan lain-lain.
Pada bidang puisi, banyak para sufi yang juga sekaligus penyair yang kemudian menyenandung cinta ilahi, seperti Abu Sa’id bin Abi al-Khair, al-Jilli, Ibnu al-Faridh, Jalaluddin Rumi, dan lain-lain. Hingga sekarang, para penyair sufi kontemporer masih banyak yang menyenandungkan puisi-puisi cinta ilahi, seperti Syekh Fattah yang membentuk kelompok musik Debu yang kini ada di Indonesia.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Ajaran cinta ilahi yang dikumandangkan oleh tasawuf sebenarnya bisa dijadikan sarana kita untuk lebih memperhalus jiwa. Kehalusan jiwa yag dihasilkan oleh tasawuf ini diperlukan agar agama tidak selalu dipahami secara legal-formalistik belaka yang biasanya ditampilkan oleh kalangan ahli fikih. Dengan demikian, agama pun diharapkan bisa menjadi berwajah toleran, humanis, dan menerima realitas pluralistik yang ada di tengah di masyarakat, seperti puisi yang didengungkan oleh Ibnu Arabi di awal makalah.
Meski demikian, ajaran cinta dalam Alquran sendiri, juga menghendaki keseimbangan antara sisi individual dan sosial; antara emosional dan rasional. Dari penelitian yang pernah dilakukan penulis, term-term cinta yang ditampilkan Alquran justru bersifat dinamis dan menghendaki aktualisasi riil dalam realitas sosial. Cinta dalam Alquran hampir selalu ditempatkan dalam konteks untuk mewujudkan kebaikan dan keadilan sosial. Karena itu tidaklah mengherankan jika di akhir abad 19 hingga awal abad 20, beberapa kelompok sufi di Afrika Utara menjadi pendorong perlawanan terhadap penjajahan Barat. Wallahu a’lam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrasyid Ridha, Memasuki Makna Cinta, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003).
Abu al-Qasim al-Qusyari, ar-Risalah al-Qusyairiyyah, (format e-book dalam Program Syamilah).
Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Suatu Pengantar tentang Tasawuf, terj. Ahmad Rofi’ Utsmani, (Bandung: Pustaka, 1985).
Abu Bakr Muhammad al-Kalabadzi, at-Ta’arruf li Mazhab Ahl at-Tashawwuf, (tk.: Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyyah, 1969).
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, (Beirut, Dar al-Ma’rifah, tt).
Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi, al-Luma’, (Mesir: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1960).
Al-Hujwairi, Kasyful Mahjub, terj. Suwardjo Muthary dan Abdul Hadi WM, (Bandung: Mizan, 1993).
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973).
Ibn al-Mulqin, Thabaqat al-Auliya, (format e-book Program al-Maktabah asy- Syamilah)
Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari al-Ja’fi, al-Jami’ as-Shahih al-Mukhtashar, ed. Mushtafa Dib al-Biqha, (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 1987).
Muhyiddin Ibnu Arabi, al-Futuhat al-Makkiyah, (format e-book dalam Program Syamilah).
______, Dzakhair al-A’laq Syarh Tarjuman al-Asywaq, seperti dikutip oleh Syamsuddin Arif, “Ibnu Arabi dan Pluralisme” dalam www.hidayatullah.com
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ajaran cinta kasih ternyata tidak hanya milik agama Kristen saja. Nabi Muhammad sendiri –yang notabene pembawa agama Islam– diutus oleh Allah untuk membawa misi sebagai kasih sayang bagi alam semesta (rahmah lil ‘alamin). Lebih jauh lagi, tasawuf sebagai salah satu bentuk pemahaman dalam Islam telah memperkenalkan betapa ajaran cinta (mahabbah) menempati kedudukan yang tinggi. Hal itu terlihat dari bagaimana para ulama sufi, seperti al-Ghazali, menempatkan mahabbah sebagai salah satu tingkatan puncak yang harus dilalui para sufi.
Wajah sejuk dan teduh tasawuf yang mendedahkan cinta, dari dulu sejak zaman Rabi’ah al-Adawiyah hingga di zaman modern sekarang, tak pelak menarik orang-orang yang tertarik dengan pencarian kebahagiaan dan kebenaran hakiki. Apalagi di zaman modern sekarang ketika alienasi sosial begitu banyak terjadi, terutama di masyarakat Barat. Alienasi tersebut terjadi di antaranya karena kemajuan material ternyata banyak mengorbankan penderitaan spiritual. Kemudahan-kemudahan hidup yang dihasilkan oleh kemajuan teknologi modern membuat banyak orang jadi mengabaikan ruang rohani dalam dirinya.
BAB II
KONSEP CINTA (MAHABBAH) DALAM TASAWUF
A. DASAR-DASAR AJARAN MAHABBAH
1. Dasar Syara’
Ajaran mahabbah memiliki dasar dan landasan, baik di dalam Alquran maupun Sunah Nabi SAW. Hal ini juga menunjukkan bahwa ajaran tentang cinta khususnya dan tasawuf umumnya, dalam Islam tidaklah mengadopsi dari unsur-unsur kebudayaan asing atau agama lain seperti yang sering ditudingkan oleh kalangan orientalis.
a. Dalil-dalil dalam al-Qur’an, misalnya sebagai berikut:
1) QS. Al-Baqarah ayat 165
•• ¬ • •
Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman, sangat besar cinta mereka kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).
2) QS. Al-Maidah ayat 54
•
Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.
3) QS. Ali Imran ayat 31
•
Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
b. Dalil-dalil dalam hadis Nabi Muhammad SAW, misalnya sebagai berikut:
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ اْلإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ ِللهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
Tiga hal yang barang siapa mampu melakukannya, maka ia akan merasakan manisnya iman, yaitu: pertama Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya; kedua: tidak mencintai seseorang kecuali hanya karena Allah; ketiga benci kembali kepada kekafiran sebagaimana ia benci dilemparkan ke neraka.
….. وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا …
….Tidaklah seorang hamba-Ku senantiasa mendekati-Ku dengan ibadah-ibadah sunah kecuali Aku akan mencintainya. Jika Aku mencintainya, maka Aku pun menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar; menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat; menjadi tangannya yang ia gunakan untuk memukul; dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. …
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِين
Tidak beriman seseorang dari kalian sehingga aku lebih dicintainya daripada anaknya, orang tuanya, dan seluruh manusia.
2. Dasar Filosofis
Dalam mengelaborasi dasar-dasar filosofis ajaran tentang cinta (mahabbah) ini, al-Ghazali merupakan ulama tasawuf yang pernah melakukannya dengan cukup bagus. Menurut beliau, ada tiga hal yang mendasari tumbuhnya cinta dan bagaimana kualitasnya, yaitu sebagai berikut:
a. Cinta tidak akan terjadi tanpa proses pengenalan (ma’rifat) dan pengetahuan (idrak)
Manusia hanya akan mencintai sesuatu atau seseorang yang telah ia kenal. Karena itulah, benda mati tidak memiliki rasa cinta. Dengan kata lain, cinta merupakan salah satu keistimewaan makhluk hidup. Jika sesuatu atau seseorang telah dikenal dan diketahui dengan jelas oleh seorang manusia, lantas sesuatu itu menimbulkan kenikmatan dan kebahagiaan bagi dirinya, maka akhirnya akan timbul rasa cinta. Jika sebaliknya, sesuatu atau seseorang itu menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan, maka tentu ia akan dibenci oleh manusia.
b. Cinta terwujud sesuai dengan tingkat pengenalan dan pengetahuan
Semakin intens pengenalan dan semakin dalam pengetahuan seseorang terhadap suatu obyek, maka semakin besar peluang obyek itu untuk dicintai. Selanjutnya, jika semakin besar kenikmatan dan kebahagiaan yang diperoleh dari obyek yang dicintai, maka semakin besar pula cinta terhadap obyek yang dicintai tersebut.
Kenikmatan dan kebahagiaan itu bisa dirasakan manusia melalui pancaindranya. Kenikmatan dan kebahagiaan seperti ini juga dirasakan oleh binatang. Namun ada lagi kenikmatan dan kebahagiaan yang dirasakan bukan melalui pancaindra, namun melalui mata hati. Kenikmatan rohaniah seperti inilah yang jauh lebih kuat daripada kenikmatan lahiriah yang dirasakan oleh pancaindra. Dalam konteks inilah, cinta terhadap Tuhan terwujud.
c. Manusia tentu mencintai dirinya
Hal pertama yang dicintai oleh makhluk hidup adalah dirinya sendiri dan eksistensi dirinya. Cinta kepada diri sendiri berarti kecenderungan jiwa untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan menghindari hal-hal yang bisa menghancurkan dan membinasakan kelangsungan hidupnya.
Selanjutnya al-Ghazali juga menguraikan lebih jauh tentang hal-hal yang menyebabkan tumbuhnya cinta. Pada gilirannya, sebab-sebab tersebut akan mengantarkan seseorang kepada cinta sejati, yaitu cinta kepada Tuhan Yang Maha Mencintai. Sebab-sebab itu adalah sebagai berikut:
a. Cinta kepada diri sendiri, kekekalan, kesempurnaan, dan keberlangsungan hidup
Orang yang mengenal diri dan Tuhannya tentu ia pun mengenal bahwa sesungguhnya ia tidak memiliki diri pribadinya. Eksistensi dan kesempurnaan dirinya adalah tergantung kepada Tuhan yang menciptakannya. Jika seseorang mencintai dirinya dan kelangsungan hidupnya, kemudian menyadari bahwa diri dan hidupnya dihasilkan oleh pihak lain, maka tak pelak ia pun akan mencintai pihak lain tersebut. Saat ia mengenal bahwa pihak lain itu adalah Tuhan Yang Maha Pencipta, maka cinta kepada Tuhan pun akan tumbuh. Semakin dalam ia mengenal Tuhannya, maka semakin dalam pula cintanya kepada Tuhan.
b. Cinta kepada orang yang berbuat baik
Pada galibnya, setiap orang yang berbuat tentu akan disukai oleh orang lain. Hal ini merupakan watak alamiah manusia untuk menyukai kebaikan dan membenci kejahatan. Namun pada dataran manusia dan makhluk umumnya, pada hakikatnya kebaikan adalah sesuatu yang nisbi. Karena sesungguhnya, setiap kebaikan yang dilaksanakan oleh seseorang hanyalah sekedar menggerakkan motif tertentu, baik motif duniawi maupun motif ukhrawi.
Untuk motif duniawi, hal itu adalah jelas bahwa kebaikan yang dilakukan tidaklah ikhlas. Namun untuk motif ukhrawi, maka kebaikan yang dilakukan juga tidak ikhlas, karena masih mengharapkan pahala, surga, dan seterusnya. Pada hakikatnya, ketika seseorang memiliki motif ukhrawi atau agama, maka hal itu juga akan mengantarkan kepada pemahaman bahwa Allah jugalah yang berkuasa menanamkan ketaatan dan pengertian dalam diri dan hatinya untuk melakukan kebaikan sebagaimana yang Allah perintahkan. Dengan kata lain, orang yang berbuat baik tersebut pada hakikatnya juga terpaksa, bukan betul-betul mandiri, karena masih berdasarkan perintah Allah.
Ketika kesadaran bahwa semua kebaikan berujung kepada Allah, maka cinta kepada kebaikan pun berujung kepada Allah. Hanya Allah yang memberikan kebaikan kepada makhluk-Nya tanpa pamrih apapun. Allah berbuat baik kepada makhluk-Nya bukan agar Ia disembah. Allah Maha Kuasa dan Maha Suci dari berbagai pamrih. Bahkan meskipun seluruh makhluk menentang-Nya, kebaikan Allah kepada para makhluk tetap diberikan. Kebaikan-kebaikan Allah kepada makhluk-Nya itu sangat banyak dan tidak akan mampu oleh siapa pun. Karena itulah, pada gilirannya bagi orang yang betul-betul arif, akan timbul cinta kepada Allah sebagai Dzat Yang Maha Baik, yang memberikan berbagai kebaikan dan kenikmatan yang tak terhitung jumlahnya.
c. Mencintai diri orang yang berbuat baik meskipun kebaikannya tidak dirasakan
Mencintai kebaikan juga merupakan watak dasar manusia. Ketika seseorang mengetahui bahwa ada orang yang berbuat baik, maka ia pun akan menyukai orang yang berbuat baik tersebut, meskipun kebaikannya tidak dirasakannya langsung. Seorang penguasa yang baik dan adil, tentu akan disukai rakyatnya, meskipun si rakyat jelata tidak pernah menerima langsung kebaikan sang penguasa. Sebaiknya, seorang pejabat yang lalim dan korup, tentu akan dibenci oleh rakyat, meski sang rakyat tidak mengalami langsung kelaliman dan korupsi sang pejabat.
Hal ini pun pada gilirannya akan mengantar kepada cinta terhadap Allah. Karena bagaimanapun, hanya karena kebaikan Allah tercipta alam semesta ini. Meski seseorang mungkin tidak langsung merasakannya, kebaikan Allah yang menciptakan seluruh alam semesta ini menunjukkan bahwa Allah memang pantas untuk dicintai.
d. Cinta kepada setiap keindahan
Segala yang indah tentu disukai, baik yang bersifat lahiriah maupun batiniah. Lagu yang indah dirasakan oleh telinga. Wajah yang cantik diserap oleh mata. Namun keindahan sifat dan perilaku serta kedalaman ilmu, juga membuat seorang Imam Syafi’i, misalnya, dicintai oleh banyak orang. Meskipun mereka tidak tahu apakah wajah dan penampilan Imam Syafi’i betul-betul menarik atau tidak. Keindahan yang terakhir inilah yang merupakan keindahan batiniah. Keindahan yang bersifat batiniah inilah yang lebih kuat daripada keindahan yang bersifat lahiriah. Keindahan fisik dan lahiriah bisa rusak dan sirna, namun keindahan batiniah relatif lebih kekal.
Pada gilirannya, segala keindahan itu pun akan berujung pada keindahan Tuhan yang sempurna. Namun keindahan Tuhan adalah keindahan rohaniah yang hanya dapat dirasakan oleh mata hati dan cahaya batin. Orang yang betul-betul menyadari betapa Tuhan Maha Mengetahui, Maha Kuasa, dan segala sifat kesempurnaan melekat dalam Zat-Nya, maka tak ayal ia pun akan menyadari betapa indahnya Tuhan, sehingga sangat pantas Tuhan untuk dicintai.
e. Kesesuaian dan keserasian
Jika sesuatu menyerupai sesuatu yang lain, maka akan timbul ketertarikan antara keduanya. Seorang anak kecil cenderung lebih bisa akrab bergaul dengan sesama anak kecil. Seorang dosen tentu akan mudah berteman dengan sesama dosen daripada dengan seorang tukang becak. Ketika dua orang sudah saling mengenal dengan baik, maka tentu terdapat kesesuaian antara keduanya. Berangkat dari kesesuaian dan keserasian inilah akhirnya muncul cinta. Sebaliknya, jika dua orang tidak saling mengenal, kemungkinan besar karena memang terdapat perbedaan dan ketidakcocokan antara keduanya. Karena ketidakcocokan dan perbedaan pula akan muncul tidak suka atau bahkan benci.
Dalam konteks kesesuaian dan keserasian inilah, cinta kepada Tuhan akan muncul. Meski demikian, kesesuaian yang dimaksud ini bukanlah bersifat lahiriah seperti yang diuraikan di atas, namun kesesuaian batiniah. Sebagian hal tentang kesesuaian batiniah ini merupakan misteri dalam dunia tasawuf yang menurut al-Ghazali tidak boleh diungkapkan secara terbuka. Sedangkan sebagian lagi boleh diungkapkan, seperti bahwa seorang hamba boleh mendekatkan diri kepada Tuhan dengan meniru sifat-sifat Tuhan yang mulia, misalnya ilmu, kebenaran, kebaikan, dan lain-lain.
Terkait dengan sebab keserasian dan kecocokan ini, satu hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa Allah tidak akan pernah ada yang mampu menandingi atau menyerupainya. Keserasian yang terdapat dalam jiwa orang-orang tertentu yang dipilih oleh Allah, sehingga ia mampu mencintai Allah dengan sepenuh hati, hanyalah dalam arti metaforis (majazi). Keserasian tersebut adalah wilayah misteri yang hanya diketahui oleh orang-orang yang betul-betul mengalami cinta ilahiah.
B. DOKTRIN-DOKTRIN MAHABBAH
1. Makna Cinta di Kalangan Sufi
Dalam tasawuf, konsep cinta (mahabbah) lebih dimaksudkan sebagai bentuk cinta kepada Tuhan. Meski demikian, cinta kepada Tuhan juga akan melahirkan bentuk kasih sayang kepada sesama, bahkan kepada seluruh alam semesta. Hal ini bisa dilacak pada dalil-dalil syara’, baik dalam Alquran maupun hadis yang menunjukkan tentang persoalan cinta. Sebagian dalil tersebut telah disebutkan pada bagian sebelumnya dalam makalah ini.
Secara terminologis, sebagaimana dikatakan al-Ghazali, cinta adalah suatu kecenderungan terhadap sesuatu yang memberikan manfaat. Apabila kecenderungan itu mendalam dan menguat, maka ia dinamakan rindu. Sedangkan sebaliknya, benci adalah kecenderungan untuk menghindari sesuatu yang menyakiti. Apabila kecenderungan untuk menghindari itu mendalam dan menguat, maka ia dinamakan dendam.
Menurut Abu Yazid al-Busthami mengatakan bahwa cinta adalah menganggap sedikit milikmu yang sedikit dan menganggap banyak milik Dzat yang kau cintai. Sementara Sahl bin Abdullah al-Tustari menyatakan bahwa cinta adalah melakukan tindak-tanduk ketaatan dan menghindari tindak-tanduk kedurhakaan. Bagi al-Junaid, cinta adalah kecenderungan hati. Artinya, kecenderungan hati seseorang kepada Allah dan segala milik-Nya tanpa rasa beban.
2. Cinta Sejati adalah Cinta kepada Allah
Bagi al-Ghazali, orang yang mencintai selain Allah, tapi cintanya tidak disandarkan kepada Allah, maka hal itu karena kebodohan dan kepicikan orang tersebut dalam mengenal Allah. Cinta kepada Rasulullah SAW, misalnya, adalah sesuatu yang terpuji karena cinta tersebut merupakan manifestasi cinta kepada Allah. Hal itu karena Rasulullah adalah orang yang dicintai Allah. Dengan demikian, mencintai orang yang dicintai oleh Allah, berarti juga mencintai Allah itu sendiri. Begitu pula semua bentuk cinta yang ada. Semuanya berpulang kepada cinta terhadap Allah.
Jika sudah dipahami dan disadari dengan baik lima sebab timbulnya cinta yang telah diuraikan al-Ghazali sebelumnya, maka juga bisa disadari bahwa hanya Allah yang mampu mengumpulkan sekaligus kelima faktor penyebab cinta tersebut. Kelima faktor penyebab tersebut terjadi pada diri manusia hanyalah bersifat metaforis (majazi), dan bukanlah hakiki. Hanya Allah Yang Maha Sempurna. Ia tidak bergantung kepada apapun dan siapa pun. Kesempurnaan itulah yang akan mengantarkan seseorang kepada cinta sejati, yaitu cinta terhadap Allah.
3. Mahabbah: antara Maqam dan Hal
Sebagaimana diketahui, dalam terminologi tasawuf ada istilah maqam (tingkatan) dan hal (keadaan, kondisi kejiwaan). Menurut as-Sarraj ath-Thusi dalam kitabnya al-Luma’, maqam merujuk kepada tingkatan seorang hamba di depan Tuhan pada suatu tingkat yang ia ditempatkan di dalamnya, berupa ibadah, mujahadah, riyadhah, dan keterputusan (inqitha’) kepada Allah. Sedangkan hal adalah apa yang terdapat di dalam jiwa atau sesuatu keadaan yang ditempati oleh hati. Sementara menurut al-Junaid, hal adalah suatu “tempat” yang berada di dalam jiwa dan tidak statis.
Menurut al-Ghazali, cinta kepada Allah (mahabbah) merupakan tingkatan (maqam) puncak dari rangkaian tingkatan dalam tasawuf. Tak ada lagi tingkatan setelah mahabbah selain hanya sekedar efek sampingnya saja, seperti rindu (syauq), mesra (uns), rela (ridla), dan sifat-sifat lain yang serupa. Di samping itu, tidak ada satu tingkatan pun sebelum mahabbah selain hanya sekedar pendahuluan atau pengantar menuju ke arah mahabbah, seperti taubat, sabar, zuhud, dan lain-lain. Cinta sebagai maqam ini juga diamini oleh Ibn Arabi. Menurutnya, cinta merupakan maqam ilahi.
Berbeda dengan al-Ghazali, menurut al-Qusyairi, mahabbah merupakan termasuk hal. Bagi al-Qusyairi, cinta kepada Tuhan (mahabbah) merupakan suatu keadaan yang mulia saat Tuhan bersaksi untuk sang hamba atas keadaannya tersebut. Tuhan memberitahukan tentang cinta-Nya kepada sang hamba. Dengan demikian, Tuhan disifati sebagai yang mencintai sang hamba. Selanjutnya, sang hamba pun disifati sebagai yang mencintai Tuhan.
4. Tingkatan Cinta
Dilihat dari segi orangnya, menurut Abu Nashr ath-Thusi, cinta kepada Tuhan terbagi menjadi tiga macam cinta. Pertama, cinta orang-orang awam. Cina seperti ini muncul karena kebaikan dan kasih sayang Tuhan kepada mereka. Ciri-ciri cinta ini adalah ketulusan dan keteringatan (zikir) yang terus-menerus. Karena jika orang mencintai sesuatu, maka ia pun akan sering mengingat dan menyebutnya.
Kedua, cinta orang-orang yang shadiq dan mutahaqqiq. Cinta mereka ini timbul karena penglihatan mata hati mereka terhadap kekayaan, keagungan, kebesaran, pengetahuan dan kekuasaan Tuhan. Ciri-ciri cinta ini adalah “terkoyaknya tabir” dan “tersingkapnya rahasia” Tuhan. Selain itu, ciri lain adalah lenyapnya kehendak serta hilangnya semua sifat (kemanusiaan dan keinginan duniawi).
Ketiga, cinta orang-orang shiddiq dan arif. Cinta macam ini timbul dari penglihatan dan pengenalan mereka terhadap ke-qadim-an Cinta Tuhan tanpa sebab (illat) apapun. Menurut Zunnun al-Mishri, sifat cinta ini adalah terputusnya cinta dari hati dan tubuh sehingga cinta tidak lagi bersemayam di dalamnya, namun yang bersemayam hanyalah segala sesuatu dengan dan untuk Allah. Sedangkan menurut Abu Ya’qub as-Susi, cirinya alah berpaling dari cinta menuju kepada Yang Dicintai. Sementara al-Junaid menambahkan bahwa ciri cinta macam ini adalah meleburnya sifat-sifat Yang Dicintai kepada yang mencintai sebagai pengganti sifat-sifatnya.
C. PENGARUH DOKTRIN MAHABBAH
Semenjak Rabi’ah al-Adawiyah mengungkapkan corak tasawuf melalui puisi, prosa, atau dialognya, ajaran cinta ilahi (mahabbah) pun mulai menjadi tema menarik di kalangan tasawuf. Gambaran tentang Tuhan pun tidak lagi begitu menakutkan seperti sebelumnya. Tuhan seolah menjadi lebih dekat dan lebih “manusiawi”.
Pada perkembangan tasawuf selanjutnya, mahabbah selalu menjadi tema yang mendapat pembahasan secara khusus. Para sufi pun banyak yang membahas lebih mendalam tentang tema ini dalam karya-karya mereka, seperti al-Hujwairi dengan Kasyf al-Mahjub, ath-Thusi dengan al-Luma’, al-Qusyairi dengan ar-Risalah al-Qusyairiyyah, al-Ghazali dengan Ihya Ulumiddin, Ibnu Arabi dalam al-Futuhat al-Makkiyah, dan lain-lain.
Pada bidang puisi, banyak para sufi yang juga sekaligus penyair yang kemudian menyenandung cinta ilahi, seperti Abu Sa’id bin Abi al-Khair, al-Jilli, Ibnu al-Faridh, Jalaluddin Rumi, dan lain-lain. Hingga sekarang, para penyair sufi kontemporer masih banyak yang menyenandungkan puisi-puisi cinta ilahi, seperti Syekh Fattah yang membentuk kelompok musik Debu yang kini ada di Indonesia.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Ajaran cinta ilahi yang dikumandangkan oleh tasawuf sebenarnya bisa dijadikan sarana kita untuk lebih memperhalus jiwa. Kehalusan jiwa yag dihasilkan oleh tasawuf ini diperlukan agar agama tidak selalu dipahami secara legal-formalistik belaka yang biasanya ditampilkan oleh kalangan ahli fikih. Dengan demikian, agama pun diharapkan bisa menjadi berwajah toleran, humanis, dan menerima realitas pluralistik yang ada di tengah di masyarakat, seperti puisi yang didengungkan oleh Ibnu Arabi di awal makalah.
Meski demikian, ajaran cinta dalam Alquran sendiri, juga menghendaki keseimbangan antara sisi individual dan sosial; antara emosional dan rasional. Dari penelitian yang pernah dilakukan penulis, term-term cinta yang ditampilkan Alquran justru bersifat dinamis dan menghendaki aktualisasi riil dalam realitas sosial. Cinta dalam Alquran hampir selalu ditempatkan dalam konteks untuk mewujudkan kebaikan dan keadilan sosial. Karena itu tidaklah mengherankan jika di akhir abad 19 hingga awal abad 20, beberapa kelompok sufi di Afrika Utara menjadi pendorong perlawanan terhadap penjajahan Barat. Wallahu a’lam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrasyid Ridha, Memasuki Makna Cinta, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003).
Abu al-Qasim al-Qusyari, ar-Risalah al-Qusyairiyyah, (format e-book dalam Program Syamilah).
Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Suatu Pengantar tentang Tasawuf, terj. Ahmad Rofi’ Utsmani, (Bandung: Pustaka, 1985).
Abu Bakr Muhammad al-Kalabadzi, at-Ta’arruf li Mazhab Ahl at-Tashawwuf, (tk.: Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyyah, 1969).
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, (Beirut, Dar al-Ma’rifah, tt).
Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi, al-Luma’, (Mesir: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1960).
Al-Hujwairi, Kasyful Mahjub, terj. Suwardjo Muthary dan Abdul Hadi WM, (Bandung: Mizan, 1993).
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973).
Ibn al-Mulqin, Thabaqat al-Auliya, (format e-book Program al-Maktabah asy- Syamilah)
Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari al-Ja’fi, al-Jami’ as-Shahih al-Mukhtashar, ed. Mushtafa Dib al-Biqha, (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 1987).
Muhyiddin Ibnu Arabi, al-Futuhat al-Makkiyah, (format e-book dalam Program Syamilah).
______, Dzakhair al-A’laq Syarh Tarjuman al-Asywaq, seperti dikutip oleh Syamsuddin Arif, “Ibnu Arabi dan Pluralisme” dalam www.hidayatullah.com
Langganan:
Postingan (Atom)